Mongabay.co.id

Begini Rencana Pemerintah Selesaikan Tumpang Tindih dengan Satu Peta

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

 

”Agar kabupaten bisa maju dan untuk masyarakat. Awalnya itu tanah adat, mending menjadi lahan produktif to.” Begitu sepenggal percakapan dalam serial komedi ‘Ini Tanah Siapa?’

Iming-iming kesejahteraan kala ekspansi perkebunan bak jadi jurus andalan yang dijual ke masyarakat. Kalau ada investasi, warga bisa bekerja dan hidup bisa sejahtera, begitu kalimat ‘sakti’ yang kerap diucapkan kala perusahaan masuk satu wilayah.

Film “Ini Tanah Siapa” mengisahkan tiga sahabat asal Papua, yakni Celo, Dodi dan Nato, mereka sedang hadapi masalah karena ada perizinan tumpang tindih dengan lahan masyarakat.

Film itu bukan cuma cerita khayalan. Kehidupan masyarakat Papua, dan warga adat/lokal di negeri ini banyak alami konflik berkepanjangan, baik dengan perusahaan maupun pemerintah  karena terjadi tumpang tindih lahan. Itulah salah satu alasan mengapa Indonesia sangat memerlukan kebijakan satu peta (one map policy).

Geo-portal kebijakan satu peta rencana rilis Presiden Joko Widodo,pada Agustus 2018. Entah mengapa, sampai September, geo-portal kebijakan itu tak juga muncul.

Peta-peta yang masuk Badan Informasi Geospasial (BIG) masih tahapan kompilasi dan integrasi. Tahap kompilasi, berbuah peta tematik eksisting dari masing-masing kementerian dan lembaga. Kemudian, tahap integrasi berupa peta tematik yang disesuaikan dengan peta dasar (rupa bumi Indonesia).

”Ini menuju sinkronisasi, setelah rilis Satu Peta, Presiden akan memerintahkan kepada menteri dan gubernur menyelesaikan permasalahan tumpang tindih,” kata Dodi Slamet Riyadi, Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

 

 

Regulasi penyelesaian tumpah tindih

Penyelesaian permasalahan tumpang tindih, katanya, akan berdasarkan rekomendasi Kementerian Bidang Perekonomian yang disusun dalam bentuk rencana aksi nasional.

Menurut Dodi, payung hukum rencana aksi ini masih dikaji, apakah bentuk peraturan presiden, instruksi presiden atau lain-lain. ”Akan ada regulasi bagi menteri dalam melaksanakan rekomendasi,” katanya.

Kerangka kerja penyelesaian tumpang tindih, katanya, akan terbagi dalam tiga proses, pertama, analisis spasial tumpang tindih (spatial overlap analysis), prioritisasi, kedua, studi analisis (desk study analysis) dan, ketiga, mengurai kemacetan (debottlenecking) tumpang tindih.

Pada tahap spatial overlap analysis, katanya, akan ada overlay informasi geospasial tematik (IGT) dan identifikasi tumpang tindih antar peta tematik. ”Nantinya, identifikasi dibagi dalam warna hijau (tak bermasalah), kuning (tak bermasalah jika memenuhi syarat) dan merah (indikasi bermasalah),” ucap Dodi.

 

Sumber: geo-portal Satu Peta

 

Selanjutnya, skala prioritas isu tumpang tindih berdasarkan indikator dampak usaha(indicator impact-effort)  dan mempertimbangkan usulan kementerian atau lembaga serta arahan strategis, pada desk study analysis (analisis hukum, dampak ekonomi dan sosial, serta daya dukung lingkungan). Juga validasi permasalahan tumpang tindih bersama kementerian dan lembaga walidata ke pemerintah daerah. “Tahap ini akan hasil analisa dan rekomendasi serta rumusan penyelesaian permasalahan tumpang tindih.”

Tahap akhir, debottlenecking tumpang tindih, katanya, dengan penyelesaian tumpang tindih melalui rapat koordinasi melibatkan kementerian dan lembaga maupun seluruh pemangku kepentingan terkait. “Ini jadi tahap perbaikan peta tematik dan penyesuaian produk hukum.”

Wawan Wardiani, Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK mengatakan, kebijakan satu peta ini perlu partisipasi kuat masyarakat. Dengan begitu, akan mempermudah mekanisme penyelesaian konflik,  di mana masyarakat ada dalam bagian perizinan.

”KPK sebagai trigger (pemicu-red) mekanisme rekomendasi untuk melakukan rencana aksi agar sesuai target monitoring,” katanya.

Nurwadjedi, Deputi Informasi Geospasial Tematik BIG, mengatakan, KPK berperan dalam merekomendasikan untuk meminimalkan potensi konflik dengan tindak pidana korupsi.

 

Lewat film

Mini serial komedi ‘Ini Tanah Siapa?’ jadi sarana edukasi bagi masyarakat Papua. Film terdiri dari empat episode ini kental dengan komedi khas Papua. Serial komedi ini hasil kolaborasi grup komedi MOP Papua, Epen Cupen, dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Badan Informasi Geospasial.

Irham Acho Bachtiar, sutradara film ‘Ini Tanah Siapa?’ mengatakan, film ini sebagai sarana sosialisasi ke masyarakat untuk memahami dan mengerti tentang kebijakan satu peta.

”Sketsa dengan banyak episode permasalahan jadi lebih efektif,  masyarakat lebih paham soal isu pertanahan, dibanding kalau kita berbicara sampai berbusa.”

MOP, merupakan budaya Papua. Harapannya, masyarakat mudah bisa menerima. Film ini, jadi sarana meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat akan kebijakan satu peta. Kebijakan ini, katanya, sangatlah penting bagi masyarakat Papua agar mampu mengakomodir berbagai kepentingan.

Kebijakan ini, katanya, bisa menghindari penyalahgunaan dan konflik lahan yang berpotensi meningkatkan korupsi sumber daya alam.

 

Keterangan foto utama:   Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version