Mongabay.co.id

Tata Kelola Kapal Perikanan Masih Amburadul?

Tata kelola perizinan kapal perikanan masih menjadi permasalahan pelik yang belum juga bisa dipecahkan hingga menjelang akhir periode kepemimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Proses untuk mendapatkan perizinan itu, dinilai sudah memberatkan dan menyusahkan nelayan yang memiliki kapal berukuran di bawah 5 gross ton (GT).

Penilaian itu diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati. Menurut dia, tata kelola untuk kapal di bawah 5 GT masih amburadul dan harus segera diperbaiki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menaungi kebijakan perikanan dan kelautan secara nasional.

“Kita menemukan bahwa nelayan di Kabupaten Kendal, Jepara dan Demak yang memiliki kapal dengan ukuran di bawah 5 GT belum melakukan perpanjangan perizinan kapal,” ungkapnya pekan lalu, di Jakarta.

Menurut Susan, untuk kapal yang ada di Kendal saja, sedikitnya 100 unit kapal dengan ukuran di bawah 3 GT hingga saat ini masih belum memiliki surat perpanjangan perizinan kapal yang baru. Padahal, tanpa ada surat izin yang baru, para nelayan tidak bisa melaut dan memperoleh pendapatan. Kata dia, bukan tanpa usaha, tapi para nelayan kesulitan untuk mendapatkan izin yang baru karena tata kelola yang amburadul.

baca : Pemerintah Harus Tepati Janjinya untuk Pangkas Proses Perizinan Kapal Perikanan

 

Puluhan kapal penangkap ikan yang bersandar di di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada Selasa (19/01/2016) siang. Kapal-kapal tersebut tidak beroperasi karena tidak mempunyai izin atau sedang mengurus izin melaut dari KKP. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Susan menerangkan, di dalam Peraturan Menteri (Permen) No.30/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan Permen No.11/2016 tentang Standar Pelayanan Minimum Gerai Perizinan Kapal Penangkap Ikan Hasil Pengukuran Ulang, jumlah hari yang dibutuhkan untuk mengurus kelengkapan dokumen kapal perikanan ditetapkan selama 37 hari atau 1 bulan 1 pekan.

Adapun, mengacu kepada Permen di atas, dokumen kapal perikanan terdiri dari surat izin usaha perikanan (SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI), surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI), dan Buku Kapal Perikanan (BKP). Jika mengacu pada standar operasi prosedur (SOP) Izin SIUP yang dapat diakses dalam website KKP, estimasi waktu yang dibutuhkan pada penerbitan perizinan SIUP ialah kurang dari 18 hari.

“Sedangkan SIPI kurang dari 16 hari dan kurang dari 22 hari. Tetapi dari fakta yang ditemukan untuk melakukan pembuatan atau perpanjangan izin kapal perikanan memakan waktu lebih dari 3 bulan,” ungkapnya.

Susan menambahkan, Susi Pudjiastuti juga sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang diterbitkan pada 7 November 2014 terkait pembebasan perizinan kapal di bawah 10 GT untuk tidak perlu mengurus surat izin kapal untuk melaut, dan hanya perlu membuat Surat Daftar Kapal ke Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) setempat. Namun, SE tersebut pada kenyataannya tidak berlaku di lapangan, karena pemerintah daerah tetap mewajibkan nelayan di bawah 10 GT mengurus surat perizinan kapal perikanan.

baca juga : Berapa Lama Waktu untuk Penerbitan Izin Baru Kapal?

 

Sejumlah kapal dengan alat tangkap ikan berupa cantrang di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tasikagung, Rembang, Jawa Tengah, pada Selasa (13/2/2018). Kapal-kapal tersebut belum bisa melaut sebelum administrasi kapal dan menyanggupi kesediaan mengganti cantrang dengan alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Pernyataan Susan itu kemudian diperkuat oleh Sugeng Triyanto, nelayan dari Kendal. Dia mengatakan, akibat tata kelola yang tidak bagus, nelayan tradisional semakin terdesak karena harus melaut tapi tidak ada izin untuk berlayar. Untuk mengajukan perizinan kapal saja, nelayan harus menunggu waktu hingga berbulan-bulan.

“Itu pun, belum tentu izin yang diajukan akan keluar. Bahkan, ada yang sampai satu tahun tapi tidak keluar juga suratnya. Kendala utama yang kami (nelayan Kendal) hadapi adalah untuk pengurusan perizinan kapal harus langsung ke KSOP dan kami tidak tahu kapan jadwal mereka datang ke Kendal dan kami tidak ada kontak mereka,” ungkap Sugeng.

Sugeng melanjutkan, saat para nelayan menghadapi kesulitan tersebut, mereka juga dipersulit dengan pengurusan surat perizinan yang harus dilakukan ke tingkat provinsi karena wewenang tersebut sudah tidak lagi di kabupaten/kota. Kondisi itu semakin mempersulit kondisi nelayan yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi, akibat lama tidak melaut.

baca juga : Baru 0,97 Persen Perizinan Kapal yang Disetujui KKP, Kenapa Demikian?

Sementara Yohanes Don Bosco Minggo, dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere, Sikka, NTT, kepada Mongabay-Indonesia, Senin (27/8) menyebutkan KKP telah memberikan kemudahan berupa pembebasan Surat Laik Operasi (SLO) kapal perikanan bagi nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil sesuai Permen KP No.1/Permen-KP/2017 tentang SLO Kapal Perikanan.

Tetapi dari hasil wawancara beberapa pemilik kapal, Yohanes diinformasikan bahwa sampai saat ini nelayan kecil masih mengurus surat izin bagi kapal diatas 6 GT di Dinas Kelautan dan Perikanan Pemprov NTT. “Sudah jelas bahwa untuk kapal berukuran 0 sampai 10 GT tidak perlu pengurusan SLO, tapi mengapa saat ini DKP kabupaten Sikka masih meminta agar kapal yang berukuran 6 GT harus mengurus surat izin?” tanyanya.

Sedangkan Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 27 dijelaskan bahwa sumber daya alam laut sekarang dikelola oleh provinsi dari nol sampai 12 mil, tapi tidak berlaku bagi nelayan kecil.

baca : Nelayan Kecil di Sikka Masih Urus Surat Laik Operasi. Kok Bisa?

 

Kapal purse seine atau Lampara berukuran di atas 6 GT sedang membongkar hasil tangkapan ikan di pelabuhan TPI Alok Maumere, Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Perbaiki Tata Kelola

Dengan fakta di atas, KIARA mendesak KKP untuk segera mengevaluasi kembali tata kelola perizinan kapal di bawah 5 GT. Menurut Susan, pengajuan perizinan seharusnya dikembalikan ke daerah untuk mempermudah akses nelayan ke pengajuan perizinan dan memutus rantai calo di tingkat lokal.

“Negara seharusnya hadir, menjamin masyarakat pesisir, khususnya nelayan tradisional untuk tetap melaut dengan rasa nyaman dan aman,” pungkas Susan.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar, menyebutkan, proses yang lama dalam mengeluarkan izin perikanan, bisa terjadi karena berbagai hal. Tetapi, dari semua itu, yang paling mencolok adalah banyaknya kapal yang melakukan pelanggaran perizinan kapal perikanan. Pelanggaran tersebut, akhirnya menghambat untuk proses penerbitan izin yang baru bagi kapal tersebut.

“Selama ini masih ditemukan berbagai macam pelanggaran yang dilakukan oleh kapal perikanan. Kita akan terus lakukan pengawasan supaya kapal perikanan bisa taat terhadap peraturan. Pengawasan bisa dilakukan melalui pelabuhan perikanan sebelum kapal melakukan penangkapan ikan, dan akan diberikan surat laik operasi (SLO) jika kapal ternyata taat dan begitu juga sebalinya,” jelas dia akhir pekan lalu, di Jakarta.

Zulficar menerangkan, banyak kapal yang terindikasi sudah melakukan pelanggaran dan itu terpantau melalui vessel monitoring system (VMS) di daerah penangkapan ikan. Dia mencontohkan, kapal yang mendapatkan izin seharusnya mencari ikan di wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE), tetapi pada kenyaatan justru menangkap ikan hingga ke laut lepas.

baca : Perkasa di Depan Kapal Asing, Susi Pudjiastuti Kesulitan di Depan Kapal Dalam Negeri

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berbincang dengan awak yang sedang mengubah struktur kapal. Susi bersama Satgas 115 melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pelabuhan Benoa, Bali, pada Selasa (03/08/2016), dan menemukan 56 kapal eks asing telah memanipulasi struktur badan kapal dari fiber ke kayu. Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, Zulficar melanjutkan, pelanggaran lain yang ditemukan, adalah penyalahgunaan buku kapal perikanan (BKP) yang dilakukan oleh pemilik kapal. Biasanya, pelanggaran itu digunakan untuk mengelabui petugas dengan cara menambah jumlah kapal dari yang seharusnya. Contohnya, untuk mendapatkan 1 BKP maka diperlukan 1 kapal, tetapi ada yang melanggar dengan menggunakan 1 kapal untuk 2 BKP.

“Tapi, ada juga kapal yang sudah diterbitkan (BKP), tapi pemilik mengajukan yang baru dengan dimensi yang berbeda. Kemudian ada juga yang modusnya menggunakan KTP (kartu tanda penduduk) yang palsu,” tegas dia.

Agar tidak terjadi lagi pelanggaran, Zulficar mengaku, saat ini pihaknya sedang melakukan perbaikan melalui berbagai cara. Di antaranya, adalah peringatan, pembekuan, hingga pencabutan sesuai dengan Permen-KP No.30/2012. Selain itu, melakukan pengintegrasian Data Sharing System (DSS) seperti logbook, Vessel Monitoring System (VMS), dan sistem perizinan.

“Terakhir, melalui implementasi teknologi dan informasi pengurusan, serta penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan One Single Submission (OSS),” tutur dia.

Menurut Zulficar, dalam proses perizinan kapal, diperlukan usaha dari para pelaku usaha berkaitan dengan persyaratan yang sudah ditetapkan dan harus dipenuhi. Syarat yang dimaksud, seperti kepatuhan terhadap pelaporan laporan kegiatan usaha (LKU) dan laporan kegiatan penangkapan (LKP). Selain itu, perlu juga kepatuhan terhadap pelaksanaan log book penangkapan ikan, dan lain sebagainya.

“Kepatuhan dimaksud bukan hanya syarat-syarat tersebut harus ada, tetapi yang sangat penting secara materiil isinya harus lengkap dan benar,” jelas dia.

Bagi Zulficar, saat ini adalah momentum yang tepat untuk bisa memperbaiki keadaan dan mengubah illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) menjadi legal, reported, regulated fishing (LRRF). Dengan memahami proses itu, maka segala yang menjadi kewajiban bagi pemilik kapal, diharapkan bisa ditaati dan menjadi satu paket kepatuhan yang utuh.

“Dengan LRR fishing maka tidak ada lagi praktek-praktek penangkapan ikan yang dilarang sekaligus kita akan memiliki data dan informasi yang akurat sebagai sebagai bagian yang sangat penting dalam proses pengendalian pemanfaatan sumber daya serta penyusunan rencana dan kebijakan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version