Mongabay.co.id

Global Land Forum: Usaha Memastikan Hak Tanah Rakyat Terpenuhi

Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Global Land Forum (GLF) ke delapan akan berlangsung di Bandung, Jawa Barat, pada 24-27 September 2018. Setidaknya 550 peserta dari 84 negara mewakili organisasi masyarakat sipil, akademisi, badan PBB, lembaga pemerintah sampai berbagai kalangan masyarakat akan hadir. Acara hasil kolaborasi 12 masyarakat sipil Indonesia, ILC dan Pemerintah Indonesia ini bertema “United for Land Rights, Peace and Justice.” Kalangan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, menyuarakan beragam permasalahan agraria.

Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, dari GLF diharapkan menghasilkan Deklarasi Bandung sebagai acuan menyelesaikan berbagai permasalahan agraria baik di Indonesia maupun global.

Tujuan GLF, katanya, mempromosikan tata kelola pertanahan yang baik untuk mengatasi ketimpangan, kemiskinan, konflik agraria, kerusakan ekologis, HAM dan pembangunan pedesaan.

“GLF adalah ruang memeprtemukan para pihak, atau pemangku kebijakan. Tak hanya organisasi sipil, akademisi, juga pemerintah. Tentu kita harapkan semua pihak bisa duduk bersama dan menghasilkan deklarasi bersama, panduan bersama,” katanya, dalam temu media, Kamis (21/9/18) di Jakarta.

Pada Rabu (20/8/19), Presiden Joko Widodo resmi membuka soft launching GLF di Istana Negara. Dewi berharap, presiden bisa hadir di Bandung menyambut delegasi dari 84 negara yang akan hadir.

Indonesia, katanya, dipilih jadi tuan rumah GLF karena komitmen pemerintah dalam menjalankan reforma agraria mendapatkan respon positif dari kalangan internasional. Sebelumnya, GLF di Roma (Italia), Santa Cruz (Bolivia), Entebbe (Uganda), Kathmandu (Nepal), Tirana (Albania), Antigua (Guatemala), dan Dakkar (Senegal).

“Empat tahun perjalanan agenda reforma agraria pemerintahan Joko Widodo, realisasi tak hanya dinantikan masyarakat Indoensia, juga oleh komunitas global yang nanti akan hadir,’ katanya.

 

Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena , di hutan adat Marena yang masuk kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, hutan adat Marena yang masuk dalam taman nasional belum mendapatkan pengakuan penuh pemerintah sebagai hutan hak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Meski sudah ada kemajuan dalam reforma agraria, kata Dewi, masih ada kelemahan. Reforma agraria kini, belum menyentuh isu-isu konflik agraria di seluruh sektor baik perkebunan, kehutanan, tambang, pesisir kelautan, dan pembangunan infrastruktur. Termasuk isu-isu perkotaan, penggusuran, perampasan tanah, tumpang tindih klaim hak dengan masyarakat.

Perampasan tanah yang memicu konflik agraria di lapangan, katanya, hingga kini belum tersentuh agenda reforma agraria. Ada jutaan petani, masyarakat adat dan nelayan jadi korban konflik agraria.

 

Desak Perpres Reforma Agraria

Dewi juga mendesak, presiden segera menandatangani Perpres Reforma Agraria. “Kami menanti Perpres Reforma Agraria segera ditandatangani presiden. Kami mendukung presiden sesegera mungkin mengeluarkan keputusan politik bagi penyelesaian konflik agraria di tanah air,” katanya.

Dengan ada kebijakan, katanya, sekaligus memastikan pendekatan-pendekatan keamanan seperti mengkriminalkan dan represif kepada masyarakat di wilayah konflik.

Dia juga mendesak pemerintah merealisasikan redistribusi tanah-tanah terlantar, bekas hak guna usaha (HGU) habis masa berlaku, tanah perkebunan BUMN berupa garapan rakyat, serta perkampungan maupun tanah di kawasan hutan negara.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, tujuan GLF mengangkat permasalahan-permasalahan agraria di Indonesia. Meskipun pemerintah mencanangkan perhutanan sosial dan reforma agraria, tetapi masih sangat lamban.

“Terutama Perpres Reforma Agraria yang jadi payung. Ini penting mengingat tahun depan sudah memasuki tahun politik. Kami dari kalangan masyarakat sipil tak ingin agenda reforma agraria ini berhenti,” katanya.

 

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat Wonilai, Papua, tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

GLF, katanya, bisa jadi wadah saling belajar antara gerakan agraria di Indonesia dan berbagai negara.

Dalam gelaran ini, peserta mendatangi lima lokasi untuk belajar perjuanan keadilan agrarian, yakni Kasepuhan Karang (Banten), Rammang-rammang (Maros-Sulsel), Pulau Pari (Jakarta), Desa Tanjung Karang (Tasikmalaya) dan Taman Nasional Halimun Salak.

Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, GLF ini sangat penting bagi gerakan masyarakat adat karena menyangkut hak tanah dan keadilan.

“Sejarah pembangunan Indonesia diwarnai kekerasan, perampasan tanah, kemiskinan. Orang harus pergi dari tanah leluhurnya bahkan banyak saat ini belum resmi sebagai warga Negara,” katanya.

Dia bilang, meskipun ada perkembangan dalam pelaksanaan reforma agraria, tetapi masih ada kebijakan menyulitkan masyarakat adat.

“Kalau kita lihat mekanisme pengakuan amsyarakat adat, atau pengakuan hak wilayah itu ada di daerah. Jalur jadi hutan adat harus ada perda. Jalurnya Kementerian ATR harus ada inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,” katanya.

Persoalan terbesar, katanya, soal tanah ada di dua kementerian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk kawasan hutan dan Kementerian ATR/BPN untuk non hutan. Dalam hal pengakuan wilayah adat, kedua kementerian, katanya, mempunyai mekanisme berbeda.

“Kami menuntut reforma agraria sejati. Kalau kita bicara di KATR/BPN, tak punya mekanisme sama sekali soal wilayah-wilayah adat bisa diakui haknya. Di Kemendagri yang ditunjuk presiden jadi wali data peta wilayah adat juga tak bias apa-apa,” katanya

Di KLHK, katanya, sudah ada kemajuan. Ada sekitar 30.000-an ribu hektar wilayah adat diakui. Meskipun, katanya, untuk mencapai itu harus melalui jalan rumit.

Mike Taylor, Direktur International Land Coalition (ILC) mengatakan, Indonesia jadi tuan rumah GLF, karena presiden membuat janji ambisius soal reforma agraria dan kehutanan. Ada banyak Negara, katanya, juga melakukan reforma agraria antara lain Afrika Selatan dan Kolombia.

Negara-negara itu, katanya, berkomitmen mengambil tindakan guna menghentikan konflik pertanahan. Di dunia, katanya, ada dua miliar penduduk memiliki tanah. Hanya 2% mempunyai kontrol hukum terhadap tanah.

“Ini berarti empat dari lima masyarakat lokal terancam terampas tanahnya. Mereka yang berusaha mempertahankan tanah disebut pejuang lingkungan hidup.”

Indonesia, katanya, jadi sangat mencolok karena Presiden Joko Widodo berambisis melakukan ini.

Jokowi canangkan angka begitu besar—12,7 juta hektar untuk reforma agraria dan, perhutanan sosial dan 9 juta hektar distribusi lahan—untuk reforma agraria. “Kami mengucapkan selamat kepada Presiden Joko Widodo karena sudah jadi program reforma agraria agenda politik.”

Bambang Supriyanto, Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK menyebutkan, GLF merupakan agenda penting. Lewat gelaran itu, KLHK akan menyempaikan kebijakan reforma agraria dan capaian yang berjalan.

Pemerintah menyadari terjadi ketimpangan kuasa lahan. Dari 120-an juta hektar hutan di Indonesia, 42 juta hektar dalam konsesi HPH, HTI, dan lain-lain. Untuk rakyat hanya 0,4 juta hektar (2%).

Pemerintah, katanya, melalui kebijakan land reform menargetkan 12,7 juta hektar guna meningkatkan proporsi dari 2% jadi 30%. Dia tak pungkiri capaian perhutanan sosial terbaru baru 1,9 juta hektar.

Kemudian, ada tanah obyek reforma agrarian (tora) berupa legalisasi aset dan redistribusi lahan dengan target 9,1 juta hektar.

Untuk KLHK, berhubungan dengan redistribusi lahan 4,1 juta hektar. Sertifikasi lahan di KATR/BPN 4 juta hektar. Di dalam konteks hutan, target 4,1 juta hektar, baru terealiasi 970.000 hektar pelepasan untuk kepentingan masyarakat.

 

Keterangan foto utama:     Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Plang Hutan Adat Bukan Hutan Negara di Kasepuhan Karang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version