Mongabay.co.id

Kebijakan Dorong Biofuel, Peluang Tekan Emisi atau Sebaliknya?

Sawit disebut-sebut sebagai komoditas andalan. Berdasarkan data KPK, pajak sawit hanya 2,1% dari total penerimaan pajak. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Pemerintah akan mengeluarkan kebijakan mendorong perluasan penggunaan biodesel 20% (B20) untuk sektor non-subsidi. Alasannya, meningkatkan porsi energi terbarukan dan mengurangi fosil. Apakah kebijakan ini akan berkontribusi tekan emisi atau sebaliknya?

Pada 20 Juli 2018, Presiden Joko Widodo, rapat terbatas mengenai percepatan pelaksanaan mandatori biodiesel. Percepatan ini sebagai langkah pemanfaatan energi baru yang dinilai masih sangat kecil, didominasi energi fosil sebagai dari bauran energi nasional.

“Kita tak boleh hanya tergantung energi fosil, karena suatu saat energi fosil akan habis,” katanya dilansir dari laman Setkab.

Adapun percepatan bauran energi ini antara lain menyangkut perbaikan neraca perdagangan Indonesia dan hendak mengurangi impor minyak. Ujung-ujungnya, demi penghematan devisa negara dampak rupiah terpuruk terhadap dolar Amerika.

“Saya mendapatkan informasi setiap hari kalau ini bisa kita lakukan, akan hemat kurang lebih US$21 juta per hari, kalau betul-betul bisa kita laksanakan,”  katanya.

Dia bilang, harus menyaipakn regulasi terkait dengan matang, dari hulu hingga hilir, hingga implementasi berjalan baik.

Regulasi ini, dituangkan dalam revisi Perpres Nomor 61/2015 tentang penghimpunan dan penggunaan dana perkebunan sawit. Rancangan regulasi itu sudah selesai dan siap ditandatangani Presiden.

Penerapan kewajiban B20 diperkirakan menghemat impor bahan bakar minyak jenis solar sebanyak 3,5 juta-4,5 juta kiloliter per tahun. Perkiraan total nominal penghematan negara dari penggunaan biodiesel mencapai US$ 5,5 miliar per tahun.

Pada 1 Agustus 2018, terdapat Rapat Koordinasi Pembahasan Percepatan Implementasi Biodiesel B20 (yang bersubsidi dan tidak) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Hadir dalam rapat itu Menteri ESDM, Kepala BPDP, Menteri BUMN dan lembaga maupun kementerian terkait.

”Semua akan berlaku efektif 1 September 2018,” kata Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral usai rakor.

Dia menyebutkan salah satu revisi perpres terkait perluasan insentif biodiesel dari PSO (public service obligation) ke non-PSO, antara lain, penyamaan insentif dan tidak lagi melalui lelang, namun penunjukan langsung badan usaha. ”Kalau lelang masih butuh waktu lagi,” katanya.

Pemerintah pun telah menyiapkan pedoman implementasi kebijakan baru ini hingga badan usaha harus ikut serta dalam persiapannya, seperti pedoman penyimpanan dan pencampuran biodiesel.

Penghitungan alokasi biodiesel untuk sektor non-PSO pun sudah diberikan kepada 19 badan usaha bahan bakar nabati dan 14 badan usaha bahan bakar minyak yang adil.

Rida menyebutkan, penggunaan B20 untuk sektor non-PSO mampu menggenjot konsumsi biodiesel sekitar 4 juta kiloliter, melebihi target BPDP, hanya 3,22 juta kiloliter. Proyeksi 2019, katanya, dengan regulasi ini bisa mencapai 6-6,2 juta kiloliter.

Dengan begitu, katanya, penghematan devisa negara sebagai ganti impor solar pun ditargetkan mencapai Rp50 triliun dengan estimasi MOPS US$ 85 per liter.

Pemerintah pun akan memperketat dengan penegakan hukum bagi badan usaha yang tak menjual B20. Denda Rp6.000 per liter kepada pihak yang melanggar. ”Kita lacak dahulu (verifikasi) sebelum denda.”

 

Pemandangan hutan rimba Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit. Belum adanya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini menyebabkan warga hidup dalam ketidakpastian. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Biofuel reduksi emisi?

Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Walhi mengatakan, konteks kebijakan sawit, yang diharapkan sebenarnya bukanlah revisi perpres biofuel, tetapi moratorium sawit.

”Saat ini tidak jelas kelanjutannya, terkait isi pun begitu,  tidak cukup hanya dua tahun.”

Dari kebijakan perdagangan ekspor, B20 ini dianggap tidak akan kompetitif. Pasalnya, pangsa pasar minyak sawit untuk biofuel Eropa hilang pada 2030. Biofuel, katanya, bukan jadi alternatif bagi fosil fuel itu sendiri kalau dilihat dari persoalan lingkungan hidup dan perubahan iklim.

”Karena biofuel mampu mengemisi tiga kali lipat, bukan mereduksi emisi.” Ia mengacu pada produksi hulu sawit—bahan baku biofuel—yang diperoleh dengan menciptakan berbagai masalah dari deforestasi, kebakaran hutan dan lahan sampai konflik sosial.

Dia menilai, regulasi ini hanya untuk kepentingan ekonomi, misal, memperbaiki neraca perdagangan, mengurangi impor minyak, menghemat devisa. Tak ada pertimbangan lain yang lebih signifikan terkait perubahan iklim, deforestasi dan lain-lain.

Tak hanya itu, biodiesel ini berasal dari pungutan sawit, di mana hanya korporasi besar yang menikmati keuntungan.

”Jika insentif diberikan akan kembai ke korporasi besar, bukan kepada petani.”

Pada 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi merilis temuan terkait permasalahan sawit dari perizinan sampai pungutan pajak. Namun, hal ini belum ditindaklanjuti dengan langkah korektif dari BPDP. ”Misal, peran masyarakat, coverage mereka ditingkatkan tak hanya menjual tandan buah segar langsung ke perusahaan tapi mengelola limbah sawit jadi biofuel dari limbah sawit,” katanya.

Pengembangan insentif biofuel bukan berasal generasi pertama atau minyat sawit mentah langsung pun dianggap perlu, misal dari limbah sawit.

Herry Purnomo, peneliti CIFOR menilai, regulasi ini diharapkan dapat dirasakan langsung masyarakat tingkat tapak dengan mendorong stabilisasi harga di pasar.

Untuk itu, katanya, perlu ada negosiasi soal komposisi besaran penyaluran dana pungutan sawit agar tidak timpang alias didominasi pebisnis besar. ”Perlu negosiasi, harus lebih banyak diberikan kepada petani secara lebih luas.”

Hal penting lain, katanya, pemerintah perlu memperbaiki tata kelola sawit hingga bisa memenangkan persaingan dagang Uni Eropa hingga 2030. ”Ini juga tantangan bagaimana minyak sawit Indonesia green dan kompetitif,” katanya.

Menurut Herry,         sulit mengatakan B20 menyebabkan deforestasi, tetapi jika sawit berkontribusi terhadap deforestasi itu benar adanya. Dia membenarkan, perluasan kebun sawit dan deforestasi terus terjadi. Meski kini, lebih banyak didominasi pergantian lahan garapan warga, misal dari pinang atau karet ke sawit.

“Dari 400.000 hektar per tahun perluasan perkebunan sawit, 150.000 hektar atau sepertiga merupakan deforestasi. Tapi belum ada data detail menyebutkan apakah ini berhubungan dengan B20 atau tidak,” katanya.  Hingga kini, sawit masih lebih besar untuk crude palm oil (CPO) dibandingkan B20.

Yuyun menilai, penting ada regulasi moratorium sawit keluar terlebih dahulu dibandingkan revisi perpres ini. ”[Aturan moratorium sawit] ini meyakinkan, tidak ada lagi perluasan perkebunan yang makin masif.”

Moratorium ini, kata Herry,  hanya berlaku bagi perusahaan besar, bagi petani sangat sulit ada moratorium. ”Misal, mereka dari tanam karet diubah jadi sawit, kita kan tidak bisa melarang.”

Ruanda Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, dalam dokumen Indonesia tertulis salah satu target penggunaan energi terbarukan 23% hingga 2023 melalui biodiesel 30% atau B30. Hingga kini implementasi belum efektif.

Dia bilang, produktivitas sawit boleh ditingkatkan namun tak boleh membuka lahan lagi di hutan. ”Artinya, diupayakan peningkatan produktivitas dari petani kecil. Bibit yang selama ini tidak bagus diganti bibit sawit bagus hingga produktivitas tinggi.”

 

Keterangan foto utama: Sawit, sumber andalan biofuel Indonesia. Kebijakan dorong percepatan B20, bakal positif bagi iklim atau hanya urusan bisnis? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Hutan di Aceh, Indonesia, terbabat jadi sawit. Foto: Janaidi hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version