Mongabay.co.id

Ekspor Pangan Laut Berjaya, Tak Berarti Kesejahteraan Nelayan Kaya

Kenaikan ekspor udang Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, harus menjadi pemicu peningkatan kesejahteraan dan perlindungan hak pekerja di rantai nilai pangan laut. Penyebabnya, karena pekerja di sektor pangan laut menjadi faktor sangat penting untuk keberlangsungan bisnis komoditas unggulan tersebut. Tanpa mereka, ekspor bisa jadi tidak akan bisa naik dari waktu ke waktu.

Kampanye untuk memperhatikan hak pekerja, kini terus disuarakan Aliansi Pangan Laut Berkelanjutan Indonesia (Aliansi) yang di dalamnya terdapat Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Kampanye dilakukan, karena koalisi meyakini bahwa kesejahteraan para pekerja dan petambak yang ada di sektor pengolahan pangan laut, masih menjadi pekerjaan rumah hingga saat ini.

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, semua pihak yang berkaitan dengan kegiatan ekspor komoditas seperti udang, harus bisa menunjukkan penghargaan kepada para pekerjanya. Bentuk penghargaan itu, bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dan menjadi penanda bahwa pelaku usaha tidak hanya menghargai komoditasnya saja.

“Dengan besarnya nilai ekspor udang, hal ini seharusnya membawa kesejahteraan bagi para petambak dan pekerja. Namun faktanya justru berkebalikan. Yang mendapatkan untung besar adalah perusahaan-perusahaan pengolahan pangan laut,” ungkapnya belum lama ini di Jakarta.

baca : Pekerja Perikanan Indonesia Masih Diperlakukan Diskriminatif oleh Perusahaan?

 

Presiden Joko Widodo melihat penebaran benih udang sebagai tanda peresmian beroperasinya unit kawasan budidaya udang vaname untuk program perhutanan sosial di Muara Gembong, Bekasi, Jabar Rabu (1/11/2017). Foto : Dianaddin/Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Susan menyebutkan, dari data yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), angka kenaikan ekspor udang terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Pada 2015, ekspor udang bernilai USD1.124 juta, dan kemudian naik pada 2016 menjadi USD1.227 juta. Dan pada 2017 nilainya sudah mencapai USD1,351 juta.

Selain KIARA, lanjut Susan, koalisi juga beranggotakan Institut Sosial Buruh Surabaya (ISBS), Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Koalisi membuat laporan tentang tanggung jawab supermarket terhadap hak pekerja di rantai pasok.

“Tujuan dari pembuatan laporan, adalah untuk mendorong upaya perlindungan dan perbaikan kesejahteraan para pekerja dalam rantai pasok pangan laut. Caranya adalah, dengan memanggil perusahaan pengolahan pangan laut serta distributor pangan, terutama supermarket,” jelasnya.

baca : Indonesia Berkomitmen Melindungi Hak Asasi Manusia Nelayan. Seperti Apa?

 

Seorang nelayan di Pelabuhan Gresik, Jawa Timur memperlihatkan udang hasil tangkapannya. Meski pekerjaan mereka berisiko, banyak nelayan di Gresik belum mendapatkan asuransi nelayan atau perlindungan kerja. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Laporan

Pemanggilan supermarket, menurut Susan, dilakukan karena perusahaan tersebut menjadi salah satu pihak yang memasarkan produksi pangan laut. Dengan demikian, ke depan diharapkan pihak yang terlibat bisa lebih meningkatkan tanggung jawabnya kepada para pekerja di sektor tersebut.

Adapun, isi laporan yang ditulis Oxfam Internasional itu, adalah:

Fakta tentang hak pekerja perempuan itu diungkapkan Tutut, salah satu mantan pekerja kepada Aliansi. Dia mengatakan, telah bekerja di perusahaan pengolahan udang di Indonesia dan melihat fakta bahwa pekerja perempuan jika diketahui hamil tidak akan (diperbolehkan) bekerja di perusahaan.

“Ketika saya bergabung, saya harus tanda tangan perjanjian. Ada tes urin di pabrik. Hasilnya dibawa ke rumah sakit, saya nggak pernah ditanya, tapi dari pengalaman sebelumnya, saya nggak diperbolehkan untuk hamil. Ketika tandatangan kontrak mereka juga nanya alat kontrasepsi apa yang saya pakai. Saya terbukti tidak hamil jadi saya boleh bekerja,” ujarnya.

baca juga : Kala Perlindungan Perempuan Nelayan Masih Minim

 

Kesibukan nelayan dan masyarakat yang terlihat di Lampulo, Banda Aceh, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay

 

Direktur ISBS Domin Dhamayanti menjelaskan, pelanggaran HAM di sektor pengolahan pangan laut adalah ironi di negara hukum seperti Indonesia. Hal itu, karena Negara sejak lama menjamin HAM bisa berjalan dengan baik dan itu telah termaktub dalam undang-undang dasar (UUD) 1945.

“Kami meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan ini,” desaknya.

Domin mengatakan, dalam konteks ini, Pemerintah memiliki sejumlah peraturan perundangan yang mengikat, diantaranya adalah UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam sektor perikanan, Indonesia sudah memiliki Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan.

Tentang catatan yang sudah dirilis oleh Aliansi, Domin menuturkan, ada juga rekomendasi yang sudah diterbitkan oleh aliansi, yaitu:

baca juga : Nurlina, Perjuangkan Kesamaan Hak bagi Perempuan Nelayan

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Perwakilan KPI, Genta, mengatakan, aliansi telah melakukan berbagai upaya untuk memetakan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam rantai pasok, termasuk mendiskusikannya dengan kementerian-kementerian terkait.

Salah satu solusi yang ditawarkan oleh Aliansi, kata Genta, adalah kampanye DI BALIK BARCODE. Kampanye tersebut bertujuan untuk mengajak seluruh elemen masyarakat terlibat aktif memantau dan mengawal penegakan hukum untuk kesejahteraan pekerja dan hak-hak pekerja yang terlindungi.

“Aliansi ini melakukan upaya kampanye ini untuk mewujudkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan para pelaku yang terlibat dalam rantai pasok pangan laut termasuk konsumen,” ujar dia.

Diketahui, Aliansi Pangan Laut Berkelanjutan Indonesia adalah sebuah aliansi yang beranggotakan sejumlah organisasi masyarakat sipil besar di Indonesia yang didirikan untuk memperjuangkan perbaikan kesejahteraan dan hak- hak para pelaku penting (dan rentan) yang terlibat di sepanjang rantai pasok pangan laut.

Adapun, para pelaku yang diperjuangkan, bisa berasal dari produsen hingga para petambak, para pekerja pabrik pengolahan, para pekerja kapal perikanan, hingga ke konsumen.

 

Diskriminatif

Di sisi lain, perlakuan diskriminatif dari perusahaan kepada para pekerja di sektor perikanan disinyalir memang belum hilang hingga sekarang. Fakta tersebut sulit disembunyikan karena semakin banyak tenaga kerja yang terserap di sektor tersebut dari tahun ke tahun. Selama bekerja, perlakuan tidak menyenangkan itu kerap kali diterima para pekerja.

Susan Herawati menyatakan, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dari tahun ke tahun semakin meningkat jumlahnya. Tetapi, kondisi tersebut ternyata tidak dibarengi dengan perlakuan yang baik dari perusahaan.

“Presiden Joko Widodo harus memanusiakan buruh perikanan nasional,” ucapnya.

baca juga : Seperti Apa Keberpihakan Pemerintah pada Masyarakat Pesisir? Ini Salah Satunya..

 

Proses pengolahan ikan menjadi produk ikan kaleng di salah satu industri pengalengan ikan di Banyuwangi. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Saat ini di Indonesia sedikitnya terdapat 12 juta buruh yang harus dipenuhi haknya sesuai dengan UUD 1945 Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1). Di dalam konstitusi, dengan tegas dinyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; memilih pekerjaan; dan terbebas dari ancaman ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan pilihan yang menjadi hak asasinya.”

Berdasarkan data yang dihimpun KIARA, para pekerja di sektor perikanan hingga saat ini masih berada di bawah sistem kerja outsourcing atau pihak ketiga, beban dan jam kerja yang sangat panjang mencapai 10 jam per hari tanpa upaya yang layak, tidak dilindungi asuransi, intimidasi, dan pemecatan sepihak.

“Kondisi ini mesti diperbaiki karena jelas bertolak belakang dengan rasa kemanusiaan dan melawan konstitusi,” jelasnya.

Dari hasil riset yang dilakukan KIARA, Susan mengatakan, pekerja perikanan atau buruh perikanan mendapatkan upah rerata Rp50.000-Rp100.000/hari untuk kapal domestik dan rerata Rp100.000- Rp150.000/hari untuk kapal asing. Jika dibandingkan dengan beban dan resiko kerja yang mereka alami, upah tersebut tergolong sangat murah.

Fakta tersebut, semakin mengukuhkan bahwa kondisi pekerja di sektor perikanan masih memprihatinkan. Meskipun, beberapa kebijakan perburuhan telah disahkan, seperti UU No.21/2000 tentang Serikat Pekerja, UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, serta UU No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

“Ironisnya, implementasi dari pemenuhan hak-hak pekerja masih belum dijalankan dengan baik hingga saat ini,” tegas dia.

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selain diatur dalam Perundang-undangan, Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah merumuskan bentuk standar-standar kerja yang layak di bidang usaha perikanan tangkap, yakni Konvensi ILO No.188/2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO No.199/2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Akan tetapi, Susan mengatakan, walau ILO sudah merumuskan standar kerja yang layak, hingga saat ini tidak ada satu negara pun di Asia yang sudah melakukan ratifikasi Konvensi ILO No.188/2007. Bahkan, Indonesia yang dengan berani menyatakan perang terhadap praktik perikanan illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF), hingga saat ini juga belum melakukan ratifikasi.

Walau belum meratifikasi, Susan menyebut, Indonesia sudah menerbitkan peraturan tentang pekerja perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Tetapi hingga saat ini penegakan hukum bagi para pelanggar HAM para pekerja perikanan masih sangat rendah.

“Hal ini diperburuk dengan minimnya koordinasi lintas instansi seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Perhubungan,” pungkas dia.

 

Exit mobile version