Mongabay.co.id

Menyoal Tarik Ulur Kebijakan Jatah Batubara Domestik

Tongkang batubara dibawa ke muara Sungai Samarinda untuk dibawa kembali ke PLTU atau ekspor ke negara luar. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim,  Jumat (27/7/18), bikin pernyataan yang mengundang respon publik. Di Istana Kepresidenan, Luhut bilang pemerintah akan mencabut kebijakan alokasi pasar domestik (domestic market obligation/DMO) batubara karena harga naik di pasar dunia. Agustus ini,  harga batubara acuan (HBA) mencapai US$107,83 per ton.

Senada dengan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Thahar mengatakan kebijakan DMO hanya menghapus aturan harga batubara jatah domestik, kuota 25% tetap berlaku. Sebagai ganti, perusahaan dipungut bayaran US$2-3 per ton dari ekspor batubara.

Selasa (31/8/18) semua wacana ini dicabut. Menteri ESDM Ignasius Jonan menegaskan,  rencana pencabutan kebijakan DMO batal. Aturan DMO, sesuai Peraturan Menteri ESDM No 23/2018, tetap berjalan setidaknya hingga akhir 2018. Wacana pencabutan kebijakan ini dikatakan sebagai evaluasi pelaksanaan DMO yang baru berjalan beberapa bulan.

Permen 23 dan Kepmen 1.395 tahun 2018, intinya mengatur setiap pengusaha batubara harus mengalokasikan 25% produksi untuk keperluan dalam negeri alias untuk kebutuhan PLN.

Juga diatur, kuota ini dihargai US$70 per ton. Artinya, harga tak mengikuti naik turun harga pasar atau HBA.

Hersanto Suryo, Kepala Seksi Pengawasan Usaha Operasi Produksi Batubara, dalam diskusi di Jakarta minggu lalu kembali menegaskan, regulator dalam hal ini KESDM, tetap akan melaksanakan permen sesuai aturan.

“Ini masih tetap berlaku sampai 2019. Mungkin tahun depan angka 25% ini akan naik atau turun. Angka ini cuma berlaku tahun ini. Nanti evaluasi setiap tahun,” katanya.

Sejauh ini, KESDM melakukan pengawasan dan minta semua produsen batubara memenuhi pasokan wajib ke PLN.

Pemerintah juga minta laporan per bulan PLN,  salah satu melihat kondisi pasokan batubara. “Sejauh ini pasokan ke PLN tak ada masalah. Produsen tetap komit,” katanya.

Aturan DMO berlaku sama untuk semua pemegang izin usaha produksi (IUP) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Jika tak memenuhi kuota, perusahaan akan kena sanksi potongan produksi tahun selanjutnya.

Dalam rencana pembangunan jangka RPJMN pemerintah telah menetapkan total produksi batubara 406 juta ton pada 2018. Dalam target produksi tahun ini, KESDM mencatat target produksi 485 juta ton hingga akhir tahun.

Hersanto mengakui perbedaan target ini. Menurut dia, pemerintah pusat hanya bisa mengontrol penuh pemegang izin PKP2B. Pemegang IUP, kewenangan ada di daerah masing-masing.

 

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali, mendapat izin lingkungan dari Gubernur Bali untuk ekspansi membuat unit baru di samping unit lama. Ini yang digugat Greenpeace Indonesia dan sejumlah warga ke PTUN Denpasar. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Jika DMO dihapuskan?

Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Rizky Ananda mengatakan,  penghapusan harga khusus DMO batubara akan menambah beban PLN setidaknya US$4,2 miliar atau Rp58 triliun. Ia dihitung dari selisih harga khusus DMO US$70 per ton dan HBA Juli, US$104,65.

Kalau iuran ekspor kena maksimal pada US$3 per ton, terkumpul maksimum US$1,39 miliar atau sekitar Rp19.47 triliun. Dengan hitungan penambahan 100 juta ton, seperti perkiraan Menteri Luhut, PLN akan tetap terbebani US$2,8 mliar atau Rp39 triliun.

Perlu diperhatikan, kata Risky, kondisi tata kelola batubara saat ini masih menyimpan banyak masalah, seperti per Maret 2018 masih ada 710 IUP non CNC.

“Izin non CNC ini tidak dicabut tapi juga tidak diakhiri,” katanya.

Hingga Juli 2018,  setidaknya ada Rp4,5 triliun piutang PNBP dari batubara. Catatan akhir 2016,  masih ada 631.000 hektar konsesi batubara di hutan lindung, 212.000 hektar di kawasan konservasi.

“Hingga Juni 2018,  baru 60% IUP Minerba sudah menempatkan jaminan reklamasi dan hanya 16% menempatkan jaminan pascatambang.”

Dengan kondisi ini, industri batubara, katanya, malah menerima insentif berlebihan dari negara. Mulai dari kenaikan target produksi batubara tahun 2018 sebesar 5% dari RKAB 2017, sekitar 485 juta ton.

“Ini bertentangan dengan RPJMN 2015-2019 yang menetapkan produksi batubara 406 juta ton tahun 2018.”

Insentif lain berupa penundaan kewajiban penggunaan kapal nasional dari 1 Mei 2018 menjadi 1 Agustus 2020. Pemerintah juga memberi penundaan kewajiban asuransi nasional untuk ekspor batubara hingga Februari 2019 sesuai Peraturan Menteri Perdagangan No 48/2018.

Mengutip laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) 2016, kata Rizky, dari ribuan IUP minerba tercatat di KESDM, hanya 1654 IUP membayar PNBP. Dari semua yang membayar PNBP, hanya disumbang 112 perusahaan.

“Upaya pemerintah menggenjot produksi dan ekspor menaikkan penerimaan negara tanpa perbaikan sistem pengawasan dan penegakan hukum bagi perusahaan yang tidak patuh akan jadi boomerang bagi pemerintah.”

Mengapa? “Sistem verifikasi batubara masih lemah.”

Ada indikasi perbedaan data antara laporan survei (LS) dengan data BPS dari Ditjen Bea Cukai.

Catatan PWYP,  perbedaan data LS dan Bea Cukai mencapai 93,4 juta ton batubara.

Sementara itu, Analis Institute for Energy and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi menyoroti dampak kebijakan batubara terhadap tarif litrik dan subsidi kepada PLN.

Tahun ini,  subsidi untuk PLN naik jadi Rp59,9 triliun dari Rp45 triliun karena kenaikan harga BBM dan batubara plus nilai tukar rupiah yang terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat.

Risikonya, jika PLN terus bergantung pada bahan bakar fosil, akhirnya PLN tetap bergantung pada harga komoditas yang naik turun.

Dari pemodelan IEEFA terhadap subsidi PLN untuk lima tahun sejak 2017, dengan asumsi harga BBM dan batubara naik 10% pada 2018, 5% pada 2019, selebihnya kenaikan flat, pada 2021 akan terjadi subsidi lebih banyak,  46%.

Hal ini, katanya, diperkirakan pada 2020-2022—andai rencana penambahan PLTU seperti pencanangan 35.000 megawatt–, pada tahun-tahun ini pembangunan PLTU selesai (COD) dan PLN harus membayar semua daya Independent Power Producer (IPP) sesuai Power Purchase Agreement (PPA).

“Akibatnya, yang kena kalau nggak subsidi dari pajak, atau tarif listrik naik. Sebenarnya kita double burden sebagai konsumen dan pembayar pajak,” kata Elrika.

Dengan kata lain, katanya, bila IPP 55% terdiri dari pembangkit batubara, 25% dari gas, PLN terpapar risiko kenaikan (volatility) harga batubara dan gas. Ditambah lagi nilai tukar rupiah yang besar dalam jangka panjang.

 

PLTU di dekat pemukiman warga di Desa Muaramaung, Kecamatan Merapi Barat, Lahat, Sumsel. Warga terkena dampak buruk asap batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Tak perlu 35.000 megawatt

Pertanyaan ini juga banyak dipertanyakan pakar dan pemain industri ini.

“Bagaimana sekarang dan nanti? Apakah perlu sebanyak itu? Perlukan mayoritas dari batubara? Untuk pertanyaan terakhir ini selalu ada jawaban klasik,” kata Elrika.

Jawaban klasik yang dimaksud yakni batubara murah, Indonesia punya banyak cadangan batubara, batubara adalah base load yang menstabilkan jaringan, dan memancing pertumbuhan ekonomi.

Think again,” katanya.

Jawaban batubara energi murah adalah versi PLN. Selama ini, argumen ini tak didukung data memadai.

Perhitungan biaya pembangkitan (levelized cost of eenergy/LCOE), katanya, tak pernah diungkap. “Transparansi data detail pembangkit dan transmisi, procurement system PLN sulit didapat.”

Di luar negeri, sudah banyak reverse auction atau technology neutral auction yang menghasilkan harga listrik US$2,5-3,5 sen per kWh, dan terus turun.

Pendapat cadangan batubara Indonesia banyak juga dinilai simpang siur. Dalam ajang besar batubara Coaltrans 2018 angka muncul antara 25-50 tahun, batubara akan habis.

“Pertanyaan selanjutnya, katanya, kalori berapa? Mengingat batubara kalori rendah sudah karang dipakai di luar negeri, kenapa Indonesia masih mau?”

Kalori rendah biasa ditemukan pada potensi pembangkit mulut tambang seperti PLTU Riau 1 yang belakangan ramai karena kasus dugaan suap melibatkan anggota DPR.

Menjawab alasan batubara adalah energi andalan yang menstabilkan jaringan, dibantah dengan argumen teknologi penyimpanan yang makin berkembang dan murah baik dengan pumped hydro, baterai atau hydrogen based.

“Ditambah lagi Indonesia punya teknologi geothermal yang belum terkeksploitasi sepenuhnya.”

Mengenai alasan pertumbuhan ekonomi sebagai alasan pembangunan banyak perlu PLTU, menurut IEEFA, ekonomi berkembang tak hanya soal pengadaan listrik. Pembangunan ekonomi terutama di daerah terpencil perlu pendekatan yang komprehensif.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional menilai, tarik ulur DMO menunjukkan impulsifnya kebijakan batubara.

“Ini menunjukkan pemerintah lagi galau nggak tau ambil devisa dari mana. Kebijakan sama sekali tidak mencerminkan benar-benar memenuhi kebutuhan energi masyarakat. Soal kerugian dan keuntungan dari potensi harga pasar yang naik,” kata Yaya, sapaan akrabnya.

Kondisi ini, katanya,  menunjukkan tak adapolitical will yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk bikin roadmap energi lebih bersih, ramah lingkungan hingga tak perlu terus menerus menggantungkan energi dari sumber daya yang volatile.

“Bagaimana kita mau memastikan ketahanan energi kalau harga komoditas itu bukan kita yang tentukan.”

Di samping itu target energi terbarukan, katanya, masih jauh dari target dan harapan karena tak ada keluar kebijakan dasar pemerintah untuk meletakkan landasan kuat ke depan dengan basis energi yang benar-benar dimiliki.

“Energi angin, surya relatif mahal karena subsidi untuk fossil fuel. Selain tak patuh bayar PNBP, jaminan reklamasi, jaminan pascatambang, pencemaran dan dampak kesehatan juga harus ditanggung masyarakat. Itu semua subsidi bagi harga yang dianggap murah.”

 

Keterangan foto utama: Tongkang batubara dibawa ke muara Sungai Samarinda untuk dibawa kembali ke PLTU atau ekspor ke negara luar. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Dampak yang ditimbulkan batubara, antara kondisi saat ini dan perkiraan masa depan kala pembangkit batubara proyek 35.000 mW terealisasi. Sumber: Greenpeace

 

 

Exit mobile version