Mongabay.co.id

Indonesia Serius Implementasikan Prinsip Ketertelusuran Perikanan dan Fair Trade, Seperti Apa?

Indonesia yang lautnya kaya akan ikan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Kebutuhan produk perikanan yang legal dan berkelanjutan, dari waktu ke waktu terus meningkat. Konsumen makin peduli dengan produk perikanan yang jelas dan tegas. Akibatnya negara yang menjadi tujuan pasar ekspor, kemudian mensyaratkan setiap produk perikanan harus sudah memiliki sertifikat produksi yang dikeluarkan sejumlah lembaga.

Salah satunya adalah Amerika Serikat kepada negara-negara yang memasok produk perikanan dan kelautan ke Negara paman Sam itu, termasuk kepada Indonesia. Amerika, salah satunya mensyaratkan produk harus bersertifikat yang memenuhi prinsip fair trade.

Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PDPKP KKP) Rifky Effendi Hardijanto di Jakarta, dua pekan lalu mengatakan, negara tujuan ekspor dari Indonesia saat ini mulai menerapkan prinsip ketertelusuran (traceability) untuk setiap produk tangkap dan budidaya. Syarat tersebut, wajib dipenuhi jika Indonesia ingin mengirimkan produknya untuk dijual di negara tersebut.

“Bagaimana prosesnya, ditangkap pakai apa, dan dikirim dengan apa, itu jadi bahan pertimbangan untuk dinilai. Itu menjadi bagian dari ketertelusuran,” ungkap dia.

baca : Perikanan Bertanggung jawab Harus Diterapkan Pelaku Industri di Indonesia, Caranya?

Saat ini, Rifky menyebutkan, masih sangat tinggi produk perikanan dan kelautan yang tidak menerapkan prinsip ketertelusuran. Meski sudah ada kenaikan kesadaran sekitar 16 persen dari jumlah semula sekitar 99,5 persen, namun dia mengakui kalau itu masih jauh dan harus ditingkatkan lebih tinggi lagi. Dengan demikian, semua produk perikanan dan kelautan yang ada sudah memenuhi prinsip itu.

“Ini kerja besar Presiden RI yang diturunkan kepada kami. Jadi ini menjadi kerja bersama,” tutur dia.

baca : Produk Tuna dari Indonesia Harus Penuhi Prinsip Ketertelusuran, Seperti Apa?

 

Suasana bongkar muat ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kepala Sub Direktorat Sumber Daya Ikan (SDI) KKP Tryan Yunanda menambahkan, wilayah Indonesia terdiri dari 70 persen lautan dan sisanya daratan. Dari fakta tersebut, sumbangan produk domestik bruto (PDB) dari sektor perikanan dan kelautan masih 30 persen saja. Padahal, jika dikembangkan lebih baik lagi, potensi yang bisa didapatkan bisa berkali lipat.

“Jepang sudah mencapai 50 persen sumbangan PDB untuk pendapatan nasional, itu adalah dari laut. Sementara, luas laut mereka itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan Indonesia. Mereka sudah sangat bagus mengelola wilayah lautnya,” jelas dia.

 

Kesejahteraan

Dengan fakta tersebut, Tryan menyebut bahwa bangsa Indonesia harus bisa mengembangkan dengan kerja keras dari sejak sekarang. Pengembangan sektor kelautan dan perikanan, akan membawa pada tingkat kesejahteraan yang baik jika prosesnya dilakukan dengan baik dan benar. Bahkan, bukan tidak mungkin ke depan Indonesia bisa menyalip Jepang.

“Ini jadi modalitas kita untuk bekerja. Kita punya laut yang luas dan sumber daya di dalamnya yang sangat kaya,” tutur dia.

Tryan mencontohkan, Indonesia saat ini memiliki potensi stok ikan hingga 12,54 juta ton. Jumlah itu berasal dari perikanan tangkap, tuna, dan juga perikanan budidaya. Dengan potensi besar tersebut, Indonesia bisa mengembangkan produknya dengan lebih baik lagi. Tetapi, syaratnya harus ada prinsip ketertelusuran dalam setiap produk yang dihasilkan.

Tentang komitmen fair trade yang saat ini dilaksanakan di Indonesia, Tryan menyebut bahwa itu menjadi komitmen yang baik. Selain untuk menerapkan prinsip ketertelusuran, dengan menggunakan komitmen tersebut, produk dari Indonesia dipastikan akan lebih terjamin kualitasnya dan bisa diterima oleh negara pasar utama seperti AS.

“Ikan itu harus segar dari laut dan tetap segar ketika dihidangkan di atas meja. Selain itu, ikan juga harus jelas dan legal,” tutur dia.

baca : Fokus Liputan : Mewujudkan Perikanan Berkeadilan di Pulau Buru: Masalah dan Tantangan [Bagian 4]

 

Potensi ikan yang melimpah di Indonesia, sudahkah dimanfaatkan secara benar? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut Tryan, fair trade adalah terminologi yang diperlukan oleh nelayan kecil dan besar di Indonesia. Terminologi tersebut, akan menertibkan, mendisiplinkan, dan menjelaskan secara detil tentang produk perikanan dan kelautan yang dihasilkan. Apalagi, di Tanah Air saat ini sedikitnya terdapat 2 juta nelayan yang menyebar di berbagai wilayah pesisir.

“Ada 14 buyer internasional yang siap membeli produk Indonesia, jika memenuhi kriteria tentunya. Tak hanya fair trade, ada juga sertifikasi MSC (Marine Stewardship Council) yang juga bertujuan untuk mengungkap ketertelusuran. Semua itu, sudah dipikirkan oleh Pemerintah untuk menjamin harga bagi nelayan dan pasar,” tutu dia.

Sven Blankenhorn dari Fair Trade USA menjelaskan, prinsip ketertelusuran yang disyaratkan sesuai dengan terminologi fair trade, adalah prinsip komprehensif yang diterapkan dalam waktu yang panjang. Semua itu, bertujuan untuk memberikan kehidupan lebih baik bagi produsen dan konsumen. Pada akhirnya, fair trade akan meningkatkan kesejahteraan bagi keduanya, terutama nelayan yang menjadi ujung tombak perikanan.

Untuk bisa mendapatkan sertifikat, Sven menyebutkan, perlu perjuangan yang sangat ekstra dan ketelatenan dari perusahaan ataupun nelayan yang menjadi mitra. Tak hanya itu, perlu waktu yang panjang untuk bisa mencapai standar yang ditetapkan untuk bisa mendapatkan sertifikat. Semua itu, kemudian dipantau langsung oleh auditor yang independen.

“Jika dari hasil audit ternyata sudah memuhi kriteria dan standar, maka perusahaan atau nelayan tersebut bisa mendapatkan sertifikat,” ungkap dia.

baca : Dengan Teknologi Ini, Menelusuri Asal Ikan jadi Lebih Mudah

 

Karyawan di PT Harta Samudera Pulau Buru, Maluku, akhir Agustus 2017, memperlihatkan potongan ikan tuna yang sudah diberi label fair trade dari hasil tangkapan nelayan setempat. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kerja Keras

Direktur PT Harta Samudera Robert Djuanda, di kesempatan yang sama mengatakan, perusahaan yang dipimpinnya sudah memulai proses penerapan prinsip keberlanjutan dan ketertelusuran dengan terminologi fair trade sejak 2012 atau 6 tahun lalu. Sejak memulai, perusahaan harus bekerja keras karena pelaksaan itu juga melibatkan nelayan tradisional yang menjadi mitra perusahaan.

Setelah memulai, Robert menjelaskan, perlu waktu hingga sekitar tiga tahun untuk bisa melakukan perbaikan sistem, baik untuk perusahaan maupun nelayan. Bersamaan dengan itu, kemudian perusahaan menginisiasi pembentukan kelompok nelayan yang bertujuan untuk mempermudah proses penerapan prinsip ketertelusuran.

baca juga : Traceability Fisheries : Makan di Jimbaran, Ikannya Mungkin dari Perairan NTT

“Sebelum itu, nelayan biasa bekerja secara individu. Setelah berkelompok, kita kemudian mengumpulkan data produksi ikan dari mereka. Tak hanya itu, di saat bersamaan juga kita mengikuti apa yang Pemerintah syaratkan untuk perikanan yang baik,” ungkap dia.

Dengan ketekunan dan ketelatenan, Robert menambahkan, perusahaan akhirnya melaksanakan audit secara independen dan hasilnya pada 2014 dinyatakan sudah memenuhi standar dan kemudian mendapatkan sertifikat fair trade ikan tuna pertama di dunia. Tetapi, setelah itu, justru tantangan lebih besar datang silih berganti.

“Pada 2015 hingga 2016, banyak kelompok fair trade yang tutup. Itu tantangan besar yang dihadapi, tapi sekarang sudah pulih lagi dan bahkan ada 700 an kelompok yang aktif,” tegas dia.

 

Seorang remaja di Pulau Buru, Maluku, memperlihatkan potongan tuna yang baru diturunkan dari perahu. Sejak program fair trade Yayasan MDPI dipraktikkan, nelayan kecil mulai merasakan dampak positifnya bagi mereka. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Ketua Komite Fair Trade Tuna Buru, Desa Waprea, Kabupaten Buru Namlea, Provinsi Maluku Rustam Tuharya menyatakan, penerapan prinsip fair trade pada awalnya dirasakan para nelayan sangat memberatkan. Namun, setelah dijalani dengan tekun, justru hasilnya lebih bagus jika dibandingkan dengan sebelumnya.

“Pada 2014 baru terbentuk kelompok. Kita mendapatkan pelatihan tentang perikanan berkelanjutan. Dari situ, kita jadi tahu harus bagaimana ketika di laut, lebih baik lagi dan efisien,” ungkap pria 47 tahun itu.

Dari berkelompok, Rustam mengaku sudah biasa menerapkan batas minimun untuk setiap produk yang ditangkap seperti tuna yang dibatasi minimal ukuran 100 cm. Kemudian, hasil tangkapan itu dijual ke pemasok untuk perusahaan PT Harta Samudera dan hasil penjualannya dikelola dengan baik untuk kebutuhan hidup.

“Pengelolaan keuangan juga kita belajar dari berkelompok, karena kita diajarkan bagaimana cara mengelola yang baik,” tandas dia.

 

Exit mobile version