Mongabay.co.id

Bruce Buckheit: Energi Terbarukan Lebih Murah dari Sumber Fosil

PLTU batubara dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Kualitas udara memburuk di berbagai belahan dunia jadi momok tersendiri, termasuk Indonesia, antara lain penyebabnya, polusi dari pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Di Indonesia, pembangunan pembangkit batubara baru terus berjalan dengan alasan pemenuhan keperluan energi listrik.

Bicara polusi batubara, dalam riset Harvard dan Greenpeace pada 2015, bertajuk “Ancaman Maut PLTU Batubara” mengungkapkan, dampak buruk polutan PLTU batubara di Indonesia, membuat 6.500 jiwa meninggal dini.

Penyebab kematian, 2.700 jiwa kena stroke, 2.300 jantung insemik, 300 kanker paru-paru, 400 paru obstuktif kronik, 800 lain karena penyakit pernafasan dan kardiovaskular. Beragam penyakit itu karena paparan SO2, NOx dan PM 2,5 ditambah hujan asam, emisi logam berat seperti merkuri, arsenik, nikel, kromium dan timbal. Belum lagi, ada tambahan prediksi kematian negara tetangga Indonesia, mencapai 7.100 jiwa.

Penelitian lanjutan Harvard dan Greenpeace pada Januari 2017 menyebutkan, kematian dini pertahun di negara-negara Asia Tenggara, Korea, Taiwan dan Jepang dampak pembangkit pembangkit listrik batubara. Di Asia Tenggara, negara terparah Indonesia disusul Vietnam.

Dalam penelitian itu berisi soal rencana lanjutan pembangunan PLTU batubara, emisi di Asia Tenggara, Korea Selatan dan Jepang,  akan naik tiga kali lipat pada 2030 dengan konsentrasi peningkatan terbesar di Indonesia dan Vietnam.

Kalau itu berjalan, bakal menciptakan 70.000 kematian dini setiap tahun. Indonesia, dikatakan bakal menderita tertinggi kematian dini, diikuti Vietnam, lalu Myanmar pada 2030.

Sebenarnya, sumber energi terbarukan seperti air, angin, matahari, panas bumi, begitu besar di negeri ini. Sayangnya, pemanfaatan sumber energi terbarukan masih di bawah 10%. Alasan selalu muncul, energi terbarukan mahal!

Bruce Buckheit, konsultan energi dan lingkungan di ClimateWorks Foundation, juga mantan Direktur United State Environmental Protection Agency (US-EPA) bidang Pengendalian Kualitas Udara, mengatakan, energi terbarukan jauh lebih murah dibandingkan energi fosil.

Beberapa waktu lalu, Mongabay berkesempatan mewawancarai Buckheit, berikut petikan wawancaranya.

 

Tongkang batubara dibawa ke muara Sungai Samarinda untuk dibawa kembali ke PLTU atau ekspor ke negara luar. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Bagaimana pandangan Anda melihat permasalahan energi di Indonesia?

Ada beberapa permasalahan. Pertama, sebenarnya,  ada kelebihan pasokan jaringan listrik terutama untuk Jawa dan Bali. Kedua, PLTU-PLTU sekarang gak mempunyai unit air pollution control (pengendali polusi udara) yang bisa mengontrol PM 2,5, SOx, NOx dan lain-lain seefektif  mungkin. Karena tak mempunyai air pollution control itu, memperparah kualitas udara terutama di Jawa dan Bali.

Revisi permen yang sekarang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, belum cukup signifikan mengurangi dampak polusi udara.

 

Saat ini, Pemerintah Indonesia punya program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW, sebagian di Jawa dan Bali. Anda mengatakan, di Jawa dan Bali,  sebenarnya sudah over supply. Bagaimana Anda menilai rencana ini?

Menurut saya, program 35.000 MW ini harus ditinjau kembali. Kalau semua dibangun dan beroperasi, justru banyak biaya terbuang. Kalau itu tetap dibangun, kelebihan pasokan listrik itu tetap harus dibayar PLN, karena sudah produksi meskipun tak terpakai. Bisa jadi, kelebihan ini akan dibebankan lagi kepada masyarakat sebagai pengguna listrik.

 

 

Pemerintah beralasan proyek 35.000 MW ini untuk mendukung pertumbuhan ekonomi karena Indonesia negara berkembang. Berbeda dengan Amerika Serikat, negara maju. Menurut Anda?

Katakanlah di pertumbuhan ekonomi menanjak dari 4% jadi 5%, itupun kita sudah mempunyai kelebihan pasokan listrik. Katakanlah pertumbuhan ekonomi 6%-7%, kelebihan pasokan listrik tetap ada. Sebenarnya,  kalau dibilang program 35.000 MW ini untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dilihat dari mananya? Yang sekarang saja,  sudah kelebihan. Kalau itu tetap dibangun, akan ada biaya-biaya tambahan harus ditanggung lebih banyak di kemudian hari.

 

Bruce Buckheit, konsultan energi dan lingkungan di ClimateWorks Foundation, juga mantan Direktur United State Environmental Protection Agency. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Pengembangan energi terbarukan lamban karena dianggap investasi mahal. Menurut Anda?

Kalau soal itu kita bisa melihat ke China (Tiongkok), yang sebenarnya juga negara berkembang. Dalam setahun terakhir, karena China banyak menutup PLTU, dengan sendirinya investasi untuk teknologi energi terbarukan turun. Jadi memang iklim investasi harus dibangun dan biarkan pasar sendiri yang mengikuti. Di Amerika Serikat, empat tahun terakhir harga gas dan batubara turun 25%. Harga energi terbarukan naik.

 

 

Bagaimana Anda menilai, biaya investasi energi terbarukan vs fosil?

Porsi pembangkit energi fosil dan terbarukan tak seimbang. Coba lihat, kalau pemerintah mau bermanuver, mengubah rencana porsi energi terbarukan lebih besar dibandingkan energi fosil, kita bisa lihat strategi pasar dan investasi. Bahan baku untuk panel surya atau angin itu nol, dan itu stabil terus. Harga akan tetap. Jadi tak akan pernah ada gap atau financial potential loss.

Sedang  harga bahan bakar PLTU yaitu batubara tak pernah bisa diprediksi,  bisa naik terus, lalu tiba-tiba turun. Harga berubah-ubah. Itu yang menyebabkan potensi financial risk lebih tinggi. Kalau kita bertanya ke perusahaan tambang batubara berapa  harga yang mereka terapkan untuk batubara akan dibakar di PLTU? Itu gak peduli harga batubara naik atau turun, harga akan sesuai kontrak yang sudah disepakati di awal. Jadi perbandingannya, dilihat dari situ.  Potential financial lost ini pada akhirnya dibebankan ke konsumen hingga tarif listrik naik terus.

 

 

 

Pembelajaran apa yang bisa dipetik dari Amerika Serikat untuk peralihan energi fosil ke terbarukan dan bisa diterapkan di Indonesia?

Dari 2011-2017, (di AS) listrik dari batubara turun sekitar 20%, energi terbarukan naik 80% terutama banyak demand di hydropower. Kalau di Indonesia,  perusahaan listrik hanya PLN, di AS ada juga beberapa punya swasta. Misal, salah satu lokasi tertentu mereka biding ke beberapa investor energi, harga terendah yang diambil. Mengapa akhirnya memilih energi terbarukan? Karena itu tadi, bahan baku nol. Jadi mengambil harga terendah. Ada perbandingan antara harga energi terbarukan, gas alam, batubara, dan lain-lain.

Perusahaan listrik ini bisa membandingkan tetap yang terendah itu energi terbarukan. Si entitas penyedia listrik tadi karena swasta lebih mudah, jadi bangun saja,  misal membangun wind farm atau solar di satu kota. Ya sudah,  orang-orang tinggal bayar ke mereka. Di AS, setiap negara bagian mempunyai rencana  energi seperti rencana usaha penyediaan tenaga listrik di Indonesia,  yang harus memasukkan porsi energi terbarukan.

 

 

Bisa jelaskan soal energi terbarukan harus masuk rencana energi tiap negara bagian di Amerika Serikat?

Sebenarnya,  ada dua faktor penyebab energi terbarukan begitu berkembang. Pertama, persyaratan di tiap negara bagian harus memasukan pasokan listrik dari energi terbarukan. Angka pastinya, tidak ada. Kedua, permintaan pasar. Karena permintaan untuk penyediaan energi terbarukan makin tinggi, misal, perusahaan besar ingin pusat data, 100% gunakan energi terbarukan. Jadi, perusahaan penyedia listrik membangun pembangkit energi terbarukan.

 

 

Apa yang membuat permintaan energi terbarukan di Amerika Serikat tinggi?

Yang akhirnya membuat mengapa energi terbarukan masif, karena dorongan insentif pemerintah.  Regulasinya dibangun. Di AS energi terbarukan dapat subsidi pemerintah. Subsidi itu hanya untuk pancingan sementara, nanti dicabut. Setelah jalan, tanpa subsidi harga tetap rendah. Sebenarnya tinggal berani atau tidak? Kalau pemerintah berani memberikan feed in tariff untuk energi terbarukan, pasti banyak berinvestasi di energi terbarukan. Setelah berkembang, menciptakan lapangan pekerjaan lebih banyak, orang-orang berlomba-lomba berinvestasi di energi terbarukan. Jerman juga melakukan hal sama. Petani-petani di Jerman sekarang jadi orang kaya karena lahan dibeli untuk membangun solar panel. Sementara pertanian tetap jalan. Cuma, atap dipasang solar panel. Apalagi kalau wind farm, tak memerlukan lahan banyak. Hanya membangun tiang-tiang. Jadi pertanian dan peternakan masih bisa jalan.

 

 

Di Amerika Serikat,  apakah ada contoh sukses daerah sebelumnya berudara buruk, setelah menerapkan energi terbarukan jadi bersih?

Secara data tertulis soal daerah tertentu yang kualitas udara buruk, kemudian energi terbarukan jadi bagus, itu tak ada. Tetapi, salah satu contoh bisa dilihat di Chicago bagian barat banyak menutup PLTU, kualitas udara membaik.

 

 

Apa saran Anda untuk Pemerintah Indonesia agar punya kebijakan energi terbarukan yang baik?

Saya tak akan memberikan rekomendasi langkah pertama, kedua, atau apa. Namun yang termurah dan tercepat adalah pasang unit air pollution control di semua PLTU yang ada saat ini. Itu pasang dulu, misal, dua tahun pertama, buat target dipasang berapa unit. Terus sampai 10 tahun. Pastikan dalam 10 tahun semua air pollution control sudah terpasang di PLTU lama.

Setelah itu, baru membuat porsi energi terbarukan lebih besar. Lama-lama karena porsi energi terbarukan lebih besar, otomatis PLTU yang ada, pelan-pelan ditutup. Nanti penyedia listrik dari energi terbarukan. Kalau bisa tak usah bikin PLTU baru. Di AS,  sudah mencoba tahun 1970, yang lama tak dipasang air pollution control, yang baru dibangun, dipasang air pollution control. Ternyata tak cukup mengejar penurunan emisi.

 

Keterangan foto utama: PLTU batubara memberikan dampak penurunan kualitas kesehatan masyarakat baik karena debu maupun asap pembakaran batubara yang mengandung logam berat dan beracun. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

PLTU di dekat pemukiman warga di Desa Muaramaung, Kecamatan Merapi Barat, Lahat, Sumsel. Warga terkena dampak buruk asap batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version