Mongabay.co.id

Mengintip Semangat Pedang Wutun Lestarikan Penyu di Solor

Banyaknya penyu yang terjaring pukat nelayan di pulau Solor termasuk di perairan seputar Solor Barat membuat Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) Pedang Wutun di kelurahan Ritaebang, kecamatan Solor Barat, Flores Timur (Flotim), Nusa Tenggara Timur (NTT) meyakini bahwa di perairan mereka terdapat banyak penyu.

“Ini yang membuat kami meyakini di pesisir pantai berpasir putih sepanjang wilayah kelurahan Ritaebang pasti terdapat banyak sekali penyu yang bertelur setiap bulan Maret sampai Juli. Lebih banyak penyu bertelur saat bulan terang dan air pasang pendek,” sebut ketua kelompok, Kristo Kelan Werang (48) saat ditemui Mongabay Indonesia, Sabtu (14/7).

Kristo mencatat sudah 4 kali penyu sisik tersangkut di jaringnya dan dilepaskan kembali karena sadar penyu itu hewan dilindungi.

Ada 4 jenis penyu yang dilindungi yang ditemukan di Solor Barat, termasuk di Ritabaeng yakni penyu hijau (Chelenia midas), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu sisik (Eretmochelys mydas) serta penyu belimbing (Dermochelys cariacea).

“Penyu belimbing agak susah ditemukan di Solor sebab lebih banyak terdapat di perairan yang ada muara kalinya. Paling satu dua kasus saja penyu ini terjaring pukat nelayan di Solor,” tuturnya.

baca : Penyu Belimbing Ini Terjaring Nelayan, Mau Diselamatkan, Malah Hilang. Kok Bisa?

 

Ketua Pokmaswas Pedang Wutun, Kristo Kelan Werang menutup lubang penetasan telur penyu disaksikan lurah Ritaebang, Solor Barat, Flores Timur, NTT, Urbanus Werang (kanan) dan Paulus Ileama Niron (kiri), wakil ketua kelompok Pedang Wutun. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pokmaswas Pedang Wutun beranggotakan 10 orang dan nama Pedang Wutun dipilih untuk membangkitkan semangat dan mengingatkan kembali akan sejarah pantai Ritaebang.

“Pedang adalah sejenis pohon seperti kelapa berwana merah dan bisa dimakan. Kulit buahnya pun manis. Sementara Wutun adalah nama tanjung di ujung barat pulau Solor. Dulu orang menyebut Ritaebang dengan nama Pedang Wutun  sebab di sepanjang pesisir pantainya banyak tumbuh pohon Pedang,” jelasnya.

 

Dari Kesadaran

Penetasan penyu, kata Kristo, berangkat dari kesadaran mereka mencegah telur penyu yang diambil, dijualn dan dikonsumsi masyarakat.

baca : Hati-hati! Konsumsi Penyu Berbahaya, Berikut Ini Penjelasannya…

Tradisi berburu telur dan menangkap penyu di sepanjang pesisir pantai lambat laun mulai sirna. Bahkan penyu yang terjaring nelayan pun dilepaskan setelah hampir 3 tahun gencarnya sosialisasi dari dinas Kelautan dan Perikanan Flores Timur serta LSM.

Paulus Ileama Niron (60) wakil ketua Pokmaswas Pedang Wutun menyebutkan, dirinya tertarik bergabung di Pokmaswas Pedang Wutun agar bisa mengajak masyarakat dan melestarikan lingkungan.

“Kami kerja ini demi banyak orang kami dan berharap agar ke depannya budidaya seperti ini bisa berjalan lancar sehingga daerah Solor Barat bisa menjadi daerah penetasan dan penangkaran penyu,” harapnya.

baca juga : Cerita Yusri Melindungi Penyu di Mampie

 

Kristo Kelan Werang (kiri) ketua Pokmaswas Pedang Wutun memperlihatkan tukik yang baru menetas dan ditaruh di dalam keramba apung di pesisir pantai desa Ritaebang, Solor Barat, Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Lurah Ritaebang Urbanus Werang mengaku mendorong pelestarian penyu sebab melihat potensi penetasan telur penyu dan penangkaran bisa dijadikan sebagai aset wisata edukasi. Dia juga melarang masyarakat menangkap penyu dan mengambil telur penyu di pesisir pantai Solor Barat.

“Semakin banyak orang yang mencintai lingkungan di Solor Barat tentu akan lebih baik. Ini juga jadi aset selain penanaman terumbu karang, penanaman mangrove dan mengelola pantai wisata dengan konsep ekowisata,” ungkapnya.

  

Dikirim Belajar

Aktivias Pedang Wutun ternyata diperhatikan oleh LSM Misool Baseftin dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Flotim. Mereka berkeinginan agar Pokmaswas ini bisa diberdayakan untuk konservasi penyu sebab sering mendapat laporan ditemukannya telur dan penyu di pesisir pantai Ritaebang.

Erma Normasari, dari Misool Baseftin mengatakan pihaknya belum fokus ke konservasi penyu sehingga berkoordinasi dengan DKP Flotim agar Pokmawas Pedang Wutun dilatih atau magang di kelompok Sahabat Penyu di Loang Lembata. Sejak belajar di Loang pada 2017, jelas Erma, Pokmaswas Pedang Wutun beraktivitas konservasi penyu.

menarik dibaca : Masyarakat Kampung Malaumkarta: Dulu Konsumsi dan Buru, Sekarang Sayangi Penyu

 

Tukik penyu yang baru menetas dan ditaruh di dalam keramba apung di pesisir pantai desa Ritaebang, Solor Barat, Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Butuh sekitar 6 bulan, ungkap Kristo, untuk mengamati dan menemukan titik penyu bertelur. Sehingga pada April 2017, mereka mengambil telur penyu untuk ditetaskan.

“Tidak semua telur diambil dan biasanya disisakan 5 butir telur di lubang dan ditutup kembali. Agar Kalau diambil semua, penyu tersebut tidak akan kembali bertelur di pantai tersebut lagi karena merasa tidak aman telurnya diambil orang,” jelasnya.

“Waktu menetasnya 48 atau 49 hari dimana banyaknya telur tergantung besar kecilnya penyu tetapi minimal 80 telur  hingga 100 butir lebih sekali bertelur. Di tempat penetasan ini masih ada 400 telur penyu sisik yang masih ditetaskan,” paparnya. 

 

Wisata Edukasi

Awal kegiatan konservasi penyu, masyarakat Ritaebang mencibir aktivitas Pokmawas. Namun berkat dukungan Lurah Ritaebang dan Lega-Lega Community, kegiatan ini tetap berjalan.

“Masyarakat sinis melihat kita dan berkata kerja tidak dapat uang dan yang dapat uang pemerintah. Tapi berkat dukungan dari pak lurah maka kami bersemangat melakukan kerja sosial ini,” sebut Lambertus Seran Niron, anggota Pokmaswas.

Sudah 291 lebih tukik yang dilepas pertama, pada Mei 2018. Meski demikian ada beberapa ekor yang ditaruh di keramba apung di pesisir pantai Ritaebang.

Sedangkan Erma menyarankan pelepasan tukik sebaiknya dilakukan saat subuh atau di atas jam 5 sore agar tidak dimangsa burung atau predator lainnya.

baca juga : Kurma Asih, dari Mitologi jadi Aksi Penyelamatan Penyu

 

Anggota Pokmaswas Pedang Wutun, Lurah Ritaebang, pencinta lingkungan, Kapospol dan Babinsa Ritaebang melepas tukik di pantai Ritaebang, Solor Barat, Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Pokmaswas Pedang Wutun ini, ujar Erma, sangat aktif dan biasanya kelompok yang berawal dari kesadaran masyarakat akan bertahan lebih lama. Tinggal pengembangan kegiatan konservasi selanjutanya.

“Dan berharap agar ke depannya kegiatan (Pedang Wutun) ini bisa dijadikan wisata edukasi. Kami sampaikan ke Kadis DKP Flotim. Kami juga akan membantu membuatkan media promosinya,” tutur Erma.

Sedangkan Apolinardus Y.P. Demoor dari DKP Pemkab Flotim menjelaskan ada 7 titik wilayah peneluran penyu yaitu Sulewaseng Solor, Waiula Watubuku kecamatan Wulanggitang dan di Ojan Detung Titehena.

Namun telur penyu di tempat tersebut tidak dipindahkan ke penangkaran, sehingga Pokmaswas hanya mengawasi sarang telurnya saja agar tidak dicuri orang dan bisa menetas.

“Pak bupati (Flotim) menghendaki tukik dipelihara hingga 2-3 bulan di keramba dilaut hingga sedikit besar baru dilepas,” ungkapnya.

DKP Flotim sendiri sudah menyampaikan ke dinas Pariwisata agar di Ritaebang dijadikan destinasi wisata edukasi penyu. Apalagi ditambah dengan aktifitas dari Lega Lega Community menanam bakau serta transplantasi dan menanam terumbu karang.

Sementara Kristo mengatakan fasilitas penangkaran penyu Pedang Wutun belum memadai, keramba masih minim dan belum ada lampu.Tempat penangkaran juga masih sederhana dengan ukuran 7,5 x 4,5 meter.

“Kami butuh anggaran Rp20 juta untuk bangun dua lopo dan membuat tempat penangkaran yang lebih layak,” tambah Kristo mengharapkan bantuan.

 

Exit mobile version