Mongabay.co.id

Cerita Mereka yang Hidup di Sekitar Tambang Batubara dan PLTU

Batubara ciptakan masalah dari hulu ke hilir., dari tambang hingga penggunaan seperti buat pembangkit listrik Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dua belas orang memegang nampan bambu tradisional di depan gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (1/8/18) siang. Di balik masing-masing nampan ada satu huruf besar, bertuliskan “Stop Batubara.”

Mereka adalah sebagian dari warga dari sejumlah provinsi yang ada tambang batubara atau pembangkit listrik tenaga uap batubara.

Salah satu tuntutan mereka kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan, meminta pemerintah mencabut SK Menteri ESDM yang memberikan izin eksplorasi kepada PT. Mantimin Coal Mining (MTM) di Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan.

Pegunungan Meratus,  merupakan kawasan pegunungan di tenggara Pulau Kalimantan yang membelah Kalsel jadi dua. Pegunungan ini membentang sekitar 600 kilometer dari arah barat daya ke timur laut.

“Saat ini,  hutan kami di Pegunungan Meratus masih perawan. Belum dijarah perusahaan dan tambang,” kata Rumli warga Hulu Sungai Tengah.

Hutan masih terjaga jadi sumber mata pencaharian masyarakat Meratus. Mereka bertani dan berkebun. Meratus juga sumber air yang mengaliri setidaknya 6.000 hektar pertanian warga.

“Maka kita mati-matian menjaganya,” katanya.

Dukungan menjaga Pegunungan Meratus tak hanya datang dari warga. Pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif sejak sebelum terpilih sudah punya kontrak politik dengan masyarakat untuk menjaga wilayah ini dari ekspansi industri ekstraktif.

 

Tambang batubara. PT Jambi Prima Coal di Sarolangun, Jambi. Foto: Feri Irawan

 

Meski sadar daerah kaya batubara, emas, bijih besi, uranium dan lain lain, pemerintah daerah sama sekali tak mencantumkan kawasan ini sebagai wilayah tambang baik dalam rencana pembangunan jangka pendek (RPJP) maupun rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).

“Banyak yang tergiur,” kata Rumli.

Bermula pada 2009, kala izin eksplorasi keluar dari KESDM kepada dua perusahaan termasuk MCM. Kala itu,  warga langsung menolak tambang di wilayah mereka. Penolakan mulai sejak proses penyusunan analisa dampak lingkungan.

Tak lama perusahaan inipun mundur. Kabar tak enak kembali diterima warga Meratus,  akhir tahun lalu. Tepatnya, 4 Desember 2017, KESDM kembali mengeluarkan izin operasi PKP2B untuk MCM seluas 1.900 hektar di Pegunungan Meratus, termasuk Hulu Sungai Tengah.

Trauma kejadian 2009, warga bersama aktivis lingkungan menyusun strategi menolak izin baru ini. Melibatkan semua lapisan masyarakat termasuk tokoh masyarakat dan ulama, setelah melalui diskusi kecil selama sebulan, 30 Januari 2018, mereka sepakat membentuk organisasi Masyarakat  Gerakan Penyelamat Bumi Muara Kata atau yang mereka singkat “Gembok”.

Gembok lantas bikin posko tempat aktivitas advokasi dan kampanye berpusat. Selain sosialisasi soal dampak tambang, salah satunya melalui film dokumenter, warga juga bikin petisi tolak tambang yang setidaknya ditandatangani 4.000 warga termasuk tokoh-tokoh Meratus.

Petisi ini jadi salah satu alat bukti dalam gugatan yang mereka ajukan ke PTUN Jakarta. Saat ini, sidang ke=12 dengan agenda terakhir sidang lapangan.

Ancaman serupa dirasakan warga Desa Pangakalan Kapas, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Izin eksplorasi, dan izin operasi pada 2017 keluar kepada PT Tambang Buana Jaya, dengan konsesi 3.000 hektar.

Warga tak pernah dapat informasi di mana batas konsesi itu.

“Kami dapat informasi akan sampai izin operasi. Di sini, kami meragukannya,” kata Amris, warga Pangkalan Kapas.

Hingga ini, katanya,  masyarakat Kenagarian Pangkalan Kapas terdiri dari empat desa; Pangkalasan Kapas, Lubuk Bigau, Kebun Tinggi dan Tanjung Permai, masih bergantung pada penghasilan dari hutan seperti karet.

Selain itu, potensi wisata alam juga jadi andalan. Masyarakat juga masih menjaga ketat adat istiadat dan patuh dengan titah ninik mamak.

 

Dampak yang ditimbulkan batubara, antara kondisi saat ini dan perkiraan masa depan kala pembangkit batubara proyek 35.000 mW terealisasi. Sumber: Greenpeace

 

Dampak tambang

Kekhawatiran masyarakat Pegunungan Meratus dan warga Pangkalan Susu,  bukan tak beralasan. Banyak cerita dampak tambang batubara bagi lingkungan hidup dan sosial. Di Desa Taman Dewa, Kabupaten Sarolangun, Jambi, salah satunya.

Berawal sejak masuknya tambang batubara PT. Minemex Indonesia pada 2010, masyarakat yang semula berdaulat dengan tanaman sendiri, seperti beras dan sayuran, mulai kesulitan. Tiga aliran anak sungai yang terhubung dengan Sungai Batang Hari dialihkan.

“Sungai tercemar batubara, ikan mati, sumur kering. Satu hari tak hujan sumur langsung kering,” kata Wardah, warga Taman Dewa.

Penggundulan hutan juga bikin warga Suku Anak Dalam hidup berpindah.

“Mereka tak tahu lagi harus kemana,” katanya.

Lokasi tambang dari semula tak bisa dibilang jauh dari pemukiman warga, sekitar 500 meter, makin lama makin mendekati rumah warga.

“Dua puluh meter dari rumah warga.”

Oktober tahun lalu, warga memblokade jalan keluar perusahaan untuk hentikan operasi perusahaan. Jalan ini ditempuh karena tuntutan masyarakat tak kunjung dipenuhi perusahaan. Masyarakat dengan rumah retak karena dampak pengeboran, polusi debu makin menganggu.

 

Tanah sekitar Sungai Alih, jadi keras dan licin. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Pengaduan kepada pemerintah daerah dan Polda, tak dapat tanggapan.

Di Desa Gunung Karasik, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, warga harus berjalan tiga kilometer lebih jauh untuk dapatkan sungai yang masih bersih. Sungai terdekat mereka tercemar limbah batubara.

Tambang batubara masuk sejak 2004-2005, tak hanya membuat penghasilan padi dan karet menurun drastis.

“Ada konflik di masyarakat dan beberapa intimidasi dari polisi,” kata Bella, salah satu warga.

Bahkan beberapa warga ada yang hidup di hutan selama tiga bulan karena polisi terus berkeliling desa dalam jumlah banyak.

Masyarakat lantas meminta informasi terkait Amdal perusahaan ke Dinas Lingkungan Hidup. Dari dokumen itu, masyarakat tahu perusahaan tak punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Ada izin pemanfaatan kayu namun oleh perusahaan berbeda.

Upaya warga meminta informasi tentang pertambangan di lingkungan tempat tinggal mereka juga dilakukan masyarakat Desa Sikalang, Kecamatan Talawi, Kota Sawalunto.

Warga resah karena aktivitas CV. Tahitiko,  yang menambang 500 meter dari perumahan warga. Sebelumnya perusahaan lain, diklaim sebagai tambang rakyat, juga menambang di lahan tak jauh dari izin saat ini, dan meninggalkan lubang bekas tambang.

Lubang tambang jadi danau kecil dipakai masyarakat untuk mencuci dan mandi. Meski masyarakat tahu air bekas tambang berbahaya karena keasaman tinggi. Mereka tak punya pilihan.

Kabar meresahkan datang dari warga yang menginformasikan aliran pertambangan perusahaan sudah menuju ke rumah warga.

“Kami bangun rumah kami ini untuk anak cucu. Kami tak mau rumah ini amblas,” kata seorang warga yang enggan disebut namanya.

 

Infografis dampak operasional PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Sumber : Greenpeace

 

Dampak PLTU

Kisah hilangnya kemandirian masyarakat karena kehadiran tambang batubara dan PLTU juga datang dari Lahat, Sumatera Selatan.

Sungai-sungai jadi tempat pembuangan limbah PLTU dan batubara. Masyarakat sekitar setiap hari berhadapan dengan alat berat, asap dan debu yang sulit dinetralisir.

“Kebun kopi, coklat, sudah tak ada lagi,” kata Febri, warga Lahat.

Lebih ironis, katanya, masyarakat yang dulu bertani kini dituntut bekerja di perusahaan tambang. Ibu rumah tangga makin konsumtif, tak lagi menanam sayur dan beternak sendiri, namun membeli semua kebutuhan rumah tangga.

Selain itu, masyarakat juga merasa terancam karena konflik terus menerus dengan perusahaan. Saat ini, ada 12 PLTU beroperasi dan terus ekspansi sejalan dengan program 35.000 Megawatt.

Ekspansi PLTU juga dilakukan di Cilacap, Jawa Tengah dan Indramayu, Jawa Barat. Di Cilacap, ekspansi PLTU selain menimbulkan konflik di masyarakat–karena dugaan tenaga kerja asing ilegal–, warga juga harus terpapar dampak limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Warga yang merasa dirugikan dan menuntut pemulihan dan ganti rugi.

Kompensasi dan ganti rugi seringkali bikin warga makin terpecah. “Jadi masyarakat trauma kembali menuntut haknya,” kata Teguh Sulistyo,  warga Karangkandri, Cilacap, termasuk salah satu dari tiga desa yang jadi ring satu PLTU.

 

Batubara, di tambang timbulkan masalah lingkungan dan kesehatan warga, di hilir, antara lain, pembangkit batubara, juga ciptakan beragam masalah. Apakah para calon pemimpin daerah, tak ada yang peka masalah rakyat ini? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Polusi PLTU tak cuma bikin sakit, sejumlah rumah warga juga retak dan seringkali anak-anak sekolah harus berhenti karena pengeboran atau pemancangan pembangunan PLTU yang menimbulkan getaran seperti gempa.

Di Indramayu, sejumlah warga harus berhadapan dengan meja hijau karena penolakan ekspansi PLTU. Tiga warga jadi tersangka dugaan penghinaan lambang negara, empat karena dugaan tindakan kekerasan.

Lain lagi cerita warga Desa Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Sejak PLTU Sumut II beroperasi 2015, warga kerap menolak kapal tongkang batubara yang hendak berlabuh di Pangkalan Susu.  Operasi PLTU bikin ikan-ikan mati. Sementara 90% warga Pangkalan Susu, adalah nelayan.

Dengan kompensasi dari agen kapal dan CSR perusahaan Rp2,5 juta dan Rp3,5 juta perbulan, warga membolehkan kapal berlabuh.

Ironisnya, meski ada PLTU, masyarakat masih hanya menikmati penerangan pada malam hari. Penerangan dari pukul 18.00 hingga pukul 6.00 pagi.  Itupun dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).

 

Peran pemerintah daerah

Pemerintah daerah seringkali ikut andil dalam memuluskan operasional tambang batubara. Di Desa Lubuk Resam, Kecamatan Seluma, Kabupaten Seluma, Bengkulu, pemerintah membangun jalan dan pasar pada 2007, tak lama setelah izin tambang keluar.

Warga menilai,  pemerintah membangun infrastruktur untuk keperluan pertambangan, bukan masyarakat. Desa ini, katanya,  tak begitu butuh pasar, jalan yang dibangun kala perusahaan beroperasi kini rusak.

“Karena perusahaan sudah tak operasi lagi, jalan rusak ya tidak diperbaiki,” kata Elis, warga Lubuk.

Warga juga mempertanyakan program pemerintah yang tak sejalan, seperti di Desa Kertabuana, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Imbas izin tambang,  lahan desa yang semula untuk transmigran dari Pulau Jawa, Bali dan Lombok, jadi tiada.

Mau tak mau sebagian warga menjual lahan untuk eksploitasi tambang dan kembali ke daerah asal. Petani lain yang bertahan, harus hadapi risiko terkena limbah dan gagal panen.

 

Lubang bekas tambang batubara yang belum direklamasi perushaan tambang di Kutai Kartanegara, Kaltim. Foto Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

 

Politik energi

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi, mengatakan,  pemerintah perlu moratorium batubara. Mengingat masa kepemimpinan kabinet saat ini tinggal satu tahun lagi,  katanya, pemerintah harus jadikan krisis batubara ini sebagai perhatian penting.

“Pemerintah harus mengakhiri mitos batubara murah dan segera beralih ke ekonomi pemulihan,” kata Alin, sapaan akrabnya.

Lebih penting lagi, pemerintah juga harus mengambil langkah untuk kedaulatan energi alih-alih hanya politik energi. Jika politik energi sekarang hanya berkutat pada isu energi bersih, Walhi berharap pemerintah harus mengubah mindset bahwa energi bersih juga harus bisa dikontrol masyarakat.

Banyak energi terbarukan ramah lingkungan. Namun pembangunan skala besar juga menimbulkan gesekan dengan masyarakat seperti pembangkit panas bumi di Talang, Solok, Sumatera Barat.

Begitu juga soal korupsi, seperti kasus dugaan suap PLTU Riau 1, kata Alin, jadi momen KPK masuk lebih jauh dari koordinasi dan supervise (korsup).

Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Walhi, mengatakan, kebijakan pemerintah tak membolehkan PLN menaikkan tarif listrik dan tarik ulur kebijakan DMO (domestic market obligation) batubara menunjukkan bahan ini bukanlah energi murah.

Sawung menambahkan, harus berhenti memandang batubara sebagai komoditas belaka. Pemerintah,  katanya, dapat menyelamatkan PLN dengan mengembangkan energi terbarukan skala kecil dengan jumlah banyak.

 

Bukan hanya lingkungan yang rusak, nelayan lokal dan masyarakat yang menggantungkan hidup dari pariwisata juga ikut menanggung beban. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version