Mongabay.co.id

Soal Kejahatan Satwa Liar Masuk Revisi KUHP, Begini Pandangan Mereka

Orangutan kalimantan yang nasibnya harus kita perhatikan karena hutan tempat hidupnya kian tergerus. Foto: BOSF/Indrayana

Pemerintah bersama DPR sedang menyusun revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Revisi KUHP dinilai minim membahas kejahatan terhadap satwa liar dan konsep pertanggungjawaban korporasi.  Padahal, kejahatan satwa liar termasuk peringkat ketiga kejahatan yang sering terjadi di Indonesia setelah narkotika dan perdagangan orang.

“Maraknya kejahatan satwa liar, baik berburu maupun perdagangan satwa, umumnya karena nilai ekonomis tinggi dan kesadaran masyarakat yang rendah tentang peran fauna dalam ekosistem,” kata Taufiqulhadi, anggota Komisi III DPR RI kala membahas RKUHP, minggu ini di Jakarta.

Data PPATK, transaksi kejahatan satwa liar mencapai Rp13 triliun per tahun.

Selain faktor ekonomi,  katanya, peningkatan kejahatan satwa liar juga karena tak efektif norma hukum dalam UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

“Banyak kekosongan hukum dan tak sesuai lagi dengan kondisi kekinian,” katanya.

Dia contohkan, bobot pemidanaan dengan dampak yang ditimbulkan. Ancaman maksimum pidana hanya lima tahun penjara dan denda maksimum Rp200 juta. Kerugian ekologis dari kejahatan ini, katanya, tak sebanding dengan ancaman pidana tersedia.

Kelemahan lain, regulasi hanya mengatur orang sebagai subyek hukum kejahatan satwa liar. Rumusan kejahatan korporasi terhadap satwa liar masih belum diatur.

Padahal, ucap Taufiq, peluang korporasi melakukan kejahatan satwa liar sangat besar, misal kasus primata orangutan di Kalimantan karena dianggap hama di perkebunan sawit hingga dibantai perusahaan.

Dalam draf RKUHP per 2 Februari 2018, pengaturan tentang  kejahatan satwa liar, tercantum dalam Pasal 367, 369 dan 371, antara lain berbunti, Mereka yang menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan tujuan yang tidak patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut; dengan ancaman pidana 6 bulan penjara atau pidana denda kategori II.”

Dari ketentuan ini,  katanya, belum diatur kejahatan utama satwa liar yang umumnya menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup ataupun mati.

“Ini tak melengkapi kelemahan atau keterbatasan norma dalam UU KSDAE baik aspek subyek hukum maupun bobot pemidanaan.”

 

Yaki (Macaca nigra). Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.com

 

Tanggungjawab korporasi

Ketentuan umum tentang korporasi diatur dalam buku I mulai Pasal 52-57 RKUHP. Menurut Pasal 53 dan 54 RKUHP per 2 Februari 2018, yang dimaksud tindak pidana korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi maupun di luar struktur yang bertindak untuk dan atas nama kepentingan korporasi yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain dalam lingkup usaha atau kegiatan korporasi tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama.

Berdasarkan rumusan ini, tindak pidana korporasi secara kausalitas dilakukan oleh orang-orang yang terikat dengan korporasi itu, baik secara fungsional, struktur dan di luar struktur korporasi tapi punya pengaruh untuk kepentingan korporasi.

Dengan kata lain, katanya, mereka yang tak dalam struktur dan tidak fungsional berada dalam organisasi perusahaan, jika bertindak untuk kepentingan korporasi, juga bisa dipidana.

Dia contohkan, orang bakar hutan untuk land clearing perkebunan sawit, umumnya tak ada dalam struktur organisasi korporasi.

Tanggungjawab pidana korporasi sesuai Pasal 55 RKUHP, bisa dalam tiga bentuk. Pertama, korporasi sebagai pelaku tindak pidana tetapi pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada korporasi itu sendiri.

Kedua, korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pertanggungjawaban dibebankan kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai pelaku tindak pidana tetapi pertanggungjawaban dibebankan kepada keduanya, korporasi dan pengurus.

Menurut Taufiq, kebanyakan ahli yang dimintai pendapatan RKUHP ini meminta sistem pertanggungjawaban korporasi dipikul baik oleh korporasi dan pengurus. Alasannya, menghindari rasa tidak adil bagi masyarakat karena perbuatan pengurus adalah rangkaian perbuatan untuk dan atas nama korporasi.  Juga menghindari kemungkinan pengurus ‘lempar batu sembunyi tangan’.

 

Harimau awetan yang berhasil disita, sebelum pemusnahan. Foto: Lusi Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Kritikan

Menanggapi draf KUHP terutama soal tanggungjawab korporasi dan kejahatan satwa liar, pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri G Wibisana menilai,  definisi tindak pidana korporasi Pasal 53 hanya terbatas teori identifikasi.

Korporasi, katanya,  bertanggungjawab atas perbuatan pemimpin. Padahal, kata Andri, korporasi dapat dipidana atas dasar vicarious liability (pertanggungjawaban pengganti), teori corporate culture (budaya perusahaan), dan lain-lain.

“Memang kemudian Pasal 53 ‘dikoreksi’ oleh Pasal 56 yang menyatakan, korporasi dapat dipidana untuk perbuatan yang dilakukan untuk dan atau atas nama korporasi jika perbuatan termasuk dalam lingkup usaha kegiatan,” katanya.

Meskipun begitu, katanya, susunan pasal ini kurang tepat karena dapat ditafsirkan bahwa definisi umum tindak pidana korporasi adalah apa yang disebut dalam Pasal 53.

Dengan kata lain, katanya, Pasal 56,  hanya berlaku dalam ruang lingkup Pasal 53 yaitu jika tindak pidana oleh pemimpin korporasi.

Sementara dalam Pasal 56,  tentang tiga bentuk tanggungjawab pidana korporasi, kata Andri, kemungkinan pengurus bertanggungjawab atas perbuatan korporasi bertentangan dengan alasan ada pertanggungjawaban korporasi.

Menurut dia,  RUU seperti menyamakan antara korporasi dengan pemimpin atau pengurus korporasi sebagai subyek hukum.

Hal seperti ini sudah terjadi, misal kasus putusan Mahkamah Agung No 862K/Pid.sus/2010 dengan terdakwa Kim Young Woo, Direktur PT. Dongwoo Enviromental Indonesia, sebuah perusahaan jasa pengolahan limbah B3.

Putusan menyatakan, terdakwa DWEI diwakili Kim Young Woo terbukti sah bersalah atas tindak pidana pencemaran lingkungan. Putusan itu menjatuhkan pidana kepada terdakwa (korporasi) denda Rp650 juta, apabila tidak dibayar ganti kurungan enam bulan.

“Dalam kasus ini orang tak pernah jadi terdakwa tapi dijatuhi hukuman.”

Lain lagi putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru 2015,  dengan terdakwa Kosman Vitoni Immanuel Siboro. Dalam putusan terdakwa sebagai asisten kepala kebun terbukti bersalah dengan sengaja mengakibatkan melampaui baku mutu ambien, baku mutu air atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Terdakwa dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda Rp3 miliar.

Menurut Andri,  tindak pidana ini mestinya ikut dibebankan tanggungjawabnya kepada korporasi.

Ada juga kasus lain seperti putusan PN Pelalawan 2013, memberikan hukuman kepada terdakwa PT. Adei Plantation and Industry diwakili Direktur Tan Kei Yoong. Putusan denda Rp1,5 miliar, apabila tak dibayar ganti pidana kurungan diwakili Tan Kei Yoong,  selama lima bulan.

Atau putusan MA 2013 yang lain, terdakwa PT. Karawang Prima Sejahtera Steel diwakili Wang Dong Bing dihukum pidana penjara 10 bulan dan korporasi didenda Rp500 juta.

Dalam pidana kepada korporasi, kata Andri, biasa diasumsikan pelaku atau bawahan melakukan tindak pidana untuk dan atas nama kepentingan korporasi.

Asumsi ini, katanya,  bisa saja tak terpenuhi jika yang harus bertanggungjawab adalah pemimpin korporasi, karena belum tentu dapat dikatakan tindakan pelaku akan menguntungkan pimpinan.

Dalam pemberian denda juga sering muncul judgment proof problem, di mana aset pemimpin korporasi lebih rendah dari sanksi denda yang harus dibayar. Karena aset korporasi seharusnya lebih besar dibanding aset perorangan atau pemimpin maka tanggungjawab denda sebaiknya diberikan pada korporasi.

 

Cenderawasih yang berhasil disita. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ketentuan baru

Revisi KUHP memuat ketentuan baru mengenai keterangan tak benar atau pemalsuan dokumen soal hewan dan penganiayaan. Dalam Pasal 432 dinyatakan setiap orang yang memalsukan atau menggunakan surat pengantar bagi hewan atau ternak atau memerintahkan memberi surat serupa atas nama palsu dipidana paling lama tiga tahun atau denda.

Ruang lingkup hewan yang diatur dalam KUHP maupun revisi KUHP secara spesifik mengatur tindak pidana atas hewan dalam penjagaan termasuk sebagai alat bantu dan ternak. Juga binatang buas, termasuk satwa liar yang memiliki sifat buas seperti harimau dan buaya.

 

Perlukah masuk KUHP?

Lantas, perlukah pengaturan tindak pidana terkait satwa liar dalam KUHP? Peneliti ICEL, Wenni Adzkia mengatakan,  pengaturan lebih jauh dan khusus tindak pidana terkait satwa liar dalam KUHP akan menghambat proses revisi UU No. 5/1990 yang sedang berlangsung.

“Tindak pidana satwa liar memiliki karakteristik khusus dan pengaturan seharusnya dalam UU organiknya. Bukan KUHP,”katanya.

Menggolongkan satwa liar selain satwa dilindungi sebagai satu tindak pidana perlu hati-hati terutama soal legalitas peredaran, agar tidak mengkriminalisasi masyarakat. Kontrol pemerintah, katanya, lebih penting dalam lalu lintas peredaran dan perdagangan satwa liar.

ICEL juga menyoroti, Pasal 365 tentang tindak pidana kepada orang yang menerapkan bioteknologi modern untuk menghasilkan hewan atau produk hewan transgenik yang membahayakan kelestarian sumber daya hewan, keselamatan dan ketentaram batin masyarakat dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam pasal ini pidana paling lama satu tahun dan denda.

Pasal ini, kata Wenni, akan mengkriminalisasi peneliti atau ilmuan, alih-alih produsen yang memabrikkan produk rekayasa genetika hasil bioteknologi modern. Ia berpotensi mematikan peluang mengembangkan eksperimen hasil bioteknologi yang bukan hanya hewan juga tumbuhan atau produk tumbuhan.

ICEL menilai,  perlu ada perbaikan mengenai pemidanaan dan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Selain itu, katanya, pemerintah dan DPR perlu segera membahas RUU KSDAE sebagai basis legislasi untuk kehidupan liar. “Tindak pidana khusus untuk satwa liar sebaiknya diatur di luar KUHP.”

 

Status habitat

Selain pembahasan satwa liar, Ekolog Satwa Liar WWF, Sunarto menilai,  status habitat satwa juga harus jadi perhatian. Kelangkaan satwa liar seperti harimau, gajah dan orang utan juga diikuti makin minim habitat mereka. “Ini tak lain karena pentingnya peran satwa untuk kestabilan ekosistem. “

Keterancaman habitat dan ekosistem ditandai dengan makin kecil area konservasi. Untuk itu, katanya, perlu perlindungan satwa dan habitat terintegrasi mulai dari habitat inti, zona penyangga, zona penghubung yang juga dipengaruhi permintaan pasar, hukum dan peradilan, komitmen politik, kebijakan dan dukungan publik.

“Perlu dipertimbangkan lebih jauh apakah perangkat perundangan ini (KUHP-red) menguatkan atau justru tumpang tindih dengan UU lain seperti UU KSDAE, UU Lingkungan Hidup, dan UU khusus lainnya?”

Opsi lain Sunarto terkait peran aktif sektor bisnis untuk mendukung konservasi.  Menurut dia,  perlu membangun kesadaran internal korporasi dalam mendukung konservasi, di luar regulasi pemerintah, tuntutan pasar, tujuan profit dan tuntutan publik.

 

Keterangan foto utama: Orangutan kalimantan yang nasibnya harus jadi perhatian karena hutan tempat hidup mereka kian tergerus. Foto: BOSF/Indrayana

Gajah Sumatera dari Bukit Tigapuluh, sedang mencari makanan. Habitat mereka terus tergerus hingga sering konflik dengan manusia. Foto: Frankfurt Zoological Society / Alexander Moßbrucker & Albert Tetanus

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version