Mongabay.co.id

Pemerintah-DPR Sepakat Lanjut Bahas RUU Masyarakat Adat

Hutan adat Mentawai nan terjaga dengan air jernih mengalir. Tak semua wilayah adat Mentawai, aman karena sudah banyak investasi masuk dan klaim kawasan hutan oleh negara menyebabkan wilayah adat terancam. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah meminta waktu tiga masa sidang menyelesaikan pembahasan RUU Masyarakat Adat ini. Tiga kali masa persidangan dinilai terlalu lama bahkan riskan, bisa tak selesai karena 2019,  sudah memasuki masa pemilihan umum baik pemilihan presiden maupun legislatif.

 

Pemerintah dan DPR sepakat lanjut pengesahan Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU Masyarakat Adat) dalam tiga kali masa persidangan. Pemerintah akan menyampaikan daftar inventarisasi permasalahan (DIM) kepada DPR pada awal masa persidangan pertama tahun sidang 2018-2019, yang mulai 16 Agustus 2018. Begitu kesimpulan rapat kerja Badan Legislasi DPR dan pemerintah dibacakan Totok Daryanto, Wakil Ketua Badan Legislasi, di Jakarta, Kamis (19/7/18).

“Sikap pemerintah tegas, dukung penuh. Masyarakat hukum adat itu simbol kebhinekaan.,” kata Tjahyo Kumolo, Menteri Dalam Negeri kala menyampaikan pandangan pemerintah.

Beberapa bulan lalu, pandangan Mendagri soal RUU Masyarakat Adat, sempat jadi sorotan karena menyatakan, UU ini belum perlu ada. Selang beberapa hari, Kementerian Dalam Negeri, mengoreksi pernyataan dan menyatakan dukungan atas pembahasan RUU yang sudah jadi komitmen Presiden Joko Widodo ini.

Baca juga:  Menyoal Surat Mendagri, Bagaimana Nasib RUU Masyarakat Adat?

Selain Mendagri, hadir dalam rapat dengan Badan Legislasi itu, Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN; Eko Putro Sanjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan diwakili Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, dan Brahmantya Satyamurti Poerwadi, Dirjen Pengelolaan Ruang Kaut mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan dan perwakilan Kementerian Hukum dan HAM.

Pemerintah, kata Kumolo, mendukung RUU ini selama masih sesuai perkembangan masyarakat, dan tak ingkari prinsip Republik Indonesia. UU ini, katanya, bisa jadi payung hukum dan jaminan pengakuan hak-hak masyarakat adat.

Baca juga: Akhirnya Kemendagri Dukung Pembahasan RUU Masyarakat Adat Lanjut

Kumolo minta tiga kali masa persidangan untuk menyelesaikan RUU ini dari pembahasan sampai pengesahan. Katanya, pemerintah perlu waktu untuk mendapatkan masukan dari sejumlah daerah baik pemerintah lokal maupun masyarakat adat.

“Saya tak ingin macam UU 23 (UU Pemerintahan Daerah-red), begitu komprehensif, diputuskan, gugat ke MK (Mahkamah Konstitusi-red), MK setuju juga,” katanya, mengacu UU Pemerintah Daerah yang digugat dan MK mengabulkan.

Dia bilang, banyak hal dan poin perlu pendalaman dalam RUU ini. “Kami catat, perlu ada fokus kebijakan dan dipertegas pada kewenangan urusan terkait masyarakat adat itu sendiri,” katanya.

Baca juga: Menanti Gerak Cepat DPR Rampungkan RUU Masyarakat Adat

Selain itu, katanya, bahasan ini juga mesti memperhatikan UU sektoral lain yang cukup banyak mengatur soal masyarakat adat. “Agar singkron dan harmonis.”

Dia contohkan, di lingkup Kemendagri, setelah inventarisasi ada sekitar 40 peraturan baik peratusan daerah (perda), peraturan gubernur (pergub), dan putusan-putusan kepala daerah soal masyarakat adat. Kemendagri, katanya,  juga terbitkan Permendagri No 52 soal pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Saat ini, kata Kumolo, Kemendagri terus sosialisasi agar daerah punya pemahaman sama soal ini.

 

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

Tak ada UU, tak ada kepastian

Eko Putro Sanjojo, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi juga sepakat UU masyarakat adat ini penting.

UU ini, katanya, bisa memberikan kepastian hukum dan hak ekonomi masyarakat adat agar mereka bisa berkembang. “Diketahui banyak desa-desa adat masuk tertinggal dan kantong-kantong kemiskinan di negara ini,” katanya.

Saat ini, kata Eko, ada kendala program masuk ke wilayah adat karena tak ada kepastian hukum. Padahal, katanya, dari Kementerian Desa banyak berikan pelatihan dan bantuan tetapi memang susah berkelanjutan karena tak ada kepastian hukum.

Dana desa yang besar itu, ucap Eko, sebenarnya buat memastikan pemerataan dan berikan kesempatan pada desa termasuk desa adat agar berkembang dan tentukan ekonomi mereka.

Sayangnya, tak semua daerah adat, jadi bagian desa adat defenitif hingga tak ada keterwakilan atau inspirasi tak bisa terakomodir.

Diapun menyarankan, dalam masyarakat desa mesti ada keterwakilan masyarakat adat. “Jadi dana desa bisa dirakan masyarakat adat.”

Dana desa, katanya,  cukup punya kekuatan mengurangi angka kemiskinan. Pada 2017, dari dana desa mampu kurangi sekitar 1,2 juta kemiskinan di desa-desa. “Dampak ke masyarakat adat mungkin perlu ditingkatkan lagi. Jadi, akomodir masyarakat adat agar masuk dalam pembangunan di desa-desa.”

Pemerintah, kata Eko, juga membuat satuan-satuan tugas (satgas) masyarakat adat termasuk ada program revitalisasi desa kelompok adat di beberapa kementerian, tetapi tetap saja belum efektif karena tak ada kepastian hukum. “Mudah-mudahan dengan UU ini ada kepastian dan program-program pemerintah lebih efektif,” harap Eko.

 

Hutan di kawasan adat Kelim Malamoi masih terjaga dengan baik, meski sekitar 65 persen kawasan di Sorong sudah dalam penguasaan perusahaan. Warga selama ini berupaya mempertahankan hutan yang tersisa melalui aksi unjuk rasa dan blockade jalan melalui kawasan hutan. Foto: Bentara/Yanuaris

 

Proses lama

Luthfi Andi Mutty,  dari Fraksi Nasdem selaku pengusul, senang akhirnya ada pembahasan.  Dia menceritakan, proses RUU Masyarakat Adat,  begitu lama. UU ini, katanya,  sudah dibahas DPR periode lalu tetapi sampai masa-masa akhir tak berhasil diundangkan.

“Artinya, ada masalah. Karena DPR gak kenal kerja carry over. RUU ini terpaksa mulai dari nol. Perlu tiga tahun buat goal-kan masuk prolegnas. Artinya, memang alot buat masukkan RUU ini dalam prolegnas,” katanya mengenang.

Dia menekankan, mengapa RUU Masyarakat ini begitu penting. Pertama, sudah jadi tujuan negara melindungi segenap bangsa.

Selama ini, katanya,  banyak sekali kasus-kasus masyarakat adat.

Pada 2018, kata Luthfi, laporan AMAN, lebih 200 kasus kriminalisasi menimpa masyarakat adat. Kedua, negara ini punya wawasan kebangsaan. “Pondasi, Bhineka Tunggal Ika. Jika membiarkan masyarakat adat tanpa diakui dan dilindungi itu pengingkaran terhadap wawasan kebangsaan,” katanya.

Kehadiran UU ini, katanya, merupakan upaya kongkrit terhadap wawasan kebangsaan,  Bhineka Tunggal Ika. Ketiga, sebagian besar masyarakat adat hidup dalam kemiskinan, bukan karena takdir atau hidup dalam wilayah miskin kekayaan alam. Mereka, katanya, sebagian besar hidup di daerah sumber alam sangat kaya.

“Di kawasan hutan, tambang, karena kebijakan pemerintah tak berpihak, mereka miskin. Ini dikenal dengan kemiskinan stuktural,” katanya.

Para menteri menyebutkan, sudah banyak aturan soal masyarakat hukum adat tersebar di berbagai kementerian dan lembaga. Justru karena tersebar aturan di mana-mana inilah, kata Luthfi, penerapan sulit karena banyak interpretasi hadir di situ.  “Dengan kehadiran UU ini, aturan berserakan itu dihimpun dalam satu UU dan jadi acuan nanti.”

Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan, hasil raker DPR dan pemerintah yang menyepakati RUU Masyarakat Adat lanjut pembahasan setidaknya langkah maju.

“Paling tidak ini satu langkah. Jadi pemerintah dan DPR sudah sepakat dulu untuk lanjut pembahasan RUU ini, pada masa sidang Agustus ini,” katanya kepada Mongabay.

Soal substansi dan proses, katanya, AMAN akan terus mengawal termasuk pasal-pasal sangat krusial, seperti pasal evaluasi masyarakat adat atau pembentukan Komisi Nasional Masyarakat Adat. Komisi ini penting ada dalam UU, kata Arman, sebagai utang konstitusi dan Nawacita Presiden Joko Widodo.

“AMAN akan terus mengawal ini. Pasti,” kata Arman.

 

Hutan adat Depati Nyato, di Kerinci yang masih terancam karena belum ada pengakuan dan perlindungan dari pemerintah. Warga adat sudah menjaga wilayah adat termasuk hutan adat turun menurun. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Terlalu lama

Andi Yuliani Paris, anggota Baleg dari Fraksi PAN menilai, tiga masa sidang terlalu lama.  “Tolonglah Pak Menteri jangan tiga masa sidang…,” katanya.

Dia tahu, ada pasal-pasal yang perlu pembahasan mendalam. Jangan sampai, katanya,  aturan ini malah memberkecil ruang masyarakat adat. “Semangat RUU ini berikan eksistensi kepada masyarakat adat yang selama ini tersingkirkan, selalu berhadapan dengan negara,” katanya.

AMAN pun berpandangan sama,  pembahasan RUU dalam tiga kali masa sidang terlalu lama. “Karena 2019 itu tahun politik. ini mesti selambat-lambatnya dua masa sidang,” kata Arman.

Pada Agustus 2019, sudah mulai masuk proses pilpres dan pileg hingga agak riskan. “[RUU ini]  dari segi substansi, proses sudah dari tahun-tahun lalu.  Semestinya sudah bisa selesai lebih cepat lagi. Ini bukan satu yang baru,” katanya.

Dia khawatir, kajadian lama terulang. RUU Masyarakat Adat sudah jadi inisiatif DPR periode lalu, dan dalam pembahasan tak selesai sampai pergantian pemerintahan, termasuk DPR. Alhasil, proses mulai lagi dari awal.

“Pembentukan UU masuk prolegnas gak ada istilah carry over jadi  mulai baru. Dua kali masa sidang paling lama.”

 

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya?
Foto: Dokumen AMAN Kaltim

 

***

Pada pembukaan rapat Arif Wibowo, Wakil Ketua Badan Legislasi dari Fraksi PDI-P juga Ketua Panitia Kerja RUU Masyarakat Adat menjelaskan urgensi RUU ini hingga jadi usulan DPR.

Soal masyarakat adat diatur dalam UUD’45, Pasal 18 ayat 2 yang menyebutkan, negara mengakui, menghormati, dan mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur UU.

Selama ini, katanya, dalam pengakuan dan perlindungan, jadi kendala karena frasa “sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan” dalam kenyataan lebih banyak berhenti dalam tataran diskursus. Peraturan UU dan operasional, tak ada kesamaan indikator terhadap keberadaan masyarakat adat

Ada UU Desa, tetapi  masih ada permasalahan pokok karena sila hukum adat tak bisa terakomodir. Dalam level peraturan dan operasional menyebabkan hak masyarakat adat hilang. “Kebijakan pemerintah mendorong pertumbuham ekonomi malah masyarakat  adat terpinggirkan.”

Konflik lahan dan sumber daya alam pun terjadi di mana-masa sampai Komnas HAM lakukan Inkuiri Nasional. Komnas HAM melakukan investigasi terhadap 40 kasus konflik di dalam kawasan hutan antara masyarakat dan perusahaan baik HPH, HTI, kebun sawit sampai pertambangan serta konflik masyarakat dan negara.

Komnas HAM bekerja, juga sebagai tindak lanjut putusan MK-35, yang , menyatakan hutan adat bukan lagi hutan negara. Ia merupakan gugatan AMAN dan komunitas adat terhadap UU Kehutanan tahun 1999. Dalam putusan MK itu, soal proses pengakuan masyarakat adat tak dibatalkan.

“Pasal 67 dapat dipahami (tak dibatalkan) sebagai aturan untuk mengisi kekosongan hukum. Karena UU yang diperintahkan belum terbentuk. Artinya, RUU Masyarakat Adat memang diperlukan.”

Arif pun membacakan ringkasan draf RUU Masyarakat Adat. Antara lain, dalam draf RUU Pasal 20 dan 21, menyebutkan, masyarakat adat akan dievaluasi setiap 10 tahun pasca penetapan oleh pemerintah.

Disebutkan, akan ada bentuk panitia evaluasi masyarakat adat. “Evaluasi dilakukan 10 tahun sekali sejak ditetapkan. Evaluasi atas pengakuan berdasarkan persyaratan yang diidentifikasi saat proses pengakuan,” kata Arif.

Kalau sudah tak penuhi persyaratan, katanya, bupati atau walikota lakukan pembinaan. “Kalo sudah bina dan tak dipenuhi juga, maka menteri tetapkan hapuskan masyarakat hukum adat.”

Anggota Baleg mengingatkan soal poin evaluasi ini. “Perlu hati-hati  pada bagian evaluasi. Jangan lagi ada konflik antara masyarakat adat dan negara.  Mereka ada duluan. Sebagai penghormatan dengan beri jaminan atas keberadaan mereka,” kata Hermanto, anggota Baleg.

Martua T Sirait, Deputy Executive Director of Indonesia Operation Samdhana Institute, diminta tanggapan soal RUU ini. Dia mengatakan, UU Masyarakat Adat sudah sangat urgen. Ada banyak pasal mengatur masyarakat adat tersebar pada banyak UU dan kadang berbeda-beda cara pandang, serta sangat sektoral. UU Masyarakat Adat ada untuk menyelaraskan.

Dia sebutkan, perlu cari cara lain untuk pengakuan keberadaan masyarakat adat. “Sudah dicoba melalui perda seperti Dalam UU 41 (Kehutanan)  Pasal 67, tapi proses terlalu panjang,” katanya kepada Mongabay.

Pengakuan hak masyarakat adat atas identitas, budaya, kelembagaan, sumber daya alam, kata Martua, merupakan hak konstitusional yang perlu segera dipenuhi.

Saat ini, berkembang kelompok yang mempertanyakan keberagaman Indonesia, masyarakat adat jadi teladan. “Mereka jadi perekat keberagaman kita. Kesempatan emas itu sekarang, kalau tidak,  bukan hanya masyarakat adat jadi korban, tetapi usaha menegakkan keberagaman bangsa terancam.”

Dari aspek lingkungan, katanya, masyarakat adat sudah terbukti mengelola sumber daya alam secara bijaksana atau rendah emisi. Masyarakat adat, katanya,  sebagai kekuatan utama global saat ini dalam menyelamatkan dunia dari kecepatan perubahan iklim.

“Negeri kita kaya akan praktik-praktik masyarakat adat ini. Jika tidak dilindungi, diakui dan dikembangkan akan sia-sia.”

 

Keterangan foto utama: Hutan adat Mentawai nan terjaga dengan air jernih mengalir. Tak semua wilayah adat Mentawai, aman karena sudah banyak investasi masuk dan klaim kawasan hutan oleh negara menyebabkan wilayah adat terancam. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

Hutan ramba Laman Kinipan, di Kalimantan Tengah, kini…Foto: dokumen Laman Kininan, diambil 10 Mei 2018

 

 

Exit mobile version