Mongabay.co.id

Bandara Internasional Jawa Barat Beroperasi, Dampak Pembangunan Pada Masyarakat Sekitar?

Kamis siang, 24 Mei 2018, Kasman sibuk menggarap ladang di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Sesuai jadwal, hari itu memasuki masa tanam. Namun, karena terik matahari makin menyengat kulit, ia terpaksa berteduh.

Keringat bercucuran di tubuhnya. Sorot matanya menyiratkan, betapa letihnya ia menjadi petani yang bergantung pada berkah tanah negeri agraris. Di usia 60 tahun, Kasman tak lepas adari pikiran keberlangsungan hidupnya. Desakan untuk segara pindah dari tanah miliknya sudah jauh hari ia terima, pembangunan alasan utamanya.

Dari kejauhan, purwa rupa Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) berdiri megah. Tepat lima kilometer dari tempatnya mengayun cangul, bandara yang digadang-gadang sebagai penopang ekonomi baru di Jawa Barat bagian timur ini secara sah diremikan Presiden Joko Widodo.

“Alhamdulillah, tadi kita sudah saksikan pendaratan bersejarah, resmi yang pertama di BIJB, Kertajati,” ujar Jokowi selepas turun dari pesawat kepresidenan yang menandainya sebagai pesawat pertama yang mendarat.

Presiden menginginkan, keberadaan bandara memberikan dampak perekonomian. Terlebih, 40 kilometer dari bandara terbesar setelah Soekarno-Hatta ini terdapat proyek strategis lain yang sedang dikerjakaan, yaitu Pelabuhan Internasional Patimban di Kabupaten Subang. “Integrasi keduanya diharapkan mendukung peningkatan ekonomi Jawa Barat dengan memberikan kemudahan akses dan pelayanan bagi para investor yang masuk,” terangnya.

Baca: Begini Asa Petani Kertajati di Negara Agraris Ini

 

 

Presiden Jokowi menijau Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kabupaten Majalengka, beberapa waktu lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ekonomi dikebut

Melejitnya pembangunan insfrakstrukur di Jawa Barat mengingatkan pembangunan ala Belanda. Semisal, Jalan Raya Pos yang menjadi salah satu urat nadi transportasi Indonesia tempo dulu.

Di awal abad ke-19, sejarah perencanaan kota moderen di Indonesia pun dimulai. Ketika Belanda membangun sejumlah kota mengikuti pola kota-kota di Eropa. Sebagian besar kota itu berada di Jalan Raya Pos sepanjang 1.000 kilometer, mulai Anyer hingga Panarukan.

Namun perlahan, kota-kota di sepanjang Jalan Raya Pos di utara Jawa tumbuh menjadi kota gagal, Angka pengangguran tinggi, kualitas lingkungan sosial dan alam menurun, sarana dan prasarananya memburuk. Kota tumbuh tak terkendali.

 

Beroperasinya BIJB Kertajati diharapkan memberikan dampak ekonomi pada masyarakat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menilik hal itu, ahli tata kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi, mengatakan, kegagalannya karena lambatnya respons terhadap pertumbuhan kota. “Dalam prosesnya, RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) ini juga terus diubah-ubah mengikuti kepentingan pemodal. Sehingga, tata ruang sering tidak diperuntukkan sebagaimana mestinya,” terang Denny.

Ketika pemerintah masih sibuk berencana, pertambahan penduduk di Jawa terus meningkat. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, jumlah penduduk Jawa Barat pada 2035 diprediksi mencapai 57,1 juta jiwa. Angka tersebut berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Artinya, dalam waktu 25 tahun, Jawa Barat akan mengalami pertumbuhan populasi sebesar 32,2% atau 13,9 juta jiwa.

Ledakan penduduk ini, telah menjadi perhatian sejarawan dan antropolog sejak lama. Cliford Geertz (Agricultural Involution, 1963) menuliskan ancaman kematian bagi pertanian di Jawa akibat pertambahan penduduk.

Baca: Pembangunan Bandara BIJB Dikebut, Permasalahan Pun Merunut

 

Warga berteduh di kebun miliknya yang berhadapan dengan pembangunan Bandara BIJB di Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, awal September 2017. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Guru Besar dan Pengamat Lingkungan Hidup Universitas Padjadjaran Chay Asdak berpendapat, tata ruang bakal menjadi sekelumit persoalan serius, terutama ketersedian pangan. Oleh sebab itu, konsitensi terhadap tata ruang mutlak diperlukan.

Terlebih, pemerintah pusat tengah menggenjot beberapa proyek infrastruktur strategis seperti Pelabuhan Patimban, Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, dan Tol Trans Jawa. Belum lagi, saat ini tercatat ada 2.381,97 hektar lahan di wilayah utara Jawa Barat yang tengah dikembangkan menjadi 10 kawasan industri baru bertaraf nasional dan internasional. Sekitar 35% atau 851,97 hektar dari kawasan industri baru tersebut berada di Kabupaten Karawang yang notabene lumbung padi.

Seluruh infrastruktur strategis baru ini akan mendukung visi pengembangan, khususnya wilayah Jawa Barat sebagai sentra kawasan industri nasional dan menciptakan kantong-kantong ekonomi baru. Walhasil, desakan akan kebutahan lahan akan semakin tinggi dikemudian hari.

Sebagai contoh, dalam RTRW Jawa Barat 2009-2029 dan RTRW Kabupaten Majalengka 2003-2013, tercantum pengembangan kawasan Kertajati Aerocity sebagai Kawasan Strategis Provinsi (KSP) dengan bandara sebagai infrastruktur strategis yang terdapat di dalamnya.

Sebagaimana Rencana Induk (Master Plan) yang ada, tahap pertama dari pembangunan bandara adalah pengadaan tanah. Target pembebasan lahan untuk bandara ini adalah seluas 1.800 hektar yang akan dilakukan bertahap.

Baca: Derita Petani Desa Sukamulya Kala Terkena Pembangunan Bandara

 

Pertanian merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dari dampak pembangunan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Namun dalam pelaksanaannya, proses pembebasan lahan pembangunan BIJB belum sesuai dari target yang diharapkan. Baik dari sisi waktu dan luasan perolehan lahan, serta adanya desa yang menolak untuk dibebaskan, yaitu Desa Sukamulya. Dari target penyediaan lahan itu, baru 1.050 hektar yang dibebaskan. Padahal, pembangunan BIJB sudah direncanakan sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2003.

“Tahap 1A itu lahannya 1.800 hektar, tapi baru 1.050 hektar yang sudah (dibebaskan). Tinggal 1B, aerocity target lahannya 3.200 hektar, total 5.000 hektar lebih. Mudah-mudahan (penyediaan lahan) bukan masalah,” tutur Direktur Utama BIJB, Virda Dimas Ekaputra.

Pembangunan Kertajati Aerocity direncanakan menggusur 5 desa di sekitaran bandara. Dan Kasman, hanyalah satu dari puluhan ribu masyarakat yang hampir seluruhnya menggantungkan hidup pada pertanian. Meskipun, impact dari pembangun paket 1A diprediksikan bakal menyerap 150.000 pekerja baru, tapi untuk seumuran Kasman tentu mustahil bisa mendapatkan itu. Apalagi tidak didukung keterampilan mumpuni.

Sedikit kontradiktif dengan kondisi sosial di daerah, Bupati Kabupaten Majalengka, Sutrisno menyampaikan, “Bahkan saya sudah merombak RDTR Kertajati dari 5.000 hektar menjadi 10.000 hektar.”

Baca juga: Begini Bentrok Warga Saat Pembebasaan Lahan Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati

 

Persawahan masyarakat, akankah hilang akibat perluasan pembangunan? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kini, pembangunan atas nama kepentingan ekonomi barangkali akan terulang sebagaimana program infrakstruktur semasa Belanda. Sepeti yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, “Zaman dulu rakyat kecil jadi tumbal Daendels untuk pembangunan Jalan Raya Pos. Zaman sekarang korban pun berjatuhan untuk pembangunan Orde Baru. Korbannya selalu rakyat kecil yang kehadirannya dalam sejarah barangkali memang tak penting.”

Kasman pasrah sekaligus berharap, masih ada tempat baginya untuk bertahan hidup. “Agar saya tenang di usia tua,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version