Mongabay.co.id

Gelar Konsolidasi, Nelayan Sulut Ungkapkan Berbagai Persoalan

Nelayan tradisional dari berbagai daerah di Sulawesi Utara berkumpul di Sekretariat Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut, Daseng Panglima, kota Manado. Di sana, mereka menggelar konsolidasi dan menyampaikan sejumlah persoalan, di antaranya masalah hak akses melaut, ruang kelola dan keterancaman ruang hidup masyarakat pesisir.

Nelayan di Manado, misalnya, dalam kurun beberapa waktu kedepan akan kembali berhadapan dengan proyek reklamasi pantai. Namun, program pembangunan di Manado utara seluas 200 hektar itu disebut-sebut tidak melibatkan masyarakat pesisir sebagai subjek pembangunan.

Yafred Laikun, nelayan Sindulang I mengatakan, hingga saat ini belum terasa inisatif pemerintah daerah untuk mendengar keluhan masyarakat sekitar lokasi target pembangunan. Padahal, sebagian di antara mereka khawatir, reklamasi di Manado utara dapat berdampak negatif pada lingkungan hidup.

“Kalau air naik, gorong-gorong itu rata air. Kalau ditimbun, dan hujan, sudah pasti kampung akan tenggelam. Kemudian, di tempat kami sudah penuh dengan batu. Perahu saya sudah hancur. Tapi, sampai saat ini, pemerintah tidak pernah melihat permasalahan nelayan. Seakan-akan lepas tangan,” terang Yafred, pada Selasa (24/7/2018).

baca : Rignolda Djamaludin: Terjadi Pelanggaran HAM Luar Biasa terhadap Nelayan Manado

 

Suasana acara konsolidasi nelayan tradisional Sulawesi Utara di Sekretariat Asosiasi Nelayan Tradisional (Antra) Sulut, Daseng Panglima, kota Manado, pada Selasa (24/7/2018). Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Lain lagi cerita nelayan Malalayang II. Di daerah itu, masyarakat pesisir menghadapi ancaman penggusuran. Bukan saja ruang tambat perahu, tapi juga pemukiman. Sudirman Hililo, koordinator Forum Nelayan Pesisir Pantai Malalayang II mengatakan, masyarakat di wilayah tinggalnya belum mendapat kepastian hak tinggal. Sebab, sudah sejak lama mereka harus berhadapan dengan klaim kepemilikan wilayah pesisir.

“Sampai saat ini, kami tidak mau bentuk kelompok nelayan untuk terima bantuan. Buat apa kami terima bantuan, kalau tempat tinggal kami bermasalah? Kami bernelayan tidak pernah dipandang oleh pemerintah, oleh pengambil kebijakan. Nelayan tidak pernah minta uang, cukup akui kami sebagai warga negara yang sah,” tegas Sudirman.

Di desa Tambala, kecamatan Tombariri, kabupaten Minahasa, nelayan mengeluhkan sulitnya memperoleh tambatan perahu yang aman ketika cuaca buruk. Sebab, di pesisir pantai telah terbangun tanggul setinggi 4 meter yang menyulitkan mereka untuk mengamankan perahu. Namun, jika tidak mencari lokasi yang aman, maka perahu-perahu nelayan akan rusak.

Konsekuensinya, mereka harus memanfaatkan pemecah ombak yang dibuat oleh hotel, tak jauh dari pemukiman nelayan. Menurut Alanuari Tamengge, warga desa Tambala, pemecah ombak itu adalah lokasi paling strategis untuk mengamankan perahu ketika cuaca buruk. Namun, seringkali pengelola hotel mengusir nelayan yang ingin parkir perahu di sana.

baca juga : Khawatir Akses Pantai Ditutup, Nelayan Manado Protes Pemasangan Seng

 

Nelayan dengan perahunya berangkat melaut di Pantai Malalayang, Manado. Sulut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Selain pengusiran, tindakan lain yang dilakukan adalah memutus tali atau menggunakan aparat keamanan. “Nelayan di sini menilai, batas kekuasaan hotel hanya sampai di darat. Laut, airnya, tidak boleh mereka klaim,” ujar Alanuari.

“Sudah sekitar 3 kali pertemuan untuk cari jalan tengah. Pertemuan ketiga ada usulan, hotel memberi keleluasaan buat nelayan. Tapi, semakin ke sini, apa yang dibahas dalam pertemuan sepertinya tidak berlaku lagi.”

Sementara di Minahasa Utara (Minut), perwakilan nelayan yang hadir menyampaikan persoalan di pesisir, mulai ancaman bom dan racun, hingga aktifitas pertambangan. “Masih ada masyarakat yang pakai potas. Banyak ikan mati. Beberapa kali juga ada ledakan bom,” terang Farida, warga pulau Gangga.

Tajudin Hema, koordinator Antra Minut menambahkan, permasalahan lain adalah aktifitas pertambangan yang diduga menjadi sebab keruhnya perairan di daerah itu. “Karena tambang, hujan sedikit air jadi kabur. Belum lagi pencemaran udara. Pisang-pisang mati. Sapi juga mati karena pengaruh itu,” terangnya.

baca : Liputan Sangihe : Di Pusat Ikan, Tapi Jauh dari Pusat Perikanan, Nasib Nelayan Tidore (Bagian 3)

 

Perahu nelayan di Desa Bahoi, Kecamatan Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sebagian besar warga Desa Bahoi berprofesi sebagai nelayan dan petani. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Perda Zonasi

Afif Kaumbo, Koordinator Riset dan Data Base Perkumpulan Kelola mengatakan, Konsolidasi Nelayan Tradisional Sulut beranjak dari terbitnya Peraturan Daerah No.1/2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Sulut tahun 2017-2037.

Menurut dia, Perda itu nampak menjadi jalan yang ditempuh pemerintah daerah untuk mendamaikan kepentingan masyarakat pesisir dengan kelompok pengusaha. Sebab, dalam kurun beberapa tahun terakhir, program pembangunan di wilayah pesisir di Sulut kerap kali diwarnai konflik kepentingan.

Belum lagi, dalam beberapa tahun kedepan, akan ada rencana reklamasi di sejumlah daerah, seperti wilayah Manado utara, juga kota Bitung. Di bagian utara kota Manado, terang Afif, direncanakan reklamasi seluas 200 hektar. Di situ akan dibangun 7 blok, yang 6 di antaranya menjadi pusat bisnis.

Sedangkan, di pesisir Bitung dan Minahasa Utara, pemerintah pusat dan daerah merencanakan reklamasi seluas 1000 hektar. Wilayah yang akan direklamasi meliputi pantai Kema, kabupaten Minahasa Utara, hingga pantai Girian, kota Bitung.

“Riset yang pernah dibuat Perkumpulan Kelola, tahun 2013, memperkirakan, reklamasi untuk KEK Bitung akan berdampak 64,4% wilayah kelurahan Tanjung Merah dan 30% wilayah kelurahan Sagerat, dengan total perkiraan 2400 kepala keluarga sebagai terdampak pembangunan,” terang Afif.

menarik dibaca : Kenapa Pembangunan di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Masih Tertinggal?

 

Reklamasi yang terus berlangsung di pantai Manado, Sulawesi Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

“Jadi, konsolidasi ini berupaya mengumpulkan informasi dari nelayan mengenai kebijakan pembangunan di masing-masing daerah. Sebab, tanpa kontrol dan partisipasi masyarakat pesisir, pembangunan akan semakin meligitimasi peminggiran hak-hak nelayan tradisional yang telah dijamin oleh Mahkamah Konstitusi.”

Susan Herawati, Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan, terbitnya UU No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memandatkan Perda Zonasi, menjadi salah satu kebijakan yang mengancam hak-hak masyarakat pesisir. Dinilai, Perda Zonasi jadi pintu masuk bagi proyek-proyek eksploitatif.

“Pemerintah provinsi terkesan mendorong sesuai kebutuhan dalam peningkatan PAD, tidak dalam konteks kesejahteraan masyarakat pesisir. Perda zonasi ini akan berpengaruh pada putusan MK tentang hak konstitusional masyarakat pesisir dan UU N0.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam,” lanjut Susan.

Melalui kunjungannya ke Sulut, ia mendapat gambaran bahwa hingga hari ini negara belum hadir untuk melindungi masyarakat pesisir. Ia berjanji akan menyampaikan fakta-fakta yang ditemukan di Sulut, pada pemangku kebijakan di tingkat nasional.

baca : Negara Tidak Hadir di Tengah Masyarakat Pesisir?

“Oktober 2018 ini, akan ada temu akbar masyarakat pesisir. Fakta-fakta 2 hari ini, dari kunjungan ke Sulawesi Utara, akan disajikan pada pemangku kebijakan di tingkat nasional. Kami mau bilang, negara harus hadir secara utuh. Menjadikan identitas negeri bahari sebagai kebanggaan. Kalau negara tidak bisa menjamin itu, kita akan kehilangan identitas sebagai negeri bahari,” pungkas Susan.

 

Exit mobile version