Mongabay.co.id

Keluhkan Polusi PLTU, Warga Cilacap Lapor ke Kementerian Lingkungan

Warga Cilacap lapor ke KLHK atas pencemaran pemukiman mereka oleh operasi PLTU batubara. Mereka sudah aksi di pemerintah daerah tetapi tak mendapatkan respon serius. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Tolak… tolak… tolak PLTU! Tolak PLTU sekarang juga!”

Berkali-kali nyanyian ini berkumandang. Nyaring, memecah kebisingan suara mobil dan kendaraan bermotor yang lalu lalang melewati depan Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta, Kamis pekan lalu.

Puluhan orang ini dari Cilacap. Mereka serempak pakai kaos warna hitam bertuliskan “Cilacap Tolak Energi Kotor Batubara.” Sebuah spanduk panjang terbentang. Pun dengan berbagai tulisan senada. Beberapa orang bergantian memegang mikrofon bersuara lantang menyampaikan aspirasi.

Baca juga:  Derita Warga Cilacap Hidup Bersama Pembangkit Batubara

Kedatangan mereka ke Jakarta, didampingi Walhi mau melaporkan kasus ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena wilayah hidup terancam PLTU batubara. Asap dan debu dari PLTU PT Sumber Segara Primadaya (SSP), mereka bilang sudah mengganggu kebersihan dan kesehatan warga.

Riyanto, perwakilan Forum masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL) mengatakan, merasa hak mendapatkan lingkungan baik dan bersih terampas sejak PLTU SSP beroperasi.

“Sejak ada PLTU ini, mulailah ada permasalahan seperti pembuangan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun-red) yang saya khawatirkan. Penimbunan bottom ash maupun fly ash PLTU itu persis di pemukiman warga, di rumah kami,” katanya.

 

Aksi warga Cilacap dan Walhi di depan Gedung Manggala Wanabhakti. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Riyanto berasal dari Dusun Winong, Desa Slarang,  Kecamatan Kesugihan, Cilacap. Dusun ini salah satu daerah penyangga PLTU Cilacap. Ada 290 kepala total 877 jiwa. Mereka hidup bersebelahan dengan PLTU. Imbasnya, berbagai permasalahan lingkungan mengintai kehidupan mereka. Masalah kesehatan, kekeringan, kualitas lingkungan buruk juga mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka.

“Permasalahan ini kami rasakan sejak 2006. Saat pertama kali PLTU unit 2×300 MW berdiri,” katanya.

Saat ini, SSP punya beberapa PLTU batubara. Ada berkapasitas 2×300 MW, 1×660 MW, dan sedang ekspansi untuk membangun pembangkit berkapasitas 1×1.000 MW. Keberadaan pembangkit ini, katanya, menimbulkan limbah B3 yaitu fly ash dan bottom ash.

 

Timbun limbah B3 di ruang terbuka

Selama ini,  limbah B3 ditimbun begitu saja di tempat terbuka. Debu mengganggu masyarakat sekitar. Kondisi ini pula yang mendasari warga Winong melapor ke Dirjen Penegakan Hukum KLHK.

Berdasarkan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) PLTU Cilacap unit I dan II, limbah fly ash dan bottom ash sebesar 4.500 ton per bulan. Untuk PLTU unit III, belum diketahui.

Penimbunan debu itu, kata Riyanto, dilakukan SSP di lahan yang sebelumnya sawah produktif warga seluas 18 hektar. Karena gangguan limbah fly ash dan bottom ash, sawah rusak hingga dibeli SSP. Jarak penimbunan debu hanya 20 meter dari pemukiman warga. Itu ruang terbuka.

“PLTU membeli sawah warga. Sudah dibeli karena sawah itu juga sudah kurang produktif dampak limbah air panas PLTU. Air panas yang keluar ke lahan dan pesawahan warga. Hingga masuk ke sumur-sumur.”

Pada 27 Agustus, warga juga sudah aksi damai di Cilacap. Warga bertemu dengan Pemda Cilacap. Mereka dijanjikan bentuk tim investigasi mengusut ini. Sayangnya, hingga kini, tim belum terbentuk.

“Hari ini,  kami datang dari Cilacap menuntut keadilan. Saya meminta KLHK segera menindaklanjuti dengan membentuk tim investigasi untuk menegakan hukum di Winong yang dibuat PLTU itu.”

“Kami warga Winong,  terus terang, sedih lingkungan jadi kurang sehat. Saya ingin hidup sehat, hidup bersih. Seluruh warga juga ingin begitu.”

Fahmi Bastian, dari Walhi Jateng mengatakan, sudah ada aturan kalau penghasil limbah B3 wajib lakukan pengelolaan, seperti tercantum dalam Pasal 3 ayat 1 PP Nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Fakta lapangan, katanya, SSP justru menimbun limbah B3 di ruang terbuka.

“Kita melihat dari berbagai dokumen PLTU baik dari laporan neraca limbah, ternyata tidak ada izin. Laporan neraca itu tak ada. Sekadar pemanfaatan,” katanya.

 

Warga dan Walhi menyerahkan laporan ke bagian pengaduan Direktorat Penegakan Hukum KLHK. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Walhi juga mengecek ke KLHK, juga tak ada izin atas nama SSP. “Kita tak menemukan izin. Kalau  sesuai aturan, untuk penimbunan maupun pengelolaan limbah B3 itu kan izin dari KLHK. Kita cuma mendapatkan izin penyimpanan sementara dari bupati. Maka mengapa kita ke sini. Kita duga pengumpulan dan penimbunan besar limbah B3 bottom ash maupun fly ash ini tak berizin,” katanya.

Untuk itu, katanya, KLHK harus segera menindak tegas SSP karena tak mempunyai izin dumping ataupun pengolahan maupun penimbunan limbah B3.

“KLHK melalui Dirjen Gakum harus investigasi dugaan penimbunan dan pembuangan limbah B3 tak berizin ini. Memberikan sanksi administratif dan sanksi pidana sesuai UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup kepada PLTU Cilacap,” katanya.

Dia juga meminta Komnas HAM dan Komnas Perempuan menindaklanjuti laporan ini. “Komnas HAM dan Komnas Perempuan kami harap bisa memberikan rekomendasi sesuai kewenangan mereka.”

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Urban Walhi Nasional mengatakan, masalah warga Cilacap sudah berlangsung cukup lama. Bahkan, dampak pencemaran debu PLTU ini, sudah ada 300 rumah pindah.

“Lokasi dekat pemukiman warga. Ada juga perumahan itu sampai terusir. Penghuni pindah. Rumah-rumah dibeli PLTU karena debu tiap hari mengganggu warga di sana,” katanya.

 

Warga mengadu ke KLHK, karena pemukiman mereka di Cilacap terkena polusi dari PLTU. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Di Cilacap,  katanya, berdiri beberapa PLTU selain milik SSP, juga bakal dibangun berkapasitas 5.000 MW. Padahal, Pulau Jawa sedang mengalami surplus pasokan listrik.

“Terlalu banyak PLTU di Cilacap. Kemarin katanya yang 15.000 MW mau ditunda, seharusnya ini juga termasuk di Cilacap.”

Dia mendesak, KLHK bertindak atas keluhan ini karena sudah merugikan warga sekitar. Dia juga meminta ada upaya pemulihan lingkungan di sana.

“Limbah B3 ini ada yang sudah masuk ke air tanah.”

Walhi, katanya, sedang kajian air tanah. “Akhir tahun ini keluar hasilnya. Kita akan bandingkan air tanah di musim hujan dan musim kemarau.”

Chusnul Faridh, Kepala Seksi Pengaduan Kehutanan Dirjen Penegakan Hukum KLHK mengatakan, laporan ini akan ditindaklanjuti sesuai dengan prosedur Permen LHK 22 tahun 2017.

“Aduan ini kita terima untuk selanjutnya kita register. Nanti ditelaah dan ada verifikasi administrasi. Kita juga akan verifikasi lapangan hingga akan keluar rekomendasi untuk menentukan kasus ini seperti apa? Apakah cukup sanksi administrasi atau pidana? Tentu harus menunggu hasil telaah,” katanya.

Saat ini, dia belum bisa bicara banyak karena harus menelaah terlebih dahulu laporan ini. Biasa, katanya, secara aturan 30 hari pelapor akan mendapatkan kabar atau perkembangan kerja KLHK.

“Tetap kita informasikan ke pengadu progresnya.  Nanti pengadu bisa kontrol progres laporan sampai sejauh mana? Nanti mereka dapat nomor register, bisa melihat di website KLHK sejauh mana.”

 

Keterangan foto utama:    Warga Cilacap lapor ke KLHK atas pencemaran pemukiman mereka oleh operasi PLTU batubara. Mereka sudah aksi di pemerintah daerah tetapi tak mendapatkan respon serius. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version