Mongabay.co.id

Kenaikan Nilai Tukar Nelayan Sejahterakan Nelayan Indonesia?

Pemerintah Indonesia merilis data terbaru yang menyebut bahwa nilai tukar nelayan (NTN) pada semester 1 2018 mengalami kenaikan sampai 2,26 persen dibandingkan periode yang sama pada 2017. Kenaikan itu, ditegaskan dengan angka 113,32 dari sebelumnya di angka 111,01 saja. Kenaikan itu, diklaim menjelaskan bahwa kesejahteraan nelayan sudah meningkat.

Sebelum data terbaru itu diungkap ke publik, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berkali-kali selalu membanggakan kenaikan NTN dari waktu ke waktu, tepatnya sejak dia memimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dengan menyebut angka, Susi menyebut bahwa kenaikan NTN dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan program kerja KKP.

“Sekarang, nelayan semakin sejahtera. Itu ditunjukkan dengan kenaikan NTN yang terus menerus,” ucap dia.

Laman resmi KKP menjabarkan tentang NTN yang disebutkan sebagai angka yang menunjukkan perbandingan antara indeks harga yang diterima nelayan (IT) dan indeks harga yang dibayar nelayan (IB). Adapun, IT adalah indeks pergerakan harga paket komoditas yang dihasilkan oleh kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan dibandingkan dengan tahun dasar.

Sementara, IB adalah indeks pergerakan harga paket komoditas yang dikeluarkan oleh nelayan termasuk konsumsi rumah tangga dan biaya produksi dan penambahan barang modal dibandingkan dengan tahun dasar. NTN menjadi proxy indikator kesejahteraan bagi nelayan.

Dalam berbagai kesempatan, Susi selalu membanggakan bahwa kenaikan NTN itu di antaranya karena aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF). Sejak para pencuri ikan diusir dari wilayah perairan Indonesia, sejak saat itu juga nelayan mendapatkan kekuasaan penuh untuk mencari dan mendapatkan ikan.

Akan tetapi, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati beranggapan berbeda tentang kenaikan NTN sekarang. Meski diakuinya, memang ada campur tangan keberhasilan Pemerintah dalam mengusir para pelaku IUUF, tetapi yang paling utama adalah juga karena kemauan dari nelayan untuk memperbaiki nasibnya.

baca : Saat Nelayan Sendang Biru Berharap pada Perbaikan dan Pengembangan Infrastruktur

 

Nelayan berangkat melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Subsidi Negara

Menurut Susan, kenaikan NTN juga sebenarnya tidak murni karena keberhasilan nelayan, melainkan ada campur tangan Pemerintah. Dalam hal ini, program subsidi yang diberikan Pemerintah kepada nelayan secara langsung, memberikan dampak signifikan untuk kenaikan NTN. Tanpa subsidi, dia yakin nelayan akan mengalami nasib yang sama.

“Iya, nelayan belum bisa mandiri. Mereka terbantu, karena memang ada program subsidi yang dijalankan Pemerintah. Itu membantu sekali, tetapi tidak bisa selamanya begitu,” katanya saat dihubungi Mongabay Indonesia, Minggu (2/9/2018).

Susan menerangkan, dalam kurun waktu setidaknya tiga tahun ke belakang, NTN memang terus naik. Dia melihat, kenaikan itu merupakan dampak dari kebijakan moratorium kapal asing, dihentikannya alih muat (transshipment), dan salah satunya adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2/2015.

Akan tetapi, Susan melanjutkan, seperti disebutkan di atas, walau mengalami kenaikan NTN, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemerintah. Di antara PR yang harus diselesaikan itu, adalah menuntaskan proses transisi alat tangkap, dan juga harus bisa menjamin fasilitas negara yang sudah diberikan kepada nelayan, bisa dimanfaatkan dengan benar.

“Saya baru dari Lombok (Nusa Tenggara Barat), di sana banyak juga kapal bantuan mangkrak,” ungkapnya.

Dengan kondisi demikian, Susan berani menyebut bahwa kenaikan NTN tidak berbanding lurus dengan kenaikan kesejahteraan nelayan. Faktanya, hingga saat ini masih ada 10.666 desa pesisir miskin yang menyebar luas di seluruh provinsi. Kenaikan NTN, bagi dia, menjadi momen bagus, tetapi tidak bisa dinilai sebagai keberhasilan yang utuh.

Agar kenaikan NTN bisa berlanjut ke tahap kenaikan kesejahteraan, Susan meminta Pemerintah Indonesia untuk fokus memberikan pendampingan untuk menumbuhkan jiwa kemandirian pada masing-masing nelayan. Dengan kemandirian, dia yakin nelayan bisa tumbuh sendiri tanpa harus dibantu dengan subsidi dari Negara.

“Secara makro memang bisa diukur dari NTN. Kesejahteraan umumnya membaik memang, inflasi juga rendah. Tapi itu karena subsidi Pemerintah besar untuk rakyat,” tegasnya.

baca juga : Kinerja Buruk KKP Tak Hanya dari Kegagalan Program Bantuan Kapal, Tapi ….

 

Sejumlah kapal dengan alat tangkap ikan berupa cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Program Kemandirian

Berkaitan dengan program kemandirian untuk nelayan, Susan menyebutkan, Pemerintah bisa melaksanakannya melalui program pemberian kapal dan atau alat tangkap. Program seperti itu, walau dibantu oleh Negara, tapi memang bertujuan untuk memandirikan nelayan dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan mereka.

Kemudian, Susan melanjutkan, tanpa menghentikan pendampingan untuk kemandirian pada nelayan, Pemerintah juga harus tetap memberikan perlindungan kepada nelayan dan termasuk dengan memberikan mereka zona khusus bagi nelayan untuk melaksanakan aktivitas penangkapan ikan. Pendampingan dan bantuan seperti itu, diyakini akan berdampak besar bagi ekonomi nelayan.

“Selain program kemandirian, Pemerintah juga tetap bisa memberikan subsidi, tapi harus tepat sasaran dan programnya juga jelas. Contohnya, adalah subsidi BBM (bahan bakar minyak), itu luar biasa manfaatnya bagi nelayan,” sebutnya.

Khusus untuk program kemandirian seperti bantuan kapal, Susan mengingatkan agar Pemerintah lebih berhati-hati lagi dalam melaksanakannya. Jangan sampai, program yang sama mengalami kegagalan seperti pada periode Susi Pudjiastuti. Untuk melaksanakan itu, KKP harus berani untuk mengajak nelayan berdiskusi tentang kebutuhan kapal di daerah masing-masing.

“Perahu yang sesuai dengan disparitas geografis nelayan yang tidak bisa dipukul rata. Hari ini, di tengah program bagi-bagi kapal yang maha mahal itu, banyak nelayan tidak dapat. Di Lombok, ada bantuan yang dikasih koperasi yang sama sekali basisnya bukan nelayan,” sebutnya.

menarik dibaca : Tata Kelola Keuangan Buruk? Ini Jawaban Kementerian Kelautan dan Perikanan

 

Nelayan di Teluk Penyu, Cilacap, Jateng, memarkirkan kapalnya agak tinggi ke daratan pada Sabtu (21/7/2018). Nelayan takut melaut karena gelombang tinggi yang terjadi pada awal minggu ini. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara, Direktur Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mengatakan, kenaikan NTN yang diklaim oleh KKP, harus dikaji kembali. Menurut dia, NTN itu dihitung berdasarkan pendapatan yang diperoleh oleh nelayan dengan menggunakan standar harga ikan.

Hanya, Halim menyebutkan, permasalahan yang sering terjadi hingga saat ini, penghitungan NTN tidak melihat imbas dari kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Padahal, dengan kenaikan nilai tukar mata uang tersebut, sudah berimbas pada kenaikan ongkos produksi nelayan, terutama BBM dan kebutuhan pokok.

“Klaim kenaikan NTN itu perlu dihitung ulang. Karena pada kenyataannya banyak nelayan yang masih belum sejahtera, terutama nelayan yang menjual ikan gelondongan. Padahal, masa kerja tidak penuh selama 30 hari mengingat tengah berlangsungnya cuaca ekstrem,” tandasnya saat dihubungi Mongabay pada Minggu (2/8/2018).

Diketahui, Sekretaris Jenderal KKP Nilanto Perbowo menyebutkan kenaikan NTN saat menghadiri wisuda Sekolah Tinggi Perikanan (STP) di Jakarta Selatan pada Sabtu (1/9/2018) seperti dikutip dari kumparan. Dia menyebutkan, kenaikan NTN tersebut menjadi salah satu indikator untuk melihat kesejahteraan nelayan di pedesaan. Tanpa ragu, dia menyebut kalau NTN melebihi angka 100, maka itu artinya pendapatan nelayan lebih tinggi dibandingkan pengeluaran.

Dengan kenaikan NTN, Nilanto melanjutkan bahwa itu mendorong terjadinya peningkatan ekspor produk perikanan Indonesia. Tak hanya itu, NTN juga bisa mendorong terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, dia menegaskan bahwa kenaikan NTN berpengaruh pada banyak hal.

Selain NTN, di kesempatan yang sama, Nilanto juga menyebutkan tentang keberhasilan Indonesia untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) dari Rp245,5 triliun pada 2014 menjadi Rp349,5 triliun pada 2017. Sementara, pertumbuhan PDB perikanan pada 2017 juga tercatat positif karena mencapai 5,95 persen atau melebihi pertumbuhan PDB nasional yang hanya sanggup mencapai 5,07 persen.

“Produksi perikanan baik dari sektor tangkap maupun budi daya mengalami kenaikan dari 20,94 juta ton di 2014 menjadi 24,15 juta ton tahun 2017,” tegas dia.

 

Exit mobile version