Mongabay.co.id

Peringatan Hari Tani 2018: Sulsel Darurat Agraria

Pagi itu, ratusan massa berkumpul di bawah fly over Makassar, Sulawesi Selatan, dari berbagai penjuru. Mereka membawa atribut dari organisasi masing-masing kemudian secara bersama melakukan long march menuju Kantor Gubernur Provinsi Sulsel di Jalan Urif Sumoharjo.

Secara bergantian mereka berorasi menuntut perhatian pemerintah terhadap berbagai kasus agraria yang terjadi di Sulsel selama ini dan menuntut janji Nawacita Presiden Jokowi.

Aksi pagi itu adalah bagian dari peringatan Hari Tani Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 September. Dan bertepatan dengan hari lahir UU Pokok Agraria No.5/1960 yang ke-58 tahun.

Para peserta aksi berasal dari sejumlah organisasi masyarakat sipil di Sulsel, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria. Antara lain: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulsel, Federasi Petani Sulsel, Walhi Sulsel, Kontras Sulsel, LBH Makassar, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, ACC Sulsel, LAPAR Sulsel, Perak Institut, Jalin Institute, Esel Sulawesi, SJPM, Serikat Anak Bangsa, BEM Fisip UNM, DEMA FEBI UIN, HMJ Ilmu Hukum UIN, Komunal, PMII Rayon FAI UMI, HMI Komisariat Ekonomi UNI, Formakar, Lesbumi, Simposium dan Cara Baca.

baca : Suram, Potret Lingkungan Hidup 2017 di Sulsel

 

Ratusan orang dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa di Sulsel memperingati Hari Tani Nasional melalui aksi long march dan orasi di depan Kantor Gubernur Sulsel, Senin (24/9/2018). Mereka menilai Sulsel sudah darurat agraria. Foto: Indarto/Mongabay Indonesia.

 

Ahmad Maulana, Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria, menjelaskan bahwa amanat UUPA 1960 bertujuan merombak ketimpangan struktur penguasaan tanah warisan kolonialisme dan mewujudkan keadilan atas penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia.

Sayangnya, selama 58 tahun pula produk hukum ini dinilai tak dijalankan, dan semakin jauh dari harapan masyarakat Indonesia. Khususnya untuk kaum tani yang tak bertanah (landless) dengan agenda landreform dari bawah oleh rakyat atau penggarap.

“Berbagai rezim berlalu, pemimpin negara silih berganti, namun tak satupun yang berkehendak mewujudkan UUPA 1960 ini,” katanya.

Ia juga menilai agenda Nawacita Jokowi yaitu Reforma Agraria dengan Program Redistribusi Tanah 9 Juta Hektar melalui Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) tidak lebih dari program sertifikasi dan legalisasi yang semakin memperlihatkan tidak kuatnya kemauan politik pemerintah.

baca juga : Terjadi Ketimpangan Struktur Agraria di Sulsel, Ini Tuntutan Aliansi Masyarakat Sipil

 

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria menilai agenda Nawacita Jokowi yaitu Reforma Agraria dengan Program Redistribusi Tanah 9 Juta Hektar melalui Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) tidak lebih dari program sertifikasi dan legalisasi yang semakin memperlihatkan tidak kuatnya kemauan politik pemerintah. Foto: Indarto/Mongabay Indonesia.

 

“Saat ini lebih dari 90 persen data usulan masyarakat masih dalam status sengketa. Dari sisi pelaksanaan, tercatat redistribusi tanah yang berasal dari HGU habis, tanah terlantar, dan tanah negara lainnya sejak tahun 2015 hanya seluas 182.750 hektar. Redistribusi melalui transmigrasi sejak 2015 tercatat hanya 32.146 hektar. Sementara redistribusi melalui pelepasan kawasan hutan masih belum terlaksana sejauh ini.”

Justru, lanjutnya, legalisasi aset melalui proses sertifikasi yang menunjukkan kemajuan signifikan yakni seluas 609.349 hektar hingga 2015 tanpa melihat sisi penguasaan tanah terlebih dahulu.

“Artinya kebijakan ini justru melegitimasi ketimpangan penguasaan tanah,” ujarnya.

Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator KPA Wilayah Sulsel, menjelaskan bahwa agenda Reforma Agraria saat ini belum mampu menjadi resolusi untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria. Pada 2017 saja terdapat 659 kejadian konflik agraria dengan luasan 520.491,87 Ha dan melibatkan 652.738 KK.

“Konflik agraria dipicu oleh kebijakan pemerintah yang lebih berpihak terhadap korporasi dan pemilik modal, dengan pola merampas tanah-tanah rakyat melalui mekanisme regulasi, pelibatan aparat kepolisian dan TNI sehingga melahirkan konflik agraria bersifat struktural, kronis dan masif serta menyebabkan ketimpangan struktur penguasaan tanah yang tinggi,” katanya.

Saat ini di Sulsel, dari sekitar 4 juta hektar luas daratan yang ada, sekitar 2.7 juta hektar wilayah yang masuk dalam kawasan hutan. Luas HGU sebesar 347.653,996 hektar di mana BUMN menguasai 503,56 hektar, sedangkan swasta menguasai seluas 347.150,436 hektar.

Total luas HGU perkebunan seluas 218.833,72 hektar, 3 BUMN menguasai 70.807,73 hektar dan 40 BUMS seluas 148.025,99 hektar.

menarik dibaca : Sengkarut PTPN di Enrekang, Konflik pun Bakal Berlarut

 

 

“Dari total 3.030 desa terdapat 1.028 desa maupun kelurahan yang berada dalam kawasan hutan, sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya dengan mengelola tanah atau sumber daya hutan,” katanya.

“Ekspansi perkebunan sawit seluas 54.132,94 hektar oleh PTPN IX di Luwu Timur, Luwu Utara, Enrekang dan Wajo. Dan 3 Perusahaan swasta yaitu PT. Borneo Cemerlang Plantations di Enrekang, PT. Sinar Reksa Kencana dan PT. Sumber Utama Sejahtera di Wajo,” tambahnya.

Konsesi lahan untuk pembangunan infrastruktur berupa 21.928 hektar untuk bendungan sungai dan irigasi Baliase di Luwu Utara. Bendungan Tabo-Tabo di Pangkep seluas 7.483 Ha. Di Bantaeng dialokasikan 3.000 hektar untuk PLTU 2×300 MW dan Smelter Nikel. Kawasan metropolitan Mamminasata di Maros seluas 2.300 hektar dan 2.165 hektar, di mana 365 hektar merupakan milik negara dan 1.800 hektar milik masyarakat. Untuk bendungan Passelloreng di Wajo, total konsesi lahan untuk pembangunan infrastruktur seluas 36.876 hektar.

Dari sektor pertambangan, dari total 274 pemegang Izin Usaha Pertambangan menguasai luasan 655.086,66 Ha. 228 IUP dimiliki oleh perusahaan dan 46 IUP dipegang oleh individu.

“Dari 228 perusahaan hanya 50 perusahaan yang menguasai lahan sebesar 631.758,86 hektar. Artinya, hanya 18,24 persen perusahaan pemegang IUP menguasai 96,43 persen lahan pertambangan di Sulsel.”

baca juga : Sulawesi Alami Krisis Ruang, Tambang Mendominasi

 

 

Indarto dari Federasi Petani Sulsel menjelaskan bahwa total konsesi pada sektor kehutanan seluas 347.653,996 hektar, sektor pertambangan 655.086,66 hektar. Di sektor perkebunan 218.833,72 hektar dan untuk pembangunan infrastruktur mencapai 36.876 hektar, sehingga total alokasi ruang untuk 4 sektor adalah 1.258.450,376 hektar.

“Sementara jumlah rumah tangga petani gurem di Sulsel sebesar 338.108 dari total 950.241 RTP, artinya ada 35 persen RTP yang penguasaan lahannya di bawah 1.000 m2.”

Terdapat 37 kasus kriminalisasi atas petani dan pejuang agraria di sejumlah daerah, antara lain di Kab. Takalar, Gowa dan Soppeng pada kurun waktu dari tahun 2016 sampai 2018.

“Berbagai gambaran penguasaan lahan tersebut dinilai aliansi sebagai bentuk ketimpangan yang cukup besar dan bisa dikatakan dalam kondisi darurat agraria,” katanya.

baca : Warga Kajang Hadang Alat Berat PT. Lonsum di Bulukumba. Ada Apa?

 

 

Menurut Ahmad, berbagai kondisi ini menjadi alasan kuat bagi aliansi untuk mendesak dan menuntut komitmen Presiden Jokowi, Gubernur Sulawesi Selatan dan Bupati atau Walikota se-Sulawesi Selatan agar menjalankan visi misi pembangunan dengan tidak memfasilitasi pemilik modal dan korporasi besar dan lebih berpihak kepada petani, nelayan, buruh dan kelompok-kelompok rentan lainnya.

Mereka kemudian menyampaikan sembilan tuntutan kepada pemerintah, antara lain: Pertama, mendesak pemerintah mewujudkan reforma agraria sejati sesuai amanat UUPA No.5 Tahun 1960 yang berkeadilan gender tanpa intervensi IMF dan World Bank.

Kedua, aliansi meminta pemerintah mencabut UU Sektoral dan RUU yang tidak sejalan dengan UUPA N0.5 tahun 1960. Ketiga, pemerintah diminta menghentikan proyek-proyek infrastruktur yang merampas ruang hidup rakyat.

“Tuntutan keempat, kami mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk segera menyelesaikan konflik agraria.”

Tuntutan kelima, aliansi meminta adanya evaluasi dan cabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) yang merampas ruang hidup rakyat.

Tuntutan keenam, pemerintah dituntut menuntaskan kasus-kasus korupsi terkait pengelolaan sumber daya alam (PSDA) dan ketujuh, agar menghentikan kriminalisasi, intimidasi dan diskriminasi terhadap pejuang-pejuang agraria dan lingkungan.

“Kami juga menuntut agar pemerintah melibatkan rakyat secara partisipatif dalam segala bentuk perencanaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria, serta segera kembalikan ruang hidup rakyat yang telah dirampas.”

 

Exit mobile version