Mongabay.co.id

Akselerasi Perikanan untuk Keberlanjutan, Seperti Apa?

Pengelolaan perikanan yang adil, mandiri, dan berkelanjutan hingga saat ini belum dilakukan oleh semua pelaku rantai pasar dalam bisnis perikanan dan kelautan di Indonesia. Prinsip seperti itu, dinilai sangat penting untuk diadopsi dan diterapkan oleh para pelaku bisnis di sektor tersebut, terutama pelaku rantai pasar dari Sabang di Aceh, hingga ke Merauke di Papua.

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto mengatakan, penerapan prinsip berkelanjutan untuk saat ini bukan lagi menjadi sekedar syarat dunia bisnis, tetapi lebih dari itu menjadi kebutuhan untuk keberlangsungan sektor perikanan dan kelautan. Agar itu bisa berjalan baik, perlu upaya keras dari semua pihak di Indonesia.

“Saat ini, Indonesia harus bergerak cepat untuk mengembalikan kejayaan ekonomi dari sektor perikanan dan kelautan. Perlu akselerasi yang konsisten,” ucapnya di Jakarta, Selasa (14/8/2018).

Untuk melaksanakan akselerasi, Luky mengungkapkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menjadi pemimpin untuk sektor perikanan dan kelautan, tidak harus menggenjot semua komoditas dalam waktu bersamaan. Bisa jadi, demi mengejar ketertinggalan sekarang, cukup satu atau dua komoditas saja yang digenjot untuk dilakukan akselerasi.

“Contohnya, bisa saja yang dilakukan adalah dengan menggenjot komoditas unggulan yang dulu berjaya dan sekarang tidak. Kemudian, komoditas tersebut juga sudah siap untuk dikembangkan lagi, baik dari infrastruktur maupun SDM (sumber daya manusia),” jelasnya.

baca :  Indonesia Serukan Pengelolaan Data Perikanan dan Kelautan Lebih Akurat

 

Aktivitas pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Menurut Luky, yang dimaksud dengan akselerasi adalah konsep pengembangan selama periode waktu tertentu dan dengan target yang jelas. Contohnya, jika dalam waktu lima tahun ditargetkan harus mencapai 10, dan di tahun ketiga sudah mencapai delapan, maka bisa dilakukan akselerasi untuk mencapai 10 dalam waktu setahun saja. Dengan demikian, pada tahun keempat sudah tercapai target yang ditetapkan.

Luky menyebutkan, pelaksanaan akselerasi tidak bisa sembarangan dilakukan, melainkan harus dengan pertimbangan yang matang. Untuk sektor perikanan dan kelautan contohnya, dia menyebut bahwa saat ini menjadi momen yang pas dan tepat untuk dilaksanakan akselerasi. Selain untuk mendorong perekonomian, akselerasi bisa mempercepat pelaksanaan program kerja dari KKP.

“Sekarang, KKP sudah memasuki tahun keempat periode kepemimpinan Menteri Susi Pujdiastuti. Selama empat tahun, apa saja yang dinilai masih sangat kurang. Jika memang ekonomi, maka sangat layak untuk dilakukan akselerasi, agar efektif,” ungkapnya.

 

Program Unggulan

Tentang akselerasi untuk bidang ekonomi perikanan dan kelautan, Luky menjelaskan dengan pertimbangan yang matang. Menurut dia, saat ini KKP belum bisa melaksanakan program kerja dengan baik dan tuntas. Dari semua program unggulan, baru kebijakan perikanan ilegal (illegal fishing) saja yang dinilai sudah sangat bagus dan memberikan kredit nilai yang tinggi.

“Jadi, sekarang KKP tinggal perlu satu program unggulan lagi untuk menutup kepemimpinan menteri yang sekarang. Apa itu programnya, bisa dilakukan dengan akselerasi melalui komoditas unggulan, seperti tuna,” paparnya.

baca juga :  Sudahkah Indonesia Manfaatkan Potensi Perairan Lepas untuk Tuna?

 

Ikan tuna hasil tangkapan nelayan di Pelabuhan Lampulo, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tentang pemilihan tuna untuk masuk dalam program akselerasi, Luky menjelaskan bahwa komoditas tersebut sejak lama menjadi komoditas unggulan di Indonesia. Dari sisi infrastruktur dan SDM, perikanan tuna juga dinilai sudah sangat siap dan mampu untuk bisa mandiri. Dengan demikian, saat dilakukan akselerasi, tidak hanya akan mengembalikan kejayaan tuna di Indonesia, tapi juga perekonomian dari sektor perikanan akan kembali naik.

Menurut Luky, itu juga menjadi langkah untuk mendorong pelaku rantai pasar segera menerapkan pengelolaan perikanan yang adil, mandiri, dan berkelanjutan. Prinsip itu, mendesak diterapkan, bukan saja karena persyaratan negara tujuan ekspor seperti Eropa dan Amerika Serikat menerapkannya, tetapi karena itu untuk menyelamatkan ekosistem di laut yang terus terancam.

Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Arifin Rudiyanto menjelaskan, dalam membangun sektor perikanan dan kelautan, perlu dilakukan pemetaan secara mendalam dan komprehensif. Jika memang ada permasalahan di dalamnya, maka permasalahan tersebut harus dipetakan dan dicarikan solusinya.

“Contohnya saja soal aturan, jika memang ada yang menghambat, maka itu harus diselesaikan. Kemudian, tentang SDM, itu harus dicarikan solusi jika memang itu menjadi kendala. Begitu juga dengan infrastruktur seperti kapal, harus ditegaskan di perairan mana boleh melaut dan tidak,” tegas dia.

baca juga :  Ekspor Pangan Laut Berjaya, Tak Berarti Kesejahteraan Nelayan Kaya

 

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapannya di Pelabuhan Ikan Melonguane, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Foto : Jay Fajar/Mongabay Indonesia

 

Arifin mengatakan, jumlah penduduk dunia saat ini telah meningkat menjadi 7,4 miliar orang atau bertambah 6 persen dibandingkan pada 2011. Peningkatan jumlah penduduk ini salah satunya berdampak pada meningkatnya kebutuhan pangan dunia. Dia mencontohkan, tingkat konsumsi ikan dunia meningkat dari 130 juta ton pada 2011 menjadi 151,2 juta ton pada 2016.

“Ditambah dengan semakin meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan nilai gizi ikan, konsumsi ikan per kapita juga meningkat dari 18,5 kilogram per kapita per tahun menjadi 20,3 kg per kapita per tahun,” sebut dia.

Dari data di atas, Arifin menambahkan, konsumsi ikan dunia sebanyak 52 persen di antaranya berasal dari perikanan tangkap. Sementara, di saat yang sama, produksi perikanan dunia justru berbanding terbalik karena jumlahnya tetap dan itu tidak akan mampu menyuplai kebutuhan manusia yang populasinya terus meningkat dengan cepat.

“Itu berarti, manusia masih mengandalkan ikan yang ada di lautan lepas sebagai komoditas utama untuk dikonsumsi. Sementara, secara global telah terjadi penurunan produksi perikanan tangkap hingga tiga persen pada periode yang sama,” jelasnya.

baca :  Praktik Berkelanjutan dalam Bisnis Perikanan dan Kelautan, Seperti Apa?

 

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Eksploitasi

Di sisi lain, Arifin mengatakan, walaupun penurunan produksi perikanan tangkap bisa ditutup oleh produksi perikanan budidaya, namun tekanan eksploitasi terhadap komoditas yang hanya dapat ditangkap di laut masih saja terus terjadi. Komoditas dengan kondisi seperti itu, contohnya adalah rajungan dan tuna.

“Mulai dari penangkapan ikan secara ilegal, penggunaan alat tangkap yang merusak habitat ikan, sampai penangkapan rajungan yang ukurannya tidak sesuai dengan peraturan,” tuturnya.

Kondisi seperti itu, menurut Arifin, harus ditangani segera dalam penanganan yang terintegrasi, karena bisa berdampak pada stok ikan, khususnya komoditas penting di lumbung perikanan, pada akhirnya akan habis.

Lebih lanjut, Arifin mengatakan, pembangunan perikanan di masa datang akan terus diarahkan untuk bisa berpedoman pada tiga prinsip, yaitu berkemandirian, berkeadilan, dan berkelanjutan. Untuk prinsip yang pertama, itu adalah menghasilkan produk perikanan yang diutamakan untuk memenuhi kebutuhan protein dalam negeri dan ekspor.

Sementara, prinsip kedua, adalah pembangunan perikanan harus memberikan dampak yang menguntungkan tidak hanya bagi pengusaha besar, tetapi juga bagi nelayan kecil. Dan, prinsip ketiga, adalah mengoptimalkan manfaat ekonomi dengan menjaga keberlanjutan ekosistem laut.

 

Ikan roa yang terjaring nelayan di perairan Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Jenderal Kementerian PPN/Bappenas Gellwyn Hamzah Jusuf menjelaskan, berdasarkan data yang dirilis lembaga pangan dunia PBB (FAO), saat ini hanya 10 persen saja kondisi perikanan dunia yang masih boleh dinyatakan sehat dan untuk ditangkap. Sementara, sisanya itu sudah dalam kondisi berbeda-beda.

Dengan kondisi seperti itu, menurut Gellwyn, saat ini tumpuan untuk sektor perikanan dibebankan kepada perikanan budidaya. Dengan beban seperti itu, perikanan budidaya harus menyuplai produksi untuk kebutuhan manusia yang jumlahnya terus bertambah.

“Harus dipikirkan ini bagaimana perikanan budidaya bisa berkembang,” tegasnya.

Diketahui, saat ini Kementerian PPN/Bappenas sedang bekerja sama dengan UNDP dalam menyusun inisiatif untuk mendorong pelaku rantai pasar dalam mengimpelementasikan perikanan yang adil, mandiri, dan berkelanjutan, khususnya pada komoditas tuna dan rajungan.

Praktik-praktik pengelolaan terbaik akan diidentifikasi dan didemonstrasikan untuk dua komoditas tersebut sebagai referensi untuk proses penyusunan arah kebijakan dan perencanan pengelolaan perikanan nasional dalam lima tahun ke depan. Inisiatif ini akan melibatkan kolaborasi dari kementerian/lembaga, nelayan, perusahaan penangkap ikan, eksportir, importir, dan retailer di negara pasar tujuan seperti AS dan Jepang, termasuk LSM dan pemerhati sektro perikanan.

 

Exit mobile version