Mongabay.co.id

Adakah Sanksi Tegas Bagi Penyelam Penunggang Hiu Paus?

Siapa yang menyangka, kalau kegiatan menyelam sudah dimulai ribuan tahun yang lalu sejak jaman romawi dan yunani masih mendominasi di belahan bumi ini (history of underwater diving, Wikipedia ). Pada awalnya kegiatan ini dipakai untuk mencari makanan dan perhiasan mutiara di dalam laut, kemudian berkembang sebagai kegiatan penelitian sampai dengan hobi. Bahkan untuk alasan tertentu, kegiatan menyelam juga dipakai sebagai bagian dari ketrampilan para tentara di setiap negara.

Saat ini, kegiatan selam sudah sedemikian pesatnya. Banyak orang yang yang bisa menyelam. Apalagi di era teknologi komunikasi seperti sekarang, di mana kebutuhan orang untuk eksis di media sosial, membuat kegiatan ini semakin popular. Kebutuhan berfoto dan memvideokan kegiatan di bawah laut, seakan sudah menjadi syarat utama yang harus dilakukan jika sedang menyelam.

Hanya saja, kebutuhan selfie tersebut, oleh beberapa oknum, sering dilakukan dengan cara mengganggu atau bahan merusak ekosistem di bawah laut. Seperti yang viral pada awal Agustus ini, yang dilakukan beberapa oknum dengan merekam perbuatan tidak terpuji mereka yang menunggangi dan memegang beberapa bagian tubuh Hiu paus di perairan Teluk Cendrawasih, Nabire, Papua.

baca : Kasus Penyelam Menunggangi Hiu Paus di Nabire,  Melukai atau ‘Hanya Bermain’?

 

 

Kejadian itu, tidak saja melanggar ketentuan yang telah dibuat oleh Balai Besar Taman Nasional (BBTN) Teluk Cendrawasih, tetapi juga berpotensi membuat stress, hewan laut yang diganggunya, dalam hal ini Hiu Paus. Sayangnya para penyelam itu lepas dari jerat hukum, karena tidak ada sanksi pidana apapun dari peraturan yang ada yang bisa dikenakan kepada mereka.

Selain itu pun di berbagai tempat, banyak sekali terdeteksi foto atau video yang terindikasi mengganggu ekosistem di dalam laut, seperti memegang, menginjak ataupun menduduki terumbu karang, memotret hewan kecil dengan menggunakan lampu kilat yang berlebihan dan berulang-ulang kali.

Saat ini tidaklah sulit untuk menguasai atau mendapatkan teknik menyelam sekaligus sertifikat ijin menyelamnya. Sedikitnya ada 5 lembaga yang berwenang memberikan lisensi selam di Indonesia POSSI (Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia) yang bekerjasama dengan CMAS (Confederation Mondiale des Activites Subaquatiques), PADI (Professional Association of Diving Instructor), SSI (Scuba School International), NAUI (National Association of Underwater Instructors) dan ADS-I (Association of Diving School International).

Penyelam senior Bali, Avandy Djunaidi, mengatakan bahwa memang di setiap agensi pemberi lisensi diving, tidak ada aturan atau sanksi yang bisa dikenakan kepada para anggotanya, jika ia melakukan perbuatan merusak atau mengganggu ekosistem di dalam laut. “Yang ada hanya sanksi moral saja, dicela dan dipergunjingkan banyak orang, terutama oleh para penyelam karena perbuatannya itu,” kata Avandi kepada Mongabay-Indonesia, Sabtu (11/8/2018).

baca juga : Wisata dan Ancaman Kelestarian Hiu Paus di Gorontalo Itu Memang Ada

 

Foto pengunjung yang naik ke punggung hiu paus di Facebook yang dikecam netizen di perairan Botubarani, Gorontalo, Sulawesi pada 2016. Sumber foto: Istimewa diambil dari akun Facebook

 

Dia melanjutkan walaupun tidak ada aturan tertulis untuk tidak merusak ekosisistem bawah laut, tetapi secara lisan selalu dijelaskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam air, selain prosedur keselamatan dalam menyelam, antara lain :

Bahkan para peneliti, yang memang bekerja demi keberlangsungan hidup hiu paus pun, menurut pemerhati konservasi Hiu Paus, Beny A. Noor sangat berhati-hati bila melakukan pen-tagging-an. “Ada pelatihan khusus untuk tagging dan penelitian terhadap hiu paus. Ini dimaksudkan, agar hiu paus tidak terluka dan stress. Jadi memang tidak bisa sembarangan untuk berinteraksi dengan kehidupan di bawah laut,” kata Beny yang pernah melakukan penelitian Hiu Paus di Teluk Cendrawasih saat dihubungi Mongabay-Indonesia, Jumat (17/8/2018).

menarik dibaca : Video: Hiu Paus di Papua Diselamatkan dari Ikatan Jaring

 

Kontak dan interaksi hiu paus. Sumber: Whale Shark Indonesia Project

 

Sedangkan Marine Species Officer WWF Indonesia, Cassandra Tania menjelaskan kenapa Hiu Paus tidak boleh disentuh atau ditunggangi oleh penyelam.

“Dari sisi manusia, Hiu Paus memiliki kulit yang kasar seperti amplas. Jika tersentuh dapat menyebabkan luka gores yang cukup menyakitkan bagi penyelam,” katanya kepada Mongabay-Indonesia, Minggu (19/8/2018)

Yang kedua, hiu paus bertubuh besar dan gerakannya bisa tidak terduga. Jika manusia ditabrak atau ditampar oleh sirip (ekor) hiu paus, maka dapat menyebabkan cedera serius.

Sedangkan dari sisi hiu paus, sentuhan, penunggangan, atau pun pengerumunan oleh manusia dapat menyebabkan stres pada hiu paus. “Ketika mengalami stres, hiu paus dapat bersikap agresif dan mungkin tidak akan kembali ke suatu perairan lagi,” katanya.

Hal kedua, interaksi yang intens dengan manusia juga dapat mengubah perilaku hiu paus sehingga mungkin mengurangi/menghilangkan sisi liarnya.

Cassandra melihat dalam SK Kepala BBTN Teluk Cenderawasih tentang panduan (SOP) Wisata Hiu Paus di TNTC, memang tidak mencantumkan hukuman bagi pelaku pelanggaran SOP sehingga pelaku tidak dapat diproses hukum.

“Namun, tindakan cepat dari kepolisian dengan penurunan dari pesawat Garuda dan pemeriksaan dan sanksi sosial dari netizen, baik dari dalam maupun luar negeri, diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku lainnya,” katanya.

Pelaku juga telah diberikan pembinaan oleh Balai, diminta menghapus video dan mengunggah video permohonan dan surat pernyataan yang bermaterai.

“Kita semua berharap agar pelanggaran petunjuk berinteraksi dengan hiu paus tidak terjadi lagi dan kegiatan wisata dengan satwa liar berlangsung secara bertanggung jawab, serta petunjuk berinteraksi dapat tersosialisasikan dengan baik,” tambah Cassandra.

baca juga : Hiu Paus Akan Masuk Akuarium Raksasa di Ancol?

 

Seorang peneliti sedang menyelam bersama hiu paus atau whale sharks di Teluk Cendrawasih, Papua. Foto : Shawn Heinrichs / Conservation International

 

Sembari kita menunggu UU atau peraturan yang melindungi dengan benar segala kehidupan di laut, terutama biota laut yang sudah masuk dalam status langka, seharusnya sikap hormat dan bertanggungjawab terhadap alam ditumbuhkan secara pribadi dalam diri setiap penyelam. Sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara penyelam dan ekosistem di bawah laut, dapat terjaga dengan baik. Selain itu, keberlangsungan kehidupan di dalam laut pun dapat berjalan dengan lebih sehat.

Karena tampaknya, walaupun Indonesia sudah merdeka selama 73 tahun, tetapi sepertinya ekosistem bawah laut masih berjuang untuk untuk itu. Karena ancaman perusakan habitat dan perburuan oleh top predator mereka, yaitu manusia, masih bebas dilakukan.

 

Exit mobile version