Mongabay.co.id

Nyawa Taruhannya, Kenapa King Kobra Dipelihara?

 

Rumah cat biru di Jalan Danau Rangas, Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekanraya, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, itu tampak lengang. Barang seperti ranjang kayu dan kasur untuk merebahkan jenazah almarhum Rizky Ahmad (19) telah disingkirkan. Meski telah dimakamkan pada Kamis, 12 Juli 2018, pihak keluarga merasa Rizky tetap bersama mereka.

Kepergian selamanya Rizky bagi Muhammad Yahya, saudara sepupu, merupakan pukulan telak. Nyawa anak muda ini berakhir karena hobi dan kecintaanya pada reptil ganas, king kobra. Rizky dipatuk satwa peliharannya pada acara car free day (CFD) di Bundaran Besar Palangka Raya, Minggu (08/7/2018). Senin pagi, pihak RSUD Doris Sylvanus, tempat ia dirawat, menyatakan nyawanya tidak terselamatkan.

Lahir dan besar di keluarga yang mempunyai hobi memelihara ular, membuat masa kecil Rizky memang dekat dengan satwa melata. Selain king kobra, Yahya menyebut ada enam ekor ular yang dipelihara, satu ekor piton ukuran empat meter dan sanca yang lebih kecil. Berbeda dengan pencinta reptil umumnya, Rizky dan Yahya memelihara ular dari hasil tangkapan liar (wild caught).

“Saat mendapat king kobra, dia (Rizky) bahagia sekali karena memang mengidamkan. Dia biasa ‘main’ dengan kobra atau jenis berbisa lainnya, yang bila ketemu akan dilepas lagi. Ini sebabnya, king kobra dia pelihara,” tuturnya.

Baca: Ular Muncul di Perkebunan Sawit, Fenomena Apakah Ini?

 

King kobra (Ophiophagus hannah), ular sangat berbahaya. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Diungkapkan Yahya kepada Mongabay Indonesia, pengetahuan mereka tentang jenis dan karakter ular memang minim. Modal nekat. Hanya dapat ilmu dari internet dan sharing info bersama komunitas reptil. Bahkan, beberapa kali mereka uji nyali dengan ular sanca atau piton, dengan menjadikan tangan sebagai sasaran gigitan.

“Meski dipelihara sejak menetas dari telur, king kobra tidak akan pernah jinak. Yang diperlukan adalah nyali, kewaspadaan, dan kegesitan membaca gerakannya,”

King kobra yang dipelihara Rizky didapat dari jala/jaring ikan (rengge-Dayak) milik tetangganya. Sekitar dua bulan lalu saat banjir melanda Jalan Danau Rangas, yang tak lain komplek perumahannya. Rizky dan Yahya dipanggil untuk mengevakuasi ular tersebut bersama tim SAR.

“Almarhum sempat mengatakan ke keluarganya bila ular tiga meter lebih ini akan menjadi ‘jalan hidupnya’. Kita ambil hikmah saja, lebih hati-hati dan waspada lagi. Almarhum berpesan agar king kobra peliharaannya dilepaskan jauh dari permukiman warga, atau diserahkan ke BKSDA Kalteng,” ucap Yahya.

Baca: Ular yang Tidak Perlu Kita Musuhi

 

King kobra yang dipelihara almarhum Rizky yang diberi nama The Killer. Sumber foto: akun Facebook Risky Ahmat

 

Kasus kematian pertama

Theodorus, Humas RSUD Doris Silvanus, kepada Mongabay Indonesia mengatakan kematian akibat racun king kobra yang dialami Rizky Ahmad merupakan kasus pertama yang ditangani rumah sakit ini. Dia mengatakan, saat pasien datang, prosedur penanganan awal yang dilakukan adalah memberikan serum antibisa, antibiotik untuk mencegah naiknya leukosit dalam darah. Di waktu bersamaan, pihaknya juga berkonsultasi dengan dokter Tri Maharani, pakar snake bite dan toksikologi untuk menentukan tindakan apa yang harus dilakukan.

“Kasus pertama yang ditangani sejak 12 tahun saya bekerja di sini. Kalau gigitan kobra atau ular lainnya banyak dan pasien selamat,” ujarnya.

Diakui Theo, saat penanganan pertama, serum anti bisa khusus king kobra memang tidak ada. Sayang, saat serum datang, nyawa Rizky sudah tidak tertolong. “Dia dinyatakan meninggal secara klinis,” jelasnya.

Baca juga: Ular dan Katak, Apa Pentingnya untuk Kita?

 

King kobra (Ophiophagus hannah), jenis ular dengan racun mematikan. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Adib Gunawan, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah mengakui tidak ada kewenangan untuk melarang masyarakat memelihara satwa yang tidak dilindungi undang-undang, seperti ular. Sejauh ini, pelarangan hanya terhadap sejumlah satwa dilindungi karena mendekati punah atau langka.

“Kami hanya mengimbau, agar tidak memelihara satwa berbahaya dan juga tidak baik untuk kesehatan. Terlebih yang menularkan penyakit,” jelasnya.

Menurut Adib, kasus meninggalnya Rizky Ahmad merupakan peringatan keras bagi siapa saja yang berencana memelihara satwa berbahaya. Ke depan, salah satu upaya yang dilakukan BKSDA Kalimantan Tengah adalah sosialisasi bersama mitra tentang bahaya memelihara satwa tertentu, kegiatan dilakukan saat car free day.

“Untuk mengantisipasi tidak terulang kasus serupa. Padahal, melihat satwa di habitat aslinya itu lebih menyenangkan,” ujarnya.

 

Serum antivenom untuk gigitan ular. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Mematikan

King kobra merupakan salah satu spesies ular paling mematikan di Indonesia, setelah viper (Viperidae) dan welang (Bungarus). Kandungan racunnya dapat membunuh manusia hanya dengan takaran sepermililiter. Sementara dalam sekali serangan, king kobra mampu menyuntikkan sekitar tujuh mililiter dalam satu kali gigit. Dosis itu jika dikalkulasikan cukup untuk membunuh seekor gajah.

“Tingkat kematiannya sangat tinggi, bahkan dalam hitungan menit,” jelas pakar Snake Bite dan Toksikologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Tri Maharani. Kandungan racunnya sangat kompleks dengan komposisi variasi. Sifatnya neurotoksin, kardiotoksin, dan sedikit hematoksin.

Kepada Mongabay Indonesia, Tri menuturkan, salah satu racun dengan sifat post synaptic neurotoxin yang terkadung dalam bisa king kobra dapat menyebabkan kelumpuhan otot-otot pernafasan, hingga sulit bernafas. Selain itu, pengaruh kardiotoksin memperparahnya dengan mengakibatkan gagal jantung. Dua komposisi itu sudah cukup membuat korban meninggal cepat.

Meski begitu, korban gigitan king kobra masih dapat ditolong dengan penanganan tepat. Yaitu dengan imobilisasi yang dilakukan dengan tidak menggerakan bagian tubuh yang tergigit.

Tri yang juga menjadi penasehat gigitan ular badan kesehatan dunia WHO mengungkapkan, cara ini sangat direkomendasikan pada pertolongan pertama gigitan ular. WHO telah menerangkannya dalam panduan terbaru Guideline Snake Bite 2016. “Kita buat penyanggah seperti korban patah tulang. Ini harus dilakukan sambil menunggu pertolongan medis lebih lanjut,” jelasnya.

Bila bisa tetap pada daerah lokal yang terkena gigitan, sistem metabolisme tubuh dengan sendirinya dapat mengeluarkan racun. Namun, apabila tidak dilakukan imobilisasi dan telah menjalar ke seluruh bagian tubuh, penanganannya akan lebih sulit karena hanya antivenom yang dapat mengikat racun, untuk mengeluarkannya dari dalam tubuh.

 

Ular kobra yang juga agresif dan bisa menyemburkan racun hingga dua meter. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Sayangnya, pemahaman kebanyakan masyarakat di Indonesia hingga kini masih memercayai cara-cara tradisional dan cenderung bersifat mitos untuk menangani gigitan ular. Misal, dengan mengikat bagian tubuh yang tergigit, kemudian mengisap darahnya hingga membawa korban ke dukun. “Padahal jelas salah dan tidak menolong sama sekali.”

Tri menegaskan, cara-cara seperti itu harus segera ditinggalkan. Untuk itu, dia bersedia kerja sama dengan pemerintah memberikan edukasi massal penanganan gigitan ular ke setiap daerah. Pasalnya, banyak kesalahan berakibat fatal yang dilakukan masyarakat apabila terjadi gigitan ular.

“Saya menyadari, pengetahuan tepat penanganan gigitan ular harus dimiliki setiap orang. Termasuk, semua tenaga medis di pusat kesehatan untuk mengantisipasi jatuhnya korban jiwa,” katanya.

Berdasarkan data Global Snakebite Initiative, kasus gigitan ular di dunia setiap tahun sudah memakan korban hingga 4,5 juta orang. Jumlah itu juga mengakibatkan luka serius pada 2,7 juta pria, wanita termasuk anak-anak dan telah menghilangkan sekitar 125 ribu nyawa. Sementara itu, banyak korban selamat yang kemudian menderita cacat tubuh dan kelumpuhan.

 

 

Red spitting cobra (Naja pallida). Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

King kobra dan kobra berbeda

Amir Hamidy, Kepala Laboratorium Herpetologi Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, meski menyandang nama dan bentuk yang hampir sama, king kobra dan kobra adalah ular dari spesies berbeda. Mereka sudah tidak sama dari sisi morfologi dan molekulernya.

Dalam susunan taksonomi kata Amir, king kobra tidak termasuk keluarga besar dari marga kobra dalam hal ini Naja, melainkan ia memiliki marganya sendiri yaitu Ophiophagus. Pembedaan itu salah satunya karena king kobra adalah ular yang kanibal.

Ophiophagus berarti pemakan ular. Sesuai dengan marganya, mangsa utama king kobra adalah ular. Meski begitu, ia juga tidak menutup mangsa lain seperti kadal dan mamalia kecil,” paparnya baru-baru ini.

Lebih lanjut kata Amir, karakter fisik keduanya memiliki ketidaksamaan yang cukup signifikan. Misal dari ukuran. King kobra umumnya memiliki panjang tubuh yang lebih dibandingkan kobra. Ukuran maksimal dewasa king kobra dapat mencapai panjang 2-4 meter, bahkan hingga 5 meter. Sementara kobra ukurannya tak lebih dari setengahnya yakni berkisar 1-2,5 meter.

“Cara mereka menegakkan leher juga ada ciri khas. Jika diperhatikan, king kobra memiliki tudung atau payung yang sedikit lebih memanjang ke bagian bawah lehernya, sementara kobra terlihat lebih lebar dan bulat seperti sendok. Karenanya, kobra sering disebut ular sendok.”

 

Borneo short-tailed python (Python curtus brongersmai). Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Jenis ini tersebar di banyak negara Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti India, Nepal, China, Filipina, Kamboja, Thailand, hingga semenanjung Malaya termasuk Indonesia. Untuk di Indonesia, king kobra tersebar hampir di sebagian besar Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, hingga Bali. Sedangkan kobra hanya tersebar di dua pulau saja, yakni Jawa (Naja sputatrix) dan Sumatera (Naja sumatrana).

King kobra mencari mangsa dengan indera penciumannya yang tajam. Lidah bercabangnya mencium keberadaan mangsa dengan menangkap partikel-partikel bau di udara untuk kemudian membawanya ke reseptor khusus yang disebut organ Jacobson di langit-langit mulut. Jika tercium, ular ini akan menggetarkan lidahnya dan menariknya keluar masuk untuk memperkirakan arah dan letak mangsa.

 

Rusty eyelash viper. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Persamaan yang dimiliki kedua jenis ular ini hanya sama-sama mangandung venom atau bisa yang kuat. Sehingga tidak disarankan menjadikannya sebagai satwa atraksi dan mainan.

“Apapun alasannya, mereka adalah ular yang sangat berbahaya dan tidak disarankan untuk memeliharanya. Sebagai satwa liar, mereka juga memiliki insting yang tidak bisa diprediksi, sehingga bisa menyerang kapan saja dan di mana saja,” jelas Amir.

 

King kobra yang hidup di Sumatera (kiri) dan yang ada di Jawa (kanan). Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia – Sumber: Buku 107+ Ular Indonesia karangan Riza Marlon (halaman 235-236)

 

Riza Marlon dalam bukunya “107+ Ular Indonesia” menjelaskan, king kobra merupakan jenis sangat agresif. Sedikit ada gangguan langsung menunjukkan postur waspada yaitu menegakkan kepala dan tudung serta mendesis dengan suara keras. Ular ini aktif siang hari dan saat bertelur akan menghasilkan 20-50 butir. Habitatanya berada di hutan dataran rendah, pegunungan, rawa dan wilayah hingga ketinggian 1.800 meter di atas permukaan laut. Mangsanya adalah ular sanca, ular koros, dan kadal besar.

Sementara ular kobra aktif di siang dan malam hari yang tidak hanya di tanah kadang juga di pohon. Habitatnya berupa hutan hutan hujan, kebun dekat permukiman, sawah dan wilayah hingga ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Makanannya berupa tikus, kadal, juga katak. Saat bertelur, ia bisa menghasilkan 13-19 butir.

“Penting untuk diingat, ular biasanya tidak dengan sengaja menyerang atau menggigit manusia. Pada umumnya kasus, gigitan merupakan reaksi ular atas ulah manusia yang dianggap mengancam. Sebagian ular justru akan menghindar atau berdiam diri ketika bertemu manusia. Apabila sangat terpaksa, ular akan memberi peringatan dini yang ditandai dengan suara mendesis, menaikkan badan, mengembangkan lehar, atau menyemprotkan bisa,” tegas Riza.

 

 

Exit mobile version