, ,

Masyarakat Adat Sekitar Danau Toba Tuntut TPL Kembalikan Hutan Adat

Ratusan masyarakat adat di sepanjang Danau Toba, Sumatera Utara, yang tergabung dalam Jalin D’Toba,  Jumat (29/5/15), berunjukrasa di depan PT Toba Pulp Lestari (TPL), Medan.  Aksi massa kala rapat umum pemegang saham (RUPS) ini menuntut pengembalian hutan adat. Mereka juga meminta perusahaan ditutup, karena merusak hutan adat maupun hutan negara.

Sambil berorasi, masyarakat adat membakar kemenyan dan tari-tarian Batak. Tari-tarian itu menceritakan betapa mereka sangat sedih, karena hutan adat yang dijaga hancur karena izin pemerintah kepada TPL.

Pendeta Haposan Sinambela, tokoh adat Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan (Humbahas), menyatakan, kerusakan kawasan hutan Register 41 cukup parah. Ribuan hektar hutan gundul dan hancur, menjadi eukaliptus. Kayu hutan juga berkurang. Hutan Kemenyan yang dulu menjadi andalan desa mereka mulai hilang.

“Hancur hutan akibat ulah perusahaan sudah tidak lagi dapat ditolerir. Kami minta penegak hukum memproses perusahaan ini. Mereka merusak hutan. Kami mendesak pemerintah mengkaji ulang izin, jika tidak, tidak sampai lima tahun lagi, hutan di sepanjang Danau Toba akan habis, ” katanya.

Dulu air anak sungai di kawasan hutan adat masuk dalam Register 41 ini jernih dan luas. Sekarang, mengecil dan tampak kotor. Foto: Ayat S Karokaro

Sinambela sempat  menjadi tersangka dan status hukum tidak jelas hingga kini. Dia dianggap provokator saat protes penolakan operasi TPL di Hutan Kemenyan.

Setelah kemenyan hilang, katanya, perekonomian masyarakat  Desa Pandumaan-Sipituhuta terus menurun.

Hasron Sitorus, tokoh adat Lumban Sitorus, perwakilan masyarakat adat Tapanuli, Desa Lumban Sitorus tempat pabrik TPL, menyatakan, setidaknya ada 50 hektar hutan adat dirampas perusahaan.

Berbagai cara dilakukan perusahaan demi mendapatkan lahan adat Lumban Sitorus, mulai iming-iming dan manipulasi adat, serta intimidasi bahkan kriminalisasi.

“Terimakasih kepada Anda,  Sukamto Tanoto yang merampas tanah masyarakat Tapanuli, khusus Lumban Sitorus dan menindas kami selama 30 tahun.”

Perusahaan, katanya,  berdalih mendapatkan izin dari masyarakat adat Lumban Sitorus mengelola lahan. Faktanya, saat rapat dengan DPRD Toba Samosir, terungkap, BPN Toba Samosir menunjukkan SK Gubernur Sumut Nomor 359 yang menyebutkan, tidak ada masyarakat adat Lumba Sitorus menyerahkan lahan kepada perusahaan. “Itu fakta dikuatkan saat rapat dengar pendapat dengan DPRD Sumut.” Bahkan, disebutkan, perusahaan merusak hutan dan hutan adat di Danau Toba.

“Hanya ada satu kata, kembalikan lahan adat kami. Hentikan merusak hutan di Danau Toba. Kepada para pemegang saham dan investor, selamat menikmati kekayaan dari perusahaan ini, yang telah menindas.”  Tak ada satupun perwakilan perusahaan menerima mereka. Unjukrasa diakhiri pelemparan eceng gondok ke depan gedung TPL.

Protes masyarakat adat yang tinggal di kawasan Danau Toba, Jumat pagi menuntut TPL ditutup di depan TPL di Gedung Uniland Medan. Foto: Ayat S Karokaro
Protes masyarakat adat yang tinggal di kawasan Danau Toba, Jumat pagi menuntut TPL ditutup di depan TPL di Gedung Uniland Medan. Foto: Ayat S Karokaro
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,