Mongabay.co.id

Begini Kisah Desa Salenrang yang Sukses Tolak Tambang Dengan Wisata

Kawasan wisata Rammang-rammang di Desa Salenrang, Kabupaten Maros, cukup populer bagi warga Sulawesi Selatan karena keindahan alamnya yang diapit oleh pegunungan karst. Menyimpan misteri tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung.

Pengelolaan kawasan ini untuk wisata dilakukan baru tiga tahun terakhir ini. Dulunya, kawasan ini hanya dikenal sebagai pegunungan kapur yang kaya akan marmer. Lokasinya yang tak jauh dari pabrik semen Bosowa, menjadikannya rentan untuk dieksploitasi.

Bahkan beberapa perusahaan sedang mempersiapkan penambangan di daerah ini, meski kemudian terhenti karena mendapat penolakan dari warga yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Salenrang (PRS).

Tak ingin tambang ini masuk lagi ke daerah tersebut warga kemudian berinisiasi melakukan upaya perlindungan melalui pendekatan lain, yaitu melalui wisata. Pariwisata menjadi alat perjuangan warga merebut ruang kelola wilayah dari dominasi swasta dan pemerintah.

baca : Rammang-Rammang, Keajaiban Alam Berpadu Sejarah Panjang Kehidupan Manusia

 

Kawasan wisata Rammang-rammang, Maros, kini menjadi kawasan wisata alam populer di Sulsel. Berada di tengah pegunungan karst yang sebelumnya bakal dijadikan kawasan tambang marmer. Kini ada upaya melindungi kawasan ini melalui Perda Perlindungan Karst. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

“Pariwisata ini hanya salah satu cara untuk merebut ruang-ruang kelola yang bisa kami bangun. Jadi ini bukan soal pariwisata semata, hanya saja kebetulan kami pasnya di situ. Ini soal ruang kelola. Kami dapat legalitas di pariwisata, sehingga kami masuki di situ,” ungkap Iwan Dento, panggilan akrab Muhammad Ikhwan, aktivis PRS, yang kini menjadi penanggung jawab wisata Rammang-rammang, awal Juli 2018.

Bagi Iwan, perjuangan itu tidaklah mudah, karena kadang harus berbenturan dengan kepentingan pemerintah dan swasta. Pengelolaan wisata ini akhirnya dilakukan secara mandiri tanpa dukungan dari Pemda setempat. Dukungan terbesar justru datang dari Pemerintah Desa. Untuk pengelolaan, mereka membentuk wadah bernama Kelompok Sadar Wisata Hutan Batu.

“Selama ini memang kami masih jalan sendiri. Pemda belum pernah ada event apa pun di sini. Bahkan kami dianggap rival dari kawasan wisata Bantimurung dan Leang-leang yang dikelola Pemda. Mereka kan kejar PAD Rp8 miliar/tahun, sementara kami masuknya di PA Desa,” ungkap Iwan.

Meski tanpa dukungan Pemda, pengelolaan wisata Rammang-rammang ini terbilang sukses. Tercatat, ada 70 ribu wisatawan domestik dan mancanegara selama 2017. Tahun 2018 diperkirakan melampaui jumlah itu. Industri wisata ini menjadi sumber pendapatan utama bagi 60 persen KK atau sekitar 282 KK dari 500 KK yang ada di desa Salenrang, baik dari usaha penyewaan perahu, kuliner, petugas kebersihan, penginapan, parkir.

Dari retribusi dan penyediaan jasa, diperoleh pemasukan hingga Rp15 juta/bulan. Sebanyak 30 persen masuk kas desa, sisanya digunakan untuk biaya operasional pengelola wisata.

“Jadi ini tak menjadi beban, malah saling bersinergi dengan pemerintahan desa,” tambahnya.

baca juga : Beginilah Kawasan Wisata Rammang-rammang, Bentuk Perlawanan Warga terhadap Tambang

 

Suasana di kawasan wisata Rammang-rammang di Maros, Sulsel pada Senin (7/8/2017). Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Sinergi pengelola wisata dengan Pemdes Salenrang, tidak hanya dalam hal kontribusi PAD tetapi juga dalam hal alokasi Anggaran Dana Desa (ADD). Pada 2017 misalnya, sebagian ADD digunakan untuk pembangunan area kuliner, dermaga, dan pembebasan lahan untuk kawasan parkir.

“Desa kami mungkin satu-satunya desa yang punya aset tanah di Maros hingga bagian aset di Pemda bingung bagaimana pengaturannya, karena selama ini belum ada contoh. Aset ini peruntukannya jelas, begitu juga dengan income-nya. Kami membebaskan lahan dan tidak membiarkannya terlantar.”

Pembangunan kawasan wisata ini terus berlangsung. Pada 2018, rencananya dibangun area outbond, menggunakan dana desa dan hasil pendapatan pengelolaan wisata.

menarik dibaca : Menelusuri Jejak Wallace di Maros

 

Pengelolaan Sampah

Ada hal menarik dalam pengelolaan wisata Rammang-rammang, yaitu upaya meminimalisir sampah pengunjung demi menjaga keaslian dan keasrian kawasan ini. Iwan menginisiasi lahirnya Toko Sampah, yang dikelola bersama istrinya, Marwah.

“Kita di sini ada program Jumat Menimbang. Setiap Jumat, warga yang punya sampah plastik dan kertas bisa menjualnya ke sini. Kita beli sesuai dengan harga yang berlaku di pasaran,” ujar Iwan.

Awalnya jual beli sampah dilakukan tunai. Belakangan Iwan mengubahnya menjadi penukaran dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti baskom, kompor gas, parut kelapa, toples kue, dan lain-lain.

“Mereka bisa memesan barang apa yang diinginkan. Nanti mereka membayar secara cicil, dihitung sesuai dengan jumlah sampah yang mereka setor. Tinggal dikonversi saja nilai sampah tersebut ke dalam bentuk uang,” katanya.

 

Muhammad Ikhwan atau Iwan Dento, aktivis lokal sekaligus warga Desa Salenrang, Maros, Sulsel yang sukses menggerakkan warga mengelola kawasan karst Rammang-rammang menjadi kawasan wisata secara mandiri, tanpa dukungan dari Pemda setempat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Marwah mengakui besarnya antusiasme warga mengikuti program tersebut. Dalam seminggu jumlah sampah yang terkumpul hingga ratusan kilogram.

“Mereka lebih senang ditukar dengan barang dibanding dibayar cash, karena kalau uang mungkin terlihat nilanya sedikit. Beda jika ditukar dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga langsung kelihatan hasilnya. Mereka bayarnya pun tidak menjadi beban karena cukup dibayar dengan sampah.”

Jual beli sampah ini, dinilai Iwan, sebagai solusi ganda, permasalahan persampahan terselesaikan, sekaligus menguntungkan bagi warga setempat.

Belakangan Iwan juga mengembangkan program Ecobrick di mana ia membeli sampah plastik dari masyarakat berupa sampah plastik kresek yang dipadatkan dalam botol plastik. Botol-botol ini nantinya bisa digunakan untuk macam-macam kebutuhan, seperti pembuatan kursi, dinding dan taman.

“Ini menggantikan fungsi batu bata. Sementara pengembangan, namun Pemdes siap menjadi mitra membeli Ecobrick yang kami kumpulkan. Bisa untuk bikin taman desa, pot, kursi dan macam-macam.”

 

Program sampah Ecobrick, atau sampah kresek yang dipadatkan dalam botol plastic, sebagai pengganti batu bata, dan penggunaan lain seperti lantai, dinding, pot bunga, meja, kursi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Perda Perlindungan Karst

Perjuangan warga Salenrang untuk memperoleh kepastian ruang kelola tidak terbatas pada pariwisata, tetapi juga jaminan hukum wilayah hidupnya. Caranya dengan menggagas lahirnya Perda Perlindungan Kawasan Karst. Prosesnya kini dalam tahap penuntasan draf sebelum diajukan di DPRD.

“Kebetulan ada anggota dewan yang mau memperjuangkan Perda ini. Makanya Perda ini kemudian menjadi inisiatif dewan,” lanjut Iwan.

Keberadaan Perda ini sangat penting bagi warga Salenrang yang tinggal di sekitar kawasan karst, termasuk keberlangsungan industri pariwisata mereka.

“Ini akan berdampak pada keberlangsungan wilayah kelola. Saya tidak bisa menjamin kalau saya tidak di sini lagi apakah pariwisata di Rammang-rammang ini akan tetap berlanjut. Kami berharap aktivitas kami sekarang ini akan bisa diwariskan ke generasi mendatang. Kita butuh pengakuan negara, karena ini ternyata penting. Makanya saya berambisi untuk mewujudkan pengakuan ini,” katanya.

Perda Perlindungan Karst bakal melindungi kawasan dari dampak eksploitasi yang berlebihan, baik dari perusahaan ataupun masyarakat sendiri. Termasuk potensi konflik masyarakat dengan pemerintah.

“Konflik akan bisa dihindari dengan adanya kejelasan batas-batas ruang kelola ini, dan itu harus melibatkan dan mempertimbangkan keberadaan masyarakat yang ada di sekitar kawasan,” jelas Iwan.

baca : Miris! Beginilah Kondisi Karst Maros-Pangkep

 

Aktfitas industri ekstraktif di Karst Maros yang menghasilkan polusi debu. Foto: Cahyo Rahmadi/Mongabay Indonesia

 

Keberadaan Perda ini juga penting bagi Rammang-rammang untuk mendapat pengakuan global dari UNESCO. Baru-baru ini, Rammang-rammang telah mendapat pengakuan sebagai site geopark, tapi baru sebatas pengakuan nasional.

“Untuk menuju pengakuan global melalui UGG, UNESCO Global, syaratnya harus ada regulasi daerah sebagai pendukung. Makanya keberadaan Perda ini nantinya akan semakin meneguhkan kawasan ini dalam perlindungan global.”

 

Exit mobile version