Mongabay.co.id

Ekspedisi Harimau Jawa, Pencarian Tanpa Lelah Karnivora yang Dinyatakan Punah

 

Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) telah dinyatakan punah medio 1980-an. Namun, jejak si loreng ini terus dicari untuk diteliti. Adakah harapan untuk menemukannya?

Periode 1970-an, keterangan resmi mengukuhkan bahwa tak ada lagi populasi harimau jawa di Pulau Jawa nan padat ini. Hal itu berdasarkan kajian lembaga koservasi internasioal International Union for Conservation of Nature     (IUCN), yang menyimpulkan kepunahannya.

Meski begitu, kepunahannya masih menyisakan keraguan di sebagian kalangan. Setidaknya, ada secercah asa spesies ini masih eksis, belum punah total seperti yang tersurat selama ini. Sekalipun, kompilasi rujukan data begitu minim.

Mongabay Indonesia berkesempatan menghadiri ekspedisi bertajuk “Harimau Jawa” yang dihelat di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Kabupaten Pandeglang, Banten. Sebuah penelusuran yang berangkat dari keinginan besar: Menjemput Harimau Jawa.

Ekspedisi dimulai 26 Juni sampai 8 Juli 2018. Mahasiswa pencinta alam se-Jawa terlibat sebagai peserta. Didik Raharyono, pemerhati harimau jawa yang giat mengungkap fakta, hadir juga.

“Sehelai rambut harimau jawa adalah bukti,” ungkap pria berkepala plontos itu. Setidaknya, bukti dikumpulkan dari berbagai penelitian serta pengamatan lapangan sejak 1997.

Dia berujar, di hutan Jawa tersisa, secuil bukti sangat berarti. Bukti-bukti yang dituang Didik dalam buku “Berkawan Harimau Bersama Alam” tentang jejak tapak kaki, fases, bulu, dan goresan kuku dari rangkuman ekspedisi 1997, 1999, 2005 serta 2012.

Baca: Peneliti LIPI: Satwa yang Tertangkap Kamera Itu, Lebih Tepat Macan Tutul Ketimbang Harimau Jawa

 

Harimau jawa yang terpantau di Ujung Kulon tahun 1938. Sumber: Wikimedia Commons/Andries Hoogerwerf (29 August 1906 – 5 February 1977)/Public domain

 

Ekspedisi tahun ini, kata Didik, berangkat dari kabar keberadaan satu individu yang diduga harimau jawa, yang tertangkap jepretan kamera pada September 2017 di TNUK. Meski setelah ditelisik dan pembuktian mendalam, dinyatakan satwa itu macan tutul.

“Namun, ada temuan menarik. Foto itu menunjukan sesuatu yang berbeda. Terdapat garis loreng di badan. Memang jika dilihat dari bentuk ekor, itu adalah macan,” ungkapnya. “Sayang, rujukan data yang begitu minim menjadi kendala untuk menyelami keberadaannya. Kami percaya harimau jawa masih ada.”

Menurut dia, selama ini ada dilema mengenai cara bijak memahami fenomena harimau jawa. Pertama, informasi kepunahan tetap diterima mesti tanda-tanda keberadaannya masih dijumpai di alam.

Kedua, informasi-informasi itu dikumpulkan saja sebagai bahan rujukan dengan tujuan mendorong pemerintah untuk mengembangkan penelitian lebih komprehensif menyoal harimau jawa,” terang Direktur Peduli Karnivor Jawa.

Baca: Didik Raharyono, Masih Meyakini Harimau Jawa Belum Punah…

 

Perburuan harimau jawa di masa lalu. Sumber foto: Javantiger.or.id

 

 

Kepunahan dan budaya

Sejatinya, harimau di Indonesia terdiri dari tiga subspesies, yaitu harimau jawa, harimau bali (Panthera tigris balica), dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Harimau sumatera masih bertahan hidup di Indonesia dibandingkan dua subspesies lain yang telah punah.

Populasi harimau sumatera pun terganggu akibat perburuan, kehilangan habitat, serta konflik tak berujung dengan manusisa. Diperkirakan, tersisa 500 individu, 400 individu diantaranya hidup di kawasan konservasi utama yang tersebar di Sumatera. Sementara, 100 individu berada di kawasan tidak dilindungi yang cepat atau lambat berubah menjadi tanah pertanian dan perkebunan (Siswomartono 1994).

Menurut Mazak (1981), harimau sumatera betina dewasa mempunyai berat rata-rata antara 75-110 kilogram dengan panjang 2,15-2,30 meter. Umumnya ukuran harimau jantan lebih besar. Satwa ini memiliki rambut pada badannya sepanjang 8 – 11 milimeter, surai sang jantan panjangnya 11 – 13 sentimeter. Rambut di dagu, pipi dan belakang kepala lebih pendek. Panjang ekor sekitar 65 – 95 sentimeter.

Baca: Mungkinkah Harimau Sumatera, Jawa, dan Bali Sebagai Satu Subspesies?

 

 

 

Sedangkan harimau jawa, belum ada yang mengukur tubuhnya secara pasti. Kira-kira, jika diukur dari hidung hingga ekor, panjang tubuh sang jantan dewasa mencapai 2,8 meter dengan berat lebih kurang 150 kilogram.

Prakira itu berdasarkan pengamatan pada sebuah foto hitam putih harimau jawa yang mati diburu di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur tahun 1957. Harimau tersebut tampak memiliki pola loreng yang sedikit lebih tipis dibandingkan harimau sumatera. Bentuk hidung dan moncongnya lebih sempit dan memanjang, kepala yang cenderung bulat, muka lonjong, serta perawakan lebih besar.

Kepunahan harimau jawa tidak lepas dari budaya yang dibawa pemerintah kolonial. Tidak hanya diburu, harimau jawa bahkan dijadikan objek pembantaian. Pada masa itu, dalam tradisi Jawa disebut rampogan macan.

Kadang, diselenggarakan di acara seremonial kerajaan. Harimau ditangkap dan dilepas di sebuah arena untuk ditombak ramai-ramai. Bukti keberadaan harimau jawa ada di Laboratorium Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: ada dua koleksi harimau jawa dan individu terakhir harimau bali pada 1937.

 

Foto yang awalnya diduga harimau jawa ini diambil di wilayah padang pengembalaan Cidaon, Taman Nasional Ujung Kulon, pertengahan September 2017. Foto: Dok. Balai Taman Nasional Ujung Kulon via LIPI

 

Kesaksian dari yang tersisa

Didik menerangkan, selama ini keberadaan harimau jawa tersisa hanya berdasarkan kesaksian saja. Tahun 2010, dua mantan petugas TNUK menemukan harimau mati di semenanjung dekat Gunung Payung selatan. Mati karena umur tua.

“Ketika survei, dua mantan petugas itu juga pernah menemukan jejak berdiameter 15 sentimeter. Jejak tersebut lebih besar dari jejak macan tutul yang menurut literatur tidak lebih dari 10 sentimeter. Tetapi semua itu berdasarkan kesaksian,” katanya.

Doyok (40), warga Tamanjaya membenarkan apa yang ditemukan itu. “Saya pernah lihat wujud itu begitu besar. Tengkurap di semenanjung dekat pantai dalam keadaan mati. Saya memberanikan diri untuk mendekat. Dan bentuk perawakannya, harimau,” tutur mantan pemburu burung yang sekarang menjadi voluntir badak jawa.

Ketika ditanya apakah temuan itu dilaporkan ke pihak TNUK, Doyok mengatakan, “Saya tidak memiliki handphone sehingga tidak difoto. Alasan lain adalah takut. Takut membuat gaduh suasana.”

 

Macan tutul jawa yang tersebar merata dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Foto: Conservation International/Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

 

Kesaksian lain dituturkan Hamidi, petugas yang sudah 30 tahun mengabdi di TNUK. Dia mengungkapkan pengalamannya menemukan jejak dengan ukuran lebih lebar dari macan. “Untuk bertemu langsung (harimau), saya belum pernah,” jelasnya.

Didik melanjutkan, begitu adanya temuan di lapangan. Sejauh ini temuan jejak masih jadi bahan perdebatan. Namun, dia menegaskan kegiatan ekspedisi kali ini bukan untuk merespon atas laporan keberadaan predator jawa yang punah tersebut atau pembuktian.

“Tentu untuk sampai ke arah sana perlu pengamatan menyeluruh, tidak bisa parsial di satu lokasi saja.”

Ekspedisi ini, kami sengaja mengajak mahasiswa untuk menumbuhkan perhatian pada lingkungan dan alam. “Diharapkan, mereka mampu mengadvokasi hutan di Pulau Jawa yang penting untuk kehidupan kita. Sekaligus, merekomendasikan peninjauan peruntukannya, untuk areal konservasi,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version