Mongabay.co.id

Perusakan Lahan di Maiwa Enrekang, PTPN XIV Klaim Sudah Sesuai Prosedur. Bagaimana Ceritanya?

Maroangin mencekam. Rabu (18/07/2018) pagi itu, pukul 09.00, sekitar 20 orang karyawan PTPN XIV Unit Maroangin dibantu 10 orang dari satuan Brimob Polda Sulawesi Selatan melakukan perusakan terhadap kebun dan lahan warga di Maroangin, tepatnya Desa Botto Mallangga, Kecamatan Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Warga mencoba menghalangi proses perusakan lahan tersebut, namun tak dapat berbuat banyak karena dihalang-halangi oleh polisi. Pagar dan tanaman warga dirusak menggunakan chainsaw.

Safar, salah seorang warga bercerita bahwa ketika mereka mempertanyakan perihal perusakan tanaman dan pagar kebun seluas 5 hektar itu, kepala unit PTPN XIV Maroangin, Asman mengakui memerintahkan karyawannya membersihkan lahan yang diklaim milik PTPN XIV.

Situasi saat itu sempat memanas, warga berkumpul merespons aksi sepihak oleh perusahaan. “Informasi yang beredar bahwa PTPN XIV Unit Maroangin akan kembali melakukan proses pembersihan lahan dan akan melakukannya di areal persawahan milik warga,” ujar Safar.

baca : Sengkarut PTPN di Enrekang, Konflik pun Bakal Berlarut

Sengketa antara warga dengan PTPN XIV di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel. Lahan ini telah dikelola warga selama 15 tahun terakhir yang diklaim PTPN sebagai bagian dari konsesi HGU mereka. Foto: Safar/Mongabay Indonesia

 

Tindakan PTPN itu direspon Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel bersama sejumlah NGO di Sulsel, seperti Lembaga Bantuan Hukum Makassar, KontraS Sulawesi, Federasi Petani Sulawesi Selatan, Serikat Petani Massenrempulu, Suara Lingkungan dan Yayasan Pendidikan Rakyat Bulukumba.

Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator KPA Wilayah Sulsel, mewakili koalisi menyatakan bahwa pengrusakan lahan pertanian itu merupakan pelanggaran HAM karena telah terjadi berulang kali.

“Aktivitas PTPN XIV Enrekang tanpa adanya perpanjangan HGU (hak guna usaha) telah melanggar aturan yang ada,” ujar Rizki.

Menurutnya, HGU PTPN XIV Unit Maroangin sudah selesai sejak tahun 2003 dan aktivitas perusakan ini telah terjadi berulang kali. Operasional perusahaan di Kabupaten Enrekang ilegal karena sampai saat ini HGU tidak diperpanjang.

“Bahkan pemerintah Kabupaten Enrekang telah mengeluarkan surat edaran bahwa HGU PTPN XIV tidak akan diperpanjang karena tidak memberi kontribusi pada pemerintah daerah dan menimbulkan konflik pada masyarakat.,” tambahnya.

baca juga : Konflik dengan Warga, Tanpa HGU PTPN XIV di Enrekang Mulai Tanam Sawit

 

Perusakan sawah menggunakan alat berat di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel. PTPN XIV berdalih bahwa lahan sekitar kawasan bisa digunakan warga untuk pertanian, selain untuk sawah. Foto: Safar/Mongabay Indonesia

 

Menurut Rizki, perampasan ruang hidup petani oleh PTPN XIV telah mencoreng rencana pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria sebagaimana yang tertuang dalam NAWACITA pemerintahan Jokowi-JK RPJMN 2015-2019 yang memasukkan reforma agraria sebagai agenda prioritas.

Aparat kepolisian juga dinilai telah menyalahi Peraturan Kapolri No.8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kegiatan ilegal dan perampasan lahan petani oleh PTPN XIV dinilai telah menimbulkan efek yang sangat besar bagi masyarakat sekitar. Termasuk hilangnya hak-hak dasar warga negara, hak atas hidup layak, hak atas rasa aman, hak atas penghasilan yang layak, serta hak atas sumber-sumber agraria.

“Terkait kejadian ini kami mendesak PTPN XIV Unit Maroangin Enrekang untuk segera menghentikan kegiatan ilegal dan perusakan terhadap tanaman produktif milik masyarakat,” ujar Rizki.

Tuntutan lainnya adalah mendesak Kapolda Sulawesi Selatan segera menarik satuan pengamanan dari lokasi tersebut.

“Kami juga mendesak Kapolda Sulsel agar segera melakukan penindakan terhadap aktivitas perusakan lahan pertanian milik masyarakat oleh PTPN XIV Unit Maroangin, serta menghimbau kepada seluruh organisasi rakyat dan tani untuk bersatu melawan segala bentuk perampasan tanah dan sumber-sumber agraria rakyat.”

baca : Warga Wajo Tagih Janji PTPN XIV Kembalikan Lahan sesuai Kesepakatan

 

Rahim (45 tahun) memandangi padi yang sudah diratakan oleh PTPN XIV Maroangin, Kabupaten Enrekang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sanggahan PTPN XIV

Pihak PTPN XIV melalui Kepala Bagian Sekretaris Perusahaan, Jimmi Jaya, kepada Mongabay sebelumnya menjelaskan tindakan mereka sudah sesuai aturan.

“Bukan kita mau hancurkan. Secara legalitas ini sudah sesuai prosedur, ini hak guna usaha kita yang masih dalam proses perpanjangan dan ini masih diproses oleh dewan. Kita memang sempat vakum sekitar 15 tahun di lahan itu. Ketika kita berhenti beraktivitas, masuklah masyarakat menggarap. Mereka seharusnya bersyukur 15 tahun mengelola lahan tersebut dan kami tidak menuntut apa-apa,” ungkap Jimmi.

Menurut Jimmi, warga yang merasa haknya dirampas bisa menempuh jalur hukum dengan menunjukkan bukti kepemilikan yang ada.

“Jika memang mereka punya legalitas kita akan berikan sesuai dengan prosedur hukum. Karena kalau kita debat kusir tak ada selesainya. Kami punya alas hak berupa HGU.”

Menurutnya, meski HGU PTPN XIV telah selesai masa waktunya pada tahun 2003 lalu namun kepemilikan lahan masih menjadi hak mereka sebelum ada penghentian resmi dari pemerintah. Apalagi saat ini proses pengajuan masih tengah berlangsung. Proses perpanjangan ini telah diajukan sejak 2001 namun hingga saat ini belum selesai karena terkendala teknis dan non teknis.

“Ini masih dalam proses. Kita dulu usulkan 5.000 hektar. BPN (Badan Pertanahan Nasional) jelaskan kalau 5.000 hektar bisa diperpanjang selama tidak ada okupasi. Sedangkan di dalamnya (lahan) itu ada yang dikuasai oleh masyarakat. Itu kita mau clear-kan dulu. Kedua, secara teknis, ada beberapa lahan yang belum ditanami PTPN. BPN itu kalau perpanjangan harus ditanami semua 5.000 hektar itu. Sekarang kita baru mau menanam,” tambahnya.

baca juga : Bupati Terpilih Diharap Mampu Selesaikan Konflik PTPN XIV Takalar

 

HGU PTPN XIV telah berakhir sejak 2003 silam. Kini HGU masih dalam proses perpanjangan karena BPN menilai masih belum clear and clean, termasuk pelunasan pembayaran pajak yang tertunda. Foto : KPA Sulsel/Mongabay Indonesia

 

Terkait pembayaran pajak yang dikeluhkan sejumlah NGO, Jimmi membantah jika PTPN dianggap tidak membayar pajak. “Yang terjadi adalah hanya keterlambatan pembayaran saja, dan akan segera kami selesaikan.”

Jimmi juga berdalih, meski belum ada SK baru perpanjangan HGU pihaknya masih bisa beraktivitas di wilayah tersebut. Ia merujuk PP Agraria No.9/1999, yang mengatakan selama hak itu belum dialihkan ke yang lain maka PTPN masih berhak karena itu adalah aset negara yang belum dialihkan kepada siapa pun.

Keterlambatan SK perpanjangan HGU semata karena BPN menunggu clear and clean. Dalam aturan dikatakan tanah itu tidak dikatakan tanah terlantar jika dikuasai oleh BOP atau BUMN.

“Yang terlantar itu misalnya kalau swasta kuasai 2.000 hektar dan hanya ditanami 1.000 hektar dalam setahun, maka 1.000 itu adalah tanah terlantar. Itu untuk swasta. Tapi kan kita negara (BUMN) ini pak.”

Jimmi selanjutnya menjelaskan keruwetan alih kelola lahan jika PTPN terpaksa harus meninggalkan kawasan tersebut.

“Kalau misalnya PTPN tinggalkan Maiwa (Maroangin) ada sekitar 3.000 hektar tanah yang ditinggalkan. Kalau pemerintah kemudian membagi-bagi ini ke masyarakat, apa dasarnya? Apa kriteria masyarakat penerima? Siapa saja yang berhak? Tidak ada UU yang mengatur seperti itu. Malah ini bisa jadi potensi konflik yang besar, karena tanah tersebut bukan tanah milik masyarakat. Ini punya pemerintah.”

Jimmi juga menjelaskan adanya aturan terkait kewenangan Bupati untuk pemberian lahan hanya untuk luasan di bawah 1 hektar, sementara lahan yang dipermasalahkan sekitar 3.000 hektar.

“Apakah tidak akan menjadi konflik yang besar? Dasarnya apa bupati membagikan masyarakat? ini kan kalau dibagi Bupati bisa dituntut Tipikor karena menyalahgunakan kewenangannya, karena lahan negara dibagi-bagi, dan apa dasarnya masyarakat menerima.”

Jimmi juga membantah jika mengabaikan keberadaan masyarakat di sekitar wilayah kelola PTPN. Selama ini PTPN telah memberikan ruang kelola masyarakat untuk komoditas pertanian tertentu.

“Kita cukup fleksibel di Enrekang selam ini. Kalau kami tanam sawit masyarakat bisa tanam jagung, ketela pohon, kacang tanah, yang penting jangan padi, karena padi berair.”

 

Exit mobile version