,

Pengamat : Pembenahan Tata Kelola Perikanan Laut Lebih Penting Dari Pelarangan Cantrang. Kenapa?

Dalam rapat terbatas (ratas) kabinet di Kantor Kepresidenan di Jakarta, Selasa (13/04/2015), Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas hasil pertemuannya dengan perwakilan nelayan dari Batang, Pekalongan, Tegal, dan Rembang, Jateng beberapa waktu yang lalu.

Hasilnya ratas tersebut, seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Jokowi mengharapkan dibentuknya gugus tugas (task force) untuk menyelesaikan sejumlah persoalan yang dikeluhkan para nelayan, seperti pelarangan alat tangkap ikan cantrang sesuai Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI, yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan nelayan.

Cantrang sendiri merupakan salah satu jenis alat penangkapan ikan yang masuk dalam kelompok pukat tarik berkapal (boat or vessel seines).

Usai ratas tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjelaskan tim khusus tersebut dikoordinatori Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dibantu Kepolisian RI dan TNI Angkatan Laut yang bekerja untuk menyelesaikan kasus penangkapan ikan ilegal.

“Satgasnya itu dipimpin kepolisian. Illegal fishing leading-nya di KKP. Dengan adanya satgas ini kami sudah bisa melakukan tindakan-tindakan langsung di lapangan,” imbuh Susi.

Sebelumnya, perwakilan nelayan dari Rembang dan Brebes yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB) bersitegang dengan Menteri Susi dihadapan Presiden Jokowi dalam pertemuan tertutup di Istana Negara, Jakarta pada Rabu (08/04/2015) yang membahas masalah Permen KP No.2/2015 pelarangan alat tangkap.

Usai pertemuan itu, Koordinator FNB Bambang Wicaksana mengatakan mereka bertemu dengan Jokowi sebagai langkah akhir setelah berupaya ke Ombudsman dan DPR RI. FNB hanya meminta solusi dan masa transisi selama tiga tahun, karena nelayan telah mengeluarkan modal besar untuk mengadakan cantrang.

”Alat cantrang antara Rp300 jutaan harganya. Kalau ganti alat tangkap lain bisa (keluar modal) Rp1 miliar. Ini nggak sesederhana mengganti alat A menjadi alat B. Tapi kapalnya juga harus menyesuaikannya. Keahliannya. Dan ini butuh waktu cukup lama penyesuaiannya,” jelas Bambang. Karena aturan pelarangan tersebut, membuat nelayan tidak melaut karena takut ditangkap petugas.

Menanggapi hal tersebut, Pemerhati Isu Kemaritiman Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Alan F Koropitan mengatakan polemik itu terjadi karena pemerintahan terdahulu tidak tegas dalam pelarangan alat tangkap tidak ramah lingkungan, seperti cantrang.

“Sejak 2005, pemerintah sudah bersiap melarang cantrang, tetapi tidak tegas. Karena ada pembiaran, nelayan banyak menggunakan cantrang. Industri pengolahan ikan pun tumbuh dan maju, sehingga penggunaan cantrang oleh nelayan pun berkembang, karena usaha ini paling laris,” kata Alan yang dihubungi Mongabay pada Selasa (13/04/2015).

Karena berkembang, Alan yang juga Lektor Kepala bidang Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor mengatakan nelayan kemudian memperbesar modal dengan meminjam kredit ke bank untuk penambahan cantrang dan memperbesar kapalnya.

Kemudian pada awal 2015, Menteri Susi mengeluarkan Permen No.5/2015 yang terkesan mendadak, tanpa ada masa sosialisasi dan masa transisi peralihan alat tangkap bagi nelayan. Hal ini sangat memukul perekonomian nelayan tradisional, dan berpengaruh terhadap industri pengolahan ikan di berbagai tempat di Indonesia, seperti di pantura Jawa dan di Bitung, Sulawesi Utara. Penerapan Permen No.5/2015 yang terkesan mendadak itu, membuat nelayan mengeluh dan protes kepada pemerintah.

“Dampak (penerapan Permen No.5/2015) paling besar di Bitung. Disana ada industri pengolahan tuna, pengalengan, pengirisan, pengasapan ikan. Begitu ada aturan larangan yang tanpa pandang bulu, kapal bersandar rapi di pelabuhan. Sehingga saya harus mengatakan sebagian keluhan kawan-kawan nelayan bahwa Bu Susi berhasil mengandangkan kapal-kapal perikanan,” kata Direktur Pusat Studi Oseanografi dan Teknologi Kelautan Universitas Surya itu.

Penggunaan cantrang sendiri masih diperdebatkan apakah merusak lingkungan atau tidak, karena ada sekelompok nelayan yang yakin bahwa alat tangkap itu ramah lingkungan.

“Ketika saya ke lapangan, ada sekelompok nelayan yang berani mengatakan cantrang tidak merusak. Karena mereka menggunakan cantrang dengan tali yang gampang putus dan dioperasikan di dasar perairan yang datar dan berpasir, sehingga tidak mungkin digunakan di perairan dengan terumbu karang,” jelas Alan.

Pada intinya, dia menjelaskan nelayan perlu diberi bantuan alih tehnologi dan waktu untuk peralihan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan, sehingga dampak bagi perekonomian nelayan dan industri perikanan bisa diminimalkan.

Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha
Nelayan melaut. Seraya melaut mereka sambil menjaga kawasan dari praktik-praktik merusak lingkungan. Foto: Indra Nugraha

Senada dengan itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan perlu ada masa transisi pengalihan alat tangkap perikanan dari cantrang guna  memastikan efektivitas pengelolaan perikanan, yang diawasi penuh oleh pemerintah.

Sedangkan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebutkan selain masa transisi pengalihan cantrang, KKP agar  memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil dengan APBN-P 2015,  berkoordinasi dengan kepala daerah setingkat kota/kabupaten/provinsi untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan. Pilihan ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Presiden c.q Menteri Keuangan Republik Indonesia.

KKP juga perlu berkoordinasi dengan perbankan nasional agar menyiapkan skema kredit kelautan dan perikanan yang bisa diakses oleh pelaku perikanan untuk penggantian alat tangkap.

Pembenahan Tata Kelola Perikanan Lebih Penting

Masalah alat tangkap ikan cantrang, merupakan salah satu permasalahan kompleks yang terjadi di perairan Indonesia, seperti pencurian ikan, Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing, alat tangkap ikan, perizinan kapal, eks kapal asing, kapal berbendera ganda, transhipment, data perikanan, data nelayan sampai dengan data stok perikanan Indonesia.

“Semua masalah tersebut, termasuk soal IUU fishing adalah masalah tata kelola perikanan Indonesia. Untuk itu, FAO (badan pangan dunia) merekomendasikan pembangunan sistem MCS, monitoring, controlling and surveillance,” kata Alan.

(MCS) meliputi log book perikanan, database perikanan yang terkomputerisasi, sistem monitoring sosial, vessel monitoring system (VMS), kapal patroli laut dan radar, serta sistem komunikasi.

Log book perikanan memuat data mengenai jenis dan ukuran kapal, alat tangkap ikan yang digunakan, wilayah penangkapan, waktu penangkapan dan jenis ikan yang ditangkap. Sedangkan sistem monitoring sosial merupakan data tentang nelayan yaitu perilaku nelayan dan preferensi penggunaan alat tangkap ikan.

Alan menjelaskan upaya monitoring dan kontrol terhadap penangkapan ikan dilakukan berdasarkan log book dan sistem monitoring sosial. Hal ini untuk menjaga perikanan berkelanjutan sesuai dengan potensi wilayah pengelolaan perairan (WPP) setempat.

“Pengecekan (oleh petugas pengawas perikanan) biasanya dilakukan acak, random observer. Kalau kekurangan tenaga, bisa bekerjasama dengan universitas yang memiliki fakultas perikanan dan kelautan.Mahasiswa yang mau lulus dan KKN, itu bisa jadi observer untuk validasi data,” katanya.

Sementara VMS merupakan sistem pelacak keberadaan kapal yang menggunakan satelit yang digunakan oleh kapal-kapal besar. “Untuk kapal nelayan kecil, kita sempat ujicoba di kampus dengan menggunakan sistem GSM (ponsel) android dan dengan gelombang radio. Data itu itu masuk ke pengamat di darat,” lanjutnya.

Setelah sistem MCS ini lengkap dan dijalankan, Alan mengatakan baru masuk pada tahap penataan regulasi yang tepat sesuai dengan kondisi nelayan. “Jangan seperti sekarang (penerapan Permen No.2/2015). Regulasi ini seperti membunuh tikus dengan membakar lumbung padinya. Sehingga terjadi keresahan dimana-mana,” tegasnya.

Permasalahan cantrang ini menjadi momentum untuk pembenahan tata kelola perikanan secara menyeluruh. “Kalau ingin menyelesaikan masalah, jangan tanggung-tanggung. Ini menjadi momentum membenahi tata kelola sesuai rekomendasi FAO yaitu MCS,” tambah Alan.

Dengan penerapan MCS dalam tata kelola perikanan, maka keinginan Susi Pudjiastuti untuk mengelola kemaritiman secara lestari dan berkelanjutan yang memakmurkan nelayan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,