Mongabay.co.id

Mengantisipasi Berulangnya Bencana Pangan Perikanan di Eropa

FAO kembali menerbitkan laporan 2 tahunan bertajuk “The State of World Fisheries and Aquaculture: Meeting the Sustainable Development Goals” (2018). Di dalam laporan ini, disebutkan bahwa produksi perikanan dunia mengalami lonjakan volume, dari 167,7 juta ton (2015) menjadi 170,9 juta ton (2016). Dari jumlah ini, 40,34 juta nelayan menyumbang 90,9 juta ton dan selebihnya dikontribusikan oleh 19,3 juta pembudidaya ikan di dunia.

Tak hanya itu, FAO juga menyebut bahwa Indonesia merupakan produsen perikanan tangkap kedua terbesar di dunia setelah China (12,24 juta ton) dengan volume produksi mencapai 6,10 juta ton. Disusul Amerika Serikat (4,89 juta ton), Rusia (4,46 juta ton), dan Peru (3,7 juta ton).

Setali tiga uang, Indonesia menjadi produsen produk pangan perikanan budidaya (non rumput laut) terbesar kedua di dunia setelah China (49,24 juta ton) dan India (5,7 juta ton) dengan volume produksi mencapai 4,95 juta ton (2016).

Di tengah menurunnya tren produksi perikanan tangkap di dunia sejak tahun 1996 (93,8 juta ton) ke tahun 2016 (90,9 juta ton), volume produksi perikanan budidaya justru melonjak drastis. FAO (2018) mencatat, tren produksi perikanan budidaya dunia berada di angka 24,38 juta ton (1995), 58,96 juta ton (2010), dan 80,03 juta ton (2016). Pertanyaannya, apa yang menjadi penyebab melambatnya laju produksi di sektor perikanan tangkap?

baca : Opini : Menghitung Ikan di Laut

 

Grafik Produksi Tangkapan Ikan dan Perikanan Budidaya Global. Sumber : Laporan FAO 2018

 

Tingkat eksploitasi sumber daya ikan yang tidak terkontrol dan memuncak antara tahun 1970-1980 ditengarai menjadi penyebab utama menurunnya tren produksi perikanan tangkap di dunia. Hal ini berimbas pada merosot tajamnya tingkat keberlanjutan biologis (biologically sustainable levels) stok sumber daya ikan, dari 90% (1974) menjadi 66,9% (2015).

Setali tiga uang, tingkat ketidakberlanjutan biologis (biologically unsustainable levels) stok sumber daya ikan justru meningkat, yakni 10% pada tahun 1974 menjadi 33,1% pada tahun 2015 (FAO, 2018). Tak mengherankan apabila sejumlah spesies ikan dilaporkan kian sulit ditemukan oleh nelayan selama 8 tahun terakhir.

Di Kabupaten Lombok Timur, misalnya, nelayan menyebut adanya sejumlah spesies ikan yang terbilang langka sejak tahun 2010, di antaranya adalah ikan selangat (Anadonstoma chacunda). Hal serupa besar kemungkinan bisa terjadi pada rajungan (Portunus pelagicus) yang memiliki estimasi potensi sebesar 48.673 ton (2016). Kementerian Kelautan dan Perikanan (2017) mencatat, nilai ekspor daging rajungan asal Indonesia mencapai 411 juta ton atau menempati posisi ke-3 terbesar setelah tuna dan udang dengan negara tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat (71%), disusul Jepang (9%) dan Malaysia (7%).

Transformasi (2017) menemui fakta bahwa besarnya permintaan pasar Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia terhadap rajungan asal Indonesia berpotensi mengancam kelangsungan spesies tersebut. Kenapa hal ini bisa terjadi? Setidaknya ada 2 faktor yang menjadi penyebabnya, yakni (2) tingginya tingkat eksploitasi rajungan di WPP-NRI 712 meski sudah berstatus over-exploited (upaya penangkapan harus dikurangi). Fenomena ini banyak ditemui di perairan utara Jawa, di antaranya di Lampung Timur (Provinsi Lampung); Cirebon (Provinsi Jawa Barat); Demak, Pati, dan Rembang (Provinsi Jawa Tengah); Sumenep (Provinsi Jawa Timur), dan Takalar (Provinsi Sulawesi Selatan).

Tak mengherankan apabila nilai ekspor rajungan mengalami kenaikan sebesar 400% dalam kurun waktu 2005-2013; dan (2) minusnya akses atau fasilitasi pembiayaan usaha perikanan yang berkelanjutan bagi nelayan penangkap rajungan. Imbasnya, aktivitas penangkapan ikan dilakukan menggunakan alat penangkapan ikan yang tidak selektif dan merusak. Hal ini terjadi akibat diabaikannya hasil kajian stok sumber daya ikan di dalam penerbitan izin penangkapan rajungan dan adanya intervensi politik atau penggunaan pertimbangan sosial jangka pendek yang menepikan aspek keberlanjutan rajungan.

 

baca : Kunci Selamatkan Stok Rajungan di Alam Hanya dengan Cara Ini

 

Rajungan (Portunus sp.). Foto : MBI Seafood

 

Berkaca pada temuan di atas, sudah saatnya para pemangku kepentingan, mencakup pemerintah, legislator, pebisnis, dan nelayan, untuk bergotong-royong memperbaiki tata kelola perikanan yang berkelanjutan di Indonesia. Bagaimana memulainya?

Pertama, mendayagunakan hasil kajian stok sumber daya ikan sebagaimana ditetapkan di dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.47/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia sebagai acuan bersama di dalam penerbitan SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) di 11 WPP-NRI.

Seperti diketahui, Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajistan) telah melansir estimasi potensi sumber daya ikan yang diperkirakan terus mengalami kenaikan, yakni 6,5 juta ton (2011), 9,93 juta ton (2015), dan 12,54 juta ton (2017). Di Indonesia, problematika diabaikannya laporan Komnas Kajistan ini masih banyak ditemukan di pelbagai sentra produksi perikanan. Salah satu bentuknya adalah pendistribusian perizinan perikanan hanya mempertimbangkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) semata.

 

baca juga : Kenapa Stok Ikan Terbaru Jadi 12,5 Juta Ton Per Tahun? Ini Jawabannya

 

Kedua, mengaplikasikan ukuran produktivitas dalam pengalokasian jumlah armada kapal penangkap ikan di setiap WPP sebagaimana diatur di dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.86/2016 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. Selain berkontribusi terhadap upaya melestarikan sumber daya ikan, upaya ini bisa digunakan untuk meminimalisasi terjadinya konflik horisontal antar-pelaku usaha perikanan tangkap.

Ketiga, memastikan dilakukannya pencatatan hasil tangkapan ikan di pelabuhan perikanan sebagaimana dimandatkan oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.48/2014 tentang Log Book Penangkapan Ikan. Dengan ketersediaan data dan informasi perikanan yang tervalidasi, niscaya pemulihan tingkat keberlanjutan biologis stok sumber daya ikan bisa terpenuhi.

baca juga : Pengamat : Pembenahan Tata Kelola Perikanan Laut Lebih Penting Dari Pelarangan Cantrang. Kenapa?

 

Potensi ikan yang melimpah di Indonesia, sudahkah dimanfaatkan secara benar?  Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ketiga langkah strategis di atas mendesak untuk dilakukan guna memperbaiki tata kelola pengelolaan sumber daya ikan di Indonesia. Terlebih, sejarah mencatat pengalaman buruk masyarakat Swedia dan Eropa pada umumnya yang kehilangan 99% belut dan ikan kod akibat penangkapan yang melebihi ambang batas di Laut Baltik (Lovin, Juni 2012). Ancaman ini mendorong Uni Eropa untuk menyusun European Union Common Fisheries Policy (EU-CFP) guna mengubah situasi buruk perikanan yang pernah mereka alami.

Untuk itulah, pengalaman buruk yang terjadi di Eropa sudah seyogianya menjadi pembelajaran berharga bagi 7,3 miliar penduduk Bumi (2016). Terlebih, tingkat konsumsi ikan masyarakat dunia terus mengalami kenaikan, dari 9,0 kg/kapita/tahun (1961) menjadi 20,3 kg/kapita/tahun (2016). Dengan terlibat dalam melakukan perbaikan tata kelola sumber daya ikan, tak terkecuali di Indonesia, setidaknya bencana pangan perikanan yang pernah menimpa masyarakat Eropa tak lagi terulang.

 

*Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan. Tulisan ini merupakan opini penulis

 

Exit mobile version