Mongabay.co.id

Nasib Danau Toba, Antara Investasi Pariwisata dan Penyelamatan Lingkungan (Bagian 1)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan Danau Toba sebagai destinasi wisata nasional. Berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan program tersebut, mulai dari perbaikan jalan, pembangunan hotel taraf internasional, hingga pembangunan Bandara Silangit.

Tak kalah penting, Jokowi juga menggiatkan kembali perbaikan tata kelola lingkungan di sekitar Danau Toba, danau vulkanik yang luasnya mencapai 1.145 kilometer persegi dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Kedalamannya yang mencapai 450 meter, menjadikannya salah satu danau terdalam di dunia.

Tujuan wisata ini, nantinya tidak hanya tingkat lokal, atau Indonesia saja, tapi harus internasional. Untuk itu, kawasan yang dikelilingi tujuh kabupaten di Sumatera Utara ini, yaitu Simalungun, Toba Samosir (Tobasa), Tapanuli Utara, Samosir, Karo, Humbang Hasundutan (Humbahas), dan Dairi, harus benar-benar dijaga lingkungannya.

“Saya berharap masyarakat ikut menjaga lingkungan Danau Toba. Memelihara, merawat, dan melindungi apa yang menjadi peninggalan leluhur kita,” jelas Jokowi beberapa waktu lalu.

Presiden ingin Danau Toba bangkit, setelah jumlah wisatawan asing yang datang menurun. Keindahan danau dan kawasan hutan yang mengelilinginya, harus terus diperhatikan. Penanaman harus terus dilakukan, agar penggundulan tidak meluas.

Pemerintah daerah dan masyarakat juga harus memelihara apa yang sudah ditanam. Ke depan, seluruh perbukitan akan dihijaukan kembali. “Tanpa partisipasi masyarakat, jangan harap keindahan dan penghijauan akan bisa dilakukan,” terangnya.

Baca: Ketika Danau Toba Makin Merana…

 

Danau Toba, sepanjang mata memadang yang tampak hanya keramba jaring apung yang berdampak pada kualias air. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Apakah keinginan Presiden terwujud? Koordinator Studi dan Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi, di Parapat, menjelaskan, KSPPM secara prinsip tidak menolak pengembangan pariwisata Danau Toba. Masyarakat sekitar juga mengapresiasi perhatian pemerintah ini.

Konsep pengembangan pariwisata, menurut dia, harusnya berbasis masyarakat lokal. Bukan pada investasi besar-besaran. Apalagi, sampai mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan menambah kerusakan lingkungan, khususnya di hulu. “Konsep pariwisata harus hulu ke hilir. Ini berkaitan erat.”

Kerusakan di hulu sudah berlangsung sejak tahun 80-an ketika industri datang dan eksploitasi sumber daya alam dilakukan. Ada izin konsesi mencapai 200 ribu hektar. Hulu Danau Toba yang merupakan kawasan hutan di atas danau, penting sebagai daerah tangkapan air, aliran sungai, dan juga sumber air. “Pemulihan hulu ini sangat diharapkan. Jadi harus ada evaluasi dan menindak perusahaan yang merusak lingkungan, baru selanjutnya bicara pariwisata.”

Baca: Lingkungan Rusak, Pemerintah Kena Gugat Pulihkan Danau Toba

 

Kawasan Danau Toba di Haranggaol Simalungun, sepanjang mata memandang tampak keramba jaring apung. Disini juga ratusan ribu ikan pernah mati misterius. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pelibatan masyarakat lokal, lanjut dia, khususnya masyarakat adat sangat penting. Danau Toba ini dikenal dengan wilayah Tapanuli, mayoritas penduduknya etnis batak, masyarakat adat. Semua wilayahnya sudah dimiliki komunitas adat yang telah ada sejak dulu. Jadi, tidak ada tanah di sini yang tidak dikuasai oleh marga-marga.

Pelibatan masyarakat adat ini, harus ada dalam program pemerintah. Misalnya, daerah Bukit Senyum Parapat, merupakan kewenangan Badan Pelaksana Otoritas Pariwisata Danau Toba, yang dibentuk untuk mengembangkan pariwisata Danau Toba. Akan tetapi, tanah yang ada di zona ini, dihuni masyarakat adat sejak dulu. “Harusnya, pelaksana otoritas memperhatikan kepentingan ini.”

Delima menjelaskan, daerah yang akan dibangun destinasi Danau Toba adalah Sibisa, Parapat, seluas 385 hektar yang berada di pegunungan. Disana ada beberapa desa, di lembah yang sumber airnya untuk keperluan minum, dan air irigasi. Kebutuhan akan air itu berasal dari wilayah atasnya, termaksud dari hutan adat mereka.

Lokasi itu, sekarang diklaim sebagai hutan negara, sementara masyarakat meyakini wilayah adatnya. Padahal mereka sudah hidup tutun-temurun. “Sebut saja Desa Horsik, Desa Sigapiton dan lainnya merupakan desa-desa yang ada di lembah, di bawah zona otoritas. Ada ladang masyarakat, yang menjadi sumber penghidupan mereka, ini diklaim juga oleh badan otoritas. Jadi, konflik harus diselesaikan dahulu.”

Baca: Makin Kritis, Restorasi Danau Toba jadi Prioritas, Seperti Apa?

 

Seorang pekerja tengah memberikan makanan ikan di keramba jaring apung yang ada di Danau Toba. Foto: Ayat S karokaro/Mongabay Indonesia

 

Menurut Delima, dalam pembangunan fasilitas wisata Danau Toba, jika dikaji dari aspek lingkungannya, kerusakan atau pengrusakan hutan tidak akan terhindari. Ada enam kabupaten yang terdampak yaitu Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Dairi, dan Simalungun.

Lebih seratusan desa yang terkena imbasnya. Belum lagi, terjadinya perampasan tanah dan konflik dengan masyarakat adat, bila aspek sosial dibiarkan. “Program jangan hanya datang dari pusat, tapi libatkan masyarakat lokal.”

Dia berharap, program pariwisata Danau Toba bukan menjadikan Bali baru bagi Indonesia. Tapi, tetap menjadikan daerah batak dengan identitasnya, adat yang terpelihara, dan lingkungan terjaga. “Tidak menciptakan dunia baru, tapi memanfaatkan potensi masyarakat lokal guna mendukung pariwisata,” jelasnya.

Baca: Masyarakat Adat Sekitar Danau Toba Tuntut TPL Kembalikan Hutan Adat

 

 

Tercemar  

Ketua Tim Litigasi Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT), Robert Paruhum Siahaan, melihat kawasan Danau Toba sekarang sudah tercemar limbah dari ikan yang ada di keramba jaring apung.

Danau Toba itu disebut nauli, danau yang begitu indah. Airnya dikatakan jernih dan bersih. Sehingga, dulunya, air bisa dikonsumsi dan untuk kebutuhan sehari-hari. “Kita tempuh jalur hukum untuk mengembalikan danau ini bisa seperti dulu,” jelasnya.

Robert menjelaskan, pihaknya sudah melakukan kajian kualitas air Danau Toba, pada 10 November 2017 dengan mengambil sampel air di 22 titik. Lalu, diuji di Sucofindo, hasilnya kualitas air Danau Toba sangat jelek. Khususnya untuk senyawa BOD, COD, juga Fe, dan juga beberapa komponen senyawa kimia lain. Hasilnya dibawah mutu ambang batas. “Atas dasar, kami membuat pengaduan pidana ke Bareskrim Mabes Polri dan Polda Sumut untuk pidana, serta gugatan ke PTUN untuk perdata.”

Hasil analisis dari peraturan Gubernur Sumut, menyatakan, bahwa Danau Toba adalah air minum. Sehingga tidak boleh ada keramba jaring apung (KJA). Itu alasan mengapa kami menggugat ke PTUN agar dikembalikan peruntukannya.

“Terjadi pencemaran air juga akibat KJA yang sekarang terdeteksi milik PT. Aquafarm Nusantara dan PT. Suritani Pemuka.”

Baca juga: Mau Lihat Foto-foto dan Video Jutaan Ikan Mati di Danau Toba? Simak Ini…

 

Goni putih itu berisi pakan ikan. Limbahnya mencemari air Danau Toba. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Hasil laboratorium dan analisis Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumut juga tidak merekomendasi penambahan KJA karena kualitas air Danau Toba semakin tidak layak konsumsi. Meski rekomendasi tidak keluar, namun Pemerintahan Kabupaten Simalungun tetap mengeluarkan, dengan pengertian mungkin itu otoritas daerah.

“Untuk tanah dan dataran mungkin ada otoritas. Tapi, urusan air tidak bisa dibatasi, tidak ada zona pembatas. Pencemaran harus dihentikan,” jelasnya.

Robert menyatakan, setelah laporan pidana dan perdata untuk dua perusahaan ini selesai, untuk keramba jaring apung lainnya akan dilaporkan juga ke Polda Sumut. Terlebih, bila ditemukan pidana lingkungan hidup. “Kepolisian yang akan mengembangkan seberapa jauh pencemaran air di Danau Toba terjadi. Kita ingin Danau Toba yang jernih dan bersih,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version