Mongabay.co.id

Pusat Riset Kelautan Didirikan untuk Imbangi Kemajuan Sektor Kelautan dan Perikanan?

Perkembangan sektor kelautan dan perikanan yang sangat pesat memaksa Pemerintah Indonesia untuk ikut bergerak aktif dan dinamis dalam mengawalnya. Cara efektif untuk bisa mengimbanginya, adalah dengan mendorong pengembangan teknologi kelautan dan perikanan melalui riset yang dilakukan para pakar di bidang masing-masing.

Berkaitan dengan itu, Pemerintah mendirikan Pusat Penelitian dan Kerja Sama Teknologi Kelautan (PPKT) yang rencananya akan dibangun di Cirebon, Jawa Barat. Pendirian pusat riset tersebut, menggandeng Pemerintah Korea Selatan (Korsel) yang selama ini dikenal baik dalam pengembangan teknologi mutakhir di berbagai bidang.

Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta mengatakan, pembangunan pusat riset kelautan saat ini mendesak dilakukan, karena perkembangan sektor tersebut sudah sedemikian maju. Dia melihat, kebutuhan riset dan teknologi untuk sektor kelautan dan perikanan, dari waktu ke waktu semakin meningkat di Indonesia, dan umumnya di dunia.

“Kami melihat bahwa kerjasama maritim dengan Korea Selatan ini sangat penting, karena ada Laut Cina Selatan dan Laut Natuna jadi nanti kita bisa bekerja sama di wilayah ini,” ungkapnya belum lama ini.

baca : Indonesia Perlu Buat Roadmap Riset Kelautan

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pendirian PPKT memiliki tujuan khusus untuk meningkatkan riset di bidang kelautan dan perikanan secara bersama dengan Korsel. Melalui riset, diharapkan tujuan meningkatkan kerja sama dan memperkuat hubungan antara para pihak di bidang ilmu kelautan dan teknologi kelautan juga bisa terjalin baik.

“Para Pihak akan melaksanakan kerja sama ini berdasarkan prinsip kesetaraan, timbal balik dan saling menguntungkan,” jelasnya.

Adapun, Luhut menyebutkan, proyek-proyek penelitian bersama yang akan dilakukan oleh PPKTK mencakup:

  1. Oseanografi umum dan operasional;
  2. Ilmu dan Teknologi Kelautan;
  3. Perubahan Iklim dan Lingkungan Laut, termasuk Ekosistem;
  4. Manajemen Pesisir yang terintegrasi dan Hukum Kelautan;
  5. Energi Laut (termasuk energi pasang surut, gelombang, dan arus);
  6. Sumber Daya Mineral Kelautan; Perairan Tawar;
  7. Bencana Pesisir dan Kelautan; dan
  8. Area lain yang dapat putuskan bersama secara tertulis.

“Dalam operasionalnya kelak, semua kegiatan PPKTK, termasuk hal-hal administrasif dan fasilitasi yang berhubungan dengan kegiatan operasional akan dijalankan sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di Republik Indonesia,” tegasnya.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan Pemerintah Korea Selatan yang diwakili Menteri Kelautan dan Perikanan Kim Young-choon. Penandatanganan tersebut, diharapkan bisa menjadi penanda hubungan kedua negara yang sudah terjalin sejak lama.

baca : Kembangkan Sektor Kemaritiman, Indonesia Bentuk Konsorsium Riset Samudera

 

Ikan roa yang terjaring nelayan di perairan Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Tentang kerja sama tersebut, Kim Young-choon menyebut bahwa itu adalah tawaran yang sangat baik. Dia mengaku tak memiliki penolakan tentang pendirian lembaga riset bersama karena itu memiliki tujuan mulia untuk mempererat hubungan antara Korea Selatan dan Indonesia. Oleh itu, saat datang ke Jakarta pun, yang selalu ada di benaknya adalah apa dan bagaimana implementasi kerja sama yang sudah terjalin antara kedua negara selama ini.

Khusus untuk kerja sama riset kelautan, Kim menjelaskan, pihaknya berharap paling lambat mulai 2019 sudah dilakukan kerja sama di bidang pembangunan pembangkit listrik tenaga pasang surut air laut. Untuk bisa memulai itu, perlu dilakukan riset lebih dulu untuk memetakan kondisi perairan laut di Indonesia secara terkini.

“Pasang surut lautan ini merupakan salah satu energi baru yang juga bisa dikembangkan di Indonesia dan ini dapat membantu mewujudkan keinginan pemerintah Indonesia,” tuturnya.

Selain kerja sama dalam riset ilmu kelautan dan perikanan, Indonesia juga berharap bisa melakukan kerja sama dengan Korsel, dan atau negara lain untuk isu lingkungan hidup. Menurut Luhut, isu lingkungan hidup saat ini juga menjadi sangat penting, karena itu berkaitan langsung dengan alam di Indonesia.

“Kami itu sangat serius untuk masalah lingkungan hidup, suistanability (keberlanjutan) itu baik di darat maupun di laut, dan kami juga ingin mencapai Sustainability Development Goals (SDG’s), sehingga kami juga ingin Korea dapat membantu untuk bersama-sama menangani permasalahan sampah laut,” pungkasnya.

baca : KKP Bakal Bangun Dua Pusat Riset Kelautan

 

Panorama laut dari Dermaga Ketapang menuju ke Pulau Pahawang, Lampung. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Riset Kelautan

Sebelum bekerja sama dengan Korsel, Pemerintah Indonesia sudah menyatakan fokus untuk mengembangkan riset kelautan dalam mendukung pemetaan wilayah laut lebih mendalam. Salah satu target yang ingin dikejar, adalah membangun teknologi kelautan yang hingga kini belum dimiliki Indonesia. Langkah untuk mengejar target tersebut, adalah dengan fokus mengembangkan riset kelautan di berbagai sektor.

Di antara yang terlibat dalam riset kelautan, adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lembaga riset Negara itu, kini mengejar momen 2035 sebagai tahun kebangkitan riset kelautan nasional. Untuk melangkah ke sana, LIPI menggelar program foresight riset kelautan dan program demand driven research grant (DDRG).

Kedua program tersebut, seperti dijelaskan Kepala Pusat Oseanografi LIPI Dirhamsyah, mendapat dukungan penuh dari program Coral Reef Rehabilitation and Management Program – Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI).

“Kita ingin mengangkat potensi sumber daya laut Indonesia yang sudah menjadi visi jangka panjang nasional, yaitu membangun Indonesia sebagai negara kepulauan yang berorientasi maritim,” ucapnya.

Agar visi nasional tersebut bisa berjalan, Dirhamsyah mengatakan, perlu dilakukan pengembangan teknologi bidang kelautan dengan mengkajinya melalui foresight riset dan teknologi kelautan Indonesia. Dengan cara tersebut, potensi sumber daya laut Indonesia yang selama ini tersimpan dan belum terbaca dengan baik, bisa diangkat ke permukaan.

“Selain melalui foresight, kita juga mendapat dukungan pendanaan melalui program DDRG. Dengan demikian, riset bisa dilakukan lebih mendalam dan fokus,” katanya.

baca : Proyek Pusat Riset di Pangandaran dan Morotai Dibuat Tanpa Pertimbangan?  

 

Ikan dalam kemasan yang tahan lama untuk dikonsumsi. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Dirhamsyah menjelaskan, program riset digelar LIPI, karena sebagai lembaga riset Negara, pihaknya melihat hingga saat ini teknologi bidang kelautan Indonesia masih juga belum tersedia. Meskipun, sebenarnya sudah ada perencanaan menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim di dunia.

“Program riset akan berjalan dari 2020 hingga 2035 mendatang atau selama 15 tahun. Selama riset berjalan, pendanaan akan dilakukan DDRG yang mendukung dan memberikan dana hibah penelitian dengan pendekatan manajemen riset berdasarkan orientasi pemangku kepentingan,” jelas dia.

Dengan kata lain, menurut Dirhamsyah, program DDRG adalah pendekatan riset yang secara khusus diarahkan untuk menyelesaikan masalah (problem based). Oleh itu, DDRG hadir berdasarkan pada permintaan atau kebutuhan terhadap suatu riset. Sementara, permintaan atau kebutuhan riset didasarkan pada permasalahan yang sedang dihadapi.

“Jadi, DDRG ini sangat diperlukan, khususnya untuk memenuhi standar dalam meningkatkan pengetahuan, menyiapkan produk maupun kebijakan berbasis sains, menguatkan kapasitas pemangku kepentingan, sekaligus meningkatkan kepedulian publik,” tuturnya.

Dengan menggunakan dasar orientasi tersebut, Dirhamsyah meyakini DDRG bisa digunakan untuk mendanai riset yang diharapkan menghasilkan luaran-luaran yang implementatif, siap pakai dan berdampak nyata. Untuk itu, program riset akan menggunakan pendekatan dengan mengubah dari pola output based menjadi value based outcome.

Dirhamsyah melanjutkan, untuk bisa membuat dokumen foresight, pihaknya harus melakukan pencarian dan refleksi dari isu-isu terkini dan relevan, tantangan, dan riset strategis di masa depan. Semua itu, kata dia, digali dari berbagai sumber, termasuk di dalamnya adalah acuan global di sektor kelautan masa depan di negara maju, kerangka kebijakan nasional seperti Poros Maritim Indonesia 2045, Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045 dan sejumlah dokumen riset lainnya.

“Tak lupa, dokumen yang dibuat untuk foresight ini, dihasilkan dari pemikiran para pakar dan peneliti kelautan Indonesia yang ada. Juga para pemangku kepentingan serta pengambil kebijakan di sejumlah kementerian dan lembaga terkait,” tuturnya.

baca : Riset Kelautan Mulai Digelar 2020 hingga 2035, Seperti Apa Itu?

 

Upaya percepatan industrialisasi perikanan di Indonesia, diprediksi tidak akan berjalan mulus pada 2018. Ada faktor yang harusnya menjadi fokus perhatian tapi tidak menjadi prioritas. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Untuk menghasilkan dokumen foresight, Peneliti P2O LIPI Aan Johan Wahyudi mengatakan, diperlukan waktu selama enam bulan dengan melibatkan para pakar kelautan nasional yang jumlahnya lebih dari 50 orang. Tujuan dari pembuatan dokumen adalah untuk memetakan isu dan tantangan di sektor kelautan nasional dan internasional.

Sebelum menggelar program foresight pada yang akan dilaksanakan mulai 2020 mendatang, LIPI sebenarnya sudah pernah merencanakan program serupa dan dibuat pada 2008. Namun, menurut Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI Zainal Arifin, rencana yang dibuat sembilan tahun lalu itu, dengan berbagai alasan akhirnya tidak jadi dilaksanakan.

“Karena itu, untuk program yang akan dilaksanakan 2020 nanti, saya minta jangan gagal lagi. Paling tidak, diterapkan di Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) dan Pusat Penelitian Laut Dalam (P2LD) dulu,” ungkapnya.

Zainal mengatakan, meski sebelumnya LIPI belum pernah menggelar foresight, namun program tersebut mendesak untuk digulirkan sekarang. Terutama, karena riset kelautan saat ini sangat dibutuhkan untuk membangun peta pengembangan teknologi kelautan.

Menurut Zainal, pemilihan waktu riset yang berjalan selama 15 tahun, karena didasarkan pada pertimbangan bahwa foresight adalah program jangka panjang. Denga kata lain, foresight dibuat dengan ideal tapi tetap memperhatikan kemampuan Indonesia.

“Sebenarnya, para pakar itu sudah bisa mendapatkan hasil setelah 10 tahun penelitian, namun belum bisa menjamin hasilnya. Oleh itu, perlu waktu yang lebih panjang, maka dipilihlah 15 tahun. Jika waktunya lebih dari 15 tahun, maka itu juga terlalu panjang dan bisa menyulitkan para pakar,” jelasnya.

Dengan adanya foresight yang berfokus pada isu kelautan, Zainal menyebut itu akan mendukung program konsorsium riset samudera yang diinisiasi oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Konsorsium sendiri, kata dia, adalah program riset yang akan dilaksanakan oleh berbagai instansi lintas batas di Indonesia dengan berfokus pada masing-masing bahasan.

 

Exit mobile version