Mongabay.co.id

Pilkada di Provinsi Batubara, Adakah Asa kepada Para Kandidat? (Bagian 3)

PLTU di dekat pemukiman warga di Desa Muaramaung, Kecamatan Merapi Barat, Lahat, Sumsel. Warga terkena dampak buruk asap batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Daerah pengerukan batubara tak hanya Kalimantan Timur, juga di Sumatera Selatan. Bukan cuma tambang, juga ada pembangkit batubara. Warga alami masalah karena dampak tambang maupun pembangkit batubara ini.

 

Suharman, mantan Kepala Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Merapi Selatan, Lahat, Sumatera Selatan, sedang gundah. Kini,  kampung Suharman, terkepung tambang batubara. Walaupun secara administratif tak ada tambang masuk di kampungnya, namun dampak kerusakan terasa.

Setelah tambang beroperasi, katanya, warga merasakan masalah seperti debu, dan ketika musim hujan lumpur terbawa arus ke sungai. Tambang yang melewati jalan utama menuju Merapi Selatan, tertimbun lumpur, licin, dan tak sedikit warga jadi korban.

Baca juga: Pilkada di Provinsi Batubara, Begini Suara Warga (Bagian 1)

Belum lagi, katanya, soal limbah, dan pencemaran air. Padahal, 99% warga di sana menikmati air yang mengalir di sungai-sungai. Suharman rindu masa sebelum ada tambang. “Udara sejuk, sekarang sudah panas, ketika kemarau kering.”

Parah lagi, katanya, lokasi pertambangan ada di hulu tempat mata air. Tak pelak, wargapun kena imbas lumpur tambang.

 

Pembangkit batubara

Tak hanya tambang batubara. Pembangkit listrik berbahan baku batubara, pun mengancam warga. Seperti Sahlan, sudah berbulan-bulan ini panik.

Baca juga: Tahun Politik Rawan Bagi-bagi Izin, Ancaman buat Lingkungan dan Warga

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di belakang rumahnya sudah beroperasi. Hanya berjarak 200 meter, terpisah sungai dari rumahnya di Desa Muaramaung, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

Dulu, katanya,  sebelum ada PLTU kehidupan masyarakat baik-baik saja tak resah karena suara bising dan polusi. Lokasi PLTU dulu, merupakan perkebunan warga. Hasil ladang membantu mencukupi keperluan pangan keluarga mereka tiap hari. Warga tanam tomat, sayur, singkong, jagung dan lain-lain.

“Sebelum ada (PLTU) berkebun, bertani, ada ladang, ada kebun karet, inilah sumber penghidupan masyarakat lokal disini,” katanya.

PLTU masuk tanpa ada sosialisasi langsung ke masyarakat. “Katanya pembangunan meningkatkan taraf hidup, saya selaku warga yang berdampingan, berdekatan langsung tak pernah menerima manfaat.”

Dia tak menyangkal ada hal positif seperti  setelah masuk PLTU, misal, dapat kartu pintar, bantuan sapi ketika Idul Adha, tetapi tak sebanding masalah yang muncul.

“Negatifnya lebih besar, rumah saya dekat cerobong PLTU, mau nuntut juga kami tak tahu kemana, informasi sangat tertutup. Kami ingin tahu kandungan kimia berbahaya apa dari polusi udara PLTU. Warga sudah banyak mengeluh asap, jika siang sedikit asap keluar, kalau malam banyak,” katanya.

Dia takut, polusi PLTU meracuni  warga, tanaman dan ternak secara pelahan.

 

Batubara, di tambang timbulkan masalah lingkungan dan kesehatan warga, di hilir, antara lain, pembangkit batubara, juga ciptakan beragam masalah. Apakah para calon pemimpin daerah, tak ada yang peka masalah rakyat ini? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Belum lagi sumber air bersi terancam. Dia contohkan, sungai yang selama ini memasok air bersih warga sudah rusak. “Dulu mandi, cuci dan minum pakai air sungai. Kini,  warga harus buat sumur untuk minum. Kami juga takut air sumur tercemar polusi udara dan limbah air PLTU.”

Sahlan meyakini kerusakan sungai karena pertambangan batubara di hulu dan limbah PLTU, namun dia tak tahu harus berbuat apa. Dia berharap,  ada kepedulian perusahaan dan pemimpin daerah terhadap lingkungan di kampungnya.

“Sekarang, tak ada warga mandi di sungai, saya pernah mandi di sungai, setelah itu kulit gatal-gatal,” katanya.

 

 

Pilkada Sumsel

Sumsel juga akan pilkada. Suharman bilang, Sumsel perlu pemimpin terbuka data, informasi terhadap investasi yang berdampak bagi manusia sekitar. “Mau mereka yang peduli lingkungan, mau turun dan mendengarkan masyarakat,” katanya.

Dia berharap,  ke depan hajat hidup masyarakat di kampung turut menikmati hasil pembangunan, hasil bumi, hingga pendapatan di Lahat, tak hanya mengalir kesegelintir orang. Apalagi mayoritas warga petani padi, dan kopi.

“Pilkada tentu saya akan memilih pemimpin yang mendengarkan keluhan warga dan peduli alam. Kami kampung yang lebih sehat dan bersih seperti dulu,” katanya.

Muhammad Khairul Sobri, akrab disapa Eep, Direktur Walhi Sumatera Selatan,  mengatakan, di Sumsel kearifan lokal masih kental, kebudayaan-kebudayaan berkaitan hutan larangan, maupun hutan adat ada tetapi tak mendapatkan pengakuan pemerintah.

Sedang izin-izin kepada bisnis ekstraktif, seperti pertambangan,  terus keluar padahal biaya pemulihan lingkungan tinggi. Sumsel, salah satu produsen batubara dengan produksi 2017 sebesar 32 juta ton, pada 2016 ada 29 juta ton.

Di Sumsel, katanya, operasi tambang bikin kualitas lingkungan turun, sumber mata air rusak. Dia contohkan, di Kabupaten Lahat, tambang berada di hulu sungai, padahal di hilir ribuan petani pakai air untuk keperluan harian dan irigasi. Seharusnya, kata Eep,  sektor pertanian diselamatkan, lindungi dari ekspansi pertambangan dan lain-lain.

“Siapapun pemimpin ke depan di Sumsel, harus mempercayakan pengelolaan sumber alam kepada rakyat. Masyarakat mampu mengelola sumber alam dengan kearifan lokal mereka,” katanya.

Walhi, katanya, meminta masyarakat selektif melihat visi misi kandidat lima tahun ke depan. “Pilih yang peduli lingkungan, tak korupsi dan peduli petani.”

Merah Johansyah Ismail, Dinamisator Jatam Nasional mengatakan, Jatam menemukan ada korelasi hubungan erat antara proses electoral pilkada, pemilihan anggota legislatif, pemilu presiden, dengan sumber pendanaan dari eksploitasi sumber alam, khusus pertambangan.

Temuan Jatam, katanya, dalam tahun politik ini, ada 170 obral perizinan pertambangan baru keluar oleh pemerintah di berbagai daerah yang menyelenggarakan pilkada.

“Ditengarai berhubungan dengan menyokong atau memobilisasi pembiayaan politik kandidat di daerah-daerah itu, lewat ijon politik,” katanya.

Dari 170 itu, ada 120 izin tambang keluar di Jawa Tengah, 34 izin tambang diobral bahkan dua pekan sebelum penetapan masa calon di Jawa Barat, dan sembilan titik pertambangan ilegal batubara masif di Kaltim.

 

Lubang bekas tambang batubara di hulu Desa Perangai, Lahat, Sumsel. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Di sana, katanya, pembiaran hukum terjadi karena kandidat punya latar belakang penegak hukum. Hal ini, katanya, terjadi di Sumsel, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sumatera Utara dan Papua.

Mengapa ini terjadi? Kata Merah, biaya politik mahal. Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015, biaya jadi kepala daerah seperti bupati dan wali Kota mencapai Rp20-Rp30 miliar, dan biaya jadi gubernur sekitar Rp100 miliar.

Kajian KPK terhadap Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), rata-rata dari ratusan calon kepala daerah hanya punya uang Rp6 miliar-Rp7 miliar. Ada ruang bagi politik ijon. Pengusaha, katanya, jadi sponsor, menyiapkan uang untuk para kandidat. Ujung-ujungnya, kandidat bukan lagi memperjuangkan isu-isu krisis dan problem rakyat, tetapi sibuk memperjuangkan kepentingan pengijon, atau sponsor mereka.

Ijon politik, katanya,  membuat demokrasi jadi buruk. Di daerah kaya batubara, katanya, rawan ijon politik. “Ini akan menenggelamkan demokrasi elektoral pada demokrasi pro ekonomi batubara atau energi fosil. Bukan jadi kemenangan rakyat, bukan pesta rakyat, namun pesta pengusaha batubara, pesta pemimpin pro energi fosil.”

Visi-misi para kandidat, cenderung umum, hanya bicara perbaikan infrastruktur, jembatan kesehatan, pemukiman, pelayanan publik dan pendidikan.

“Mereka mengabaikan krisis sesungguhnya yang dihadapi rakyat.”

Dia contohkan, di wilayah pengerukan batubara, seperti Kalimantan Timur, masyarakat sehari-hari berhadapan dengan banjir karena penguasaan ruang oleh tambang batubara.

Masyarakat, katanya,  dihantui rasa cemas, karena anak-anak mereka terancam lubang bekas batubara yang mengusai perkkotaan, baik di belakang rumah penduduk, atau sekitar pemukiman.

Di tempat lain, seperti Bengkulu, kata Merah, terjadi penghancuran daerah aliran sungai sebagai tempat pembuangan batubara. Di Sumatera Selatan,  pengangkutan batubara melalui kereta api, pencemaran udara, pembakaran lewat PLTU tak jadi bahan kandidat.

“Apa yang kita harapkan jika demokrasi prosedural ini menguntungkan pengusaha batubara ketimbang rakyat.”

Jatam, katanya, menyerukan kepada para korban batubara, maupun pembangkit listrik batubara, tak perlu ikut pesta demokrasi jika tak menjamin keselamatan alam dan rakyat.

Jatam mendesak, pemerintah memperhatikan aspirasi warga yang mempertanyakan kualitas demokrasi saat ini. Pengamatan Jatam di beberapa, katanya, terlihat isu kerusakan lingkungan, atau daya rusak pertambangan belum jadi materi debat.

“Para kandidat mengabaikan dua isu utama,  yaitu energi bersih dan ramah lingkungan. Krisis ekologi warga juga tak jadi perbincangan,” katanya.

 

Semoga rakyat peka dan selektif dalam memilih! (Selesai)

 

Keterangan foto utama: PLTU di dekat pemukiman warga di Desa Muaramaung, Kecamatan Merapi Barat, Lahat, Sumsel. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version