Mongabay.co.id

Akselerasi Perlindungan Laut untuk Kesejahteraan Masyarakat, Seperti Apa?

Pemerintah Indonesia sukses melakukan akselerasi target kawasan perlindungan laut (marine protected areas/MPA) di seluruh provinsi pada 2018 ini. Dari target semula dicanangkan pada 2020, Pemerintah sukses mencapai target seluas 20 juta hektare pada 2018, atau dua tahun lebih cepat. Percepatan itu dilakukan, demi penyelenggaraan Our Ocean Conference 2018 (OOC 2018) yang digelar di Bali, Oktober mendatang.

Direktur Keanekaragaman Hayati Laut Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Andi Rusandi di Jakarta, menjelaskan, luasan kawasan konservasi perairan (KKP) yang sudah berhasil ditetapkan pada 2018 jumlahnya mencapai total 20,87 juta ha. Luasan itu terdiri dari 172 lokasi yang tersebar di hampir semua provinsi.

Dari jumlah tersebut, Andi menyebutkan, lebih dari 140 lokasi adalah KKP daerah (KKPD) dan masuk dalam pengelolaan provinsi. Sementara, sisanya dikelola langsung oleh KKP mewakili Pemerintah Indonesia. Semua lokasi itu, ada di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang menyebar di semua provinsi.

“Jadi, setiap WPP itu ditargetkan bisa memiliki KKP atau KKPD minimal 10 persen dari total luasan yang ada. Saat ini, kita bekerja keras untuk bisa mewujudkannya,” ucapnya kepada Mongabay, Kamis (27/9/2018).

baca :  Mampukah Indonesia Capai Target 20 Juta Hektare Kawasan Konservasi Laut Tahun 2018?

 

Keindahan Kawasan Konservasi Laut di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto: The Nature Conservancy/Mongabay Indonesia

 

Dengan perhitungan secara umum, Andi mengatakan, agar target di semua WPP bisa tercapai dengan luasan minimum 10 persen, maka pada 2030 ditargetkan luasan KKP atau KKPD sudah mencapai total luas 30 juta ha. Tetapi, tidak seperti target 20 juta, untuk mencapai 30 juta tidak akan dilakukan akselerasi.

“Kita akan mencapainya dengan perlahan, tapi pasti. Kita sekarang sudah mencapai 20 juta. Jadi kita akan melaksanakannya sembari melakukan penguatan kepada lokasi yang sudah ada. Itu juga proses yang tidak mudah dan harus bekerja keras dari kita semua,” jelasnya.

 

Rawan Konflik

Menurut Andi, mempertahankan lokasi yang sudah ada, memang dinilainya menjadi tugas yang sangat berat yang harus dihadapi oleh Pemerintah. Fakta itu harus dihadapi, karena lokasi KKP atau KKPD akan berkaitan dengan banyak hal, termasuk sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan budaya. Oleh itu, akan sangat rawan muncul berbagai konflik yang tidak bisa dihindari oleh siapapun.

Untuk bisa mengelola KKP atau KKPD yang sudah ditetapkan melalui surat keputusan (SK) Menteri Kelautan dan Perikanan, Andi menambahkan, perlu dilakukan berbagai cara dengan melibatkan masyarakat pesisir yang ada di sekitar KKP atau KKPD. Pelibatan masyarakat, menjadi sangat penting karena keberadaan mereka akan membawa perubahan pada KKP atau KKPD.

“Yang bisa merawat lokasi KKP atau KKPD, itu hanya masyarakat setempat. Kalau Pemerintah, itu sifatnya hanya inisiator saja. Walau sudah ada SK ataupun regulasi lain, tetap saja akan ‘mentah’ jika masyarakat sekitar tidak mendukungnya,” tuturnya.

baca juga :  Pengunjung Kawasan Konservasi, Jadi Penyelamat Sekaligus Perusak. Bagaimana Mengaturnya?

 

Seekor penyu belimbing (Dermochelys coriacea) kembali ke laut setelah bertelur di kawasan Taman Pesisir Jeen Womom, Tambrauw, Papua Barat. Jeen Womom ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) berbentuk Taman Pesisir untuk wilayah konservasi utama bagi 6 jenis penyu yang ada di Indonesia. Foto : WWF-Indonesia / Mongabay Indonesia

 

Secara keseluruhan, Andi mengungkapkan, Pemerintah menetapkan KKP atau KKPD, tidak lain karena kawasan perairan laut harus mendapat perlindungan penuh untuk memastikan keberlanjutan di masa mendatang. Perlindungan itu, mendapat perlakuan yang sama untuk semua kawasan, termasuk yang ada di Indonesia bagian Barat ataupun Timur.

“Jadi, laut di bagian Barat itu sudah mengalami kerusakan parah, ini jadi tantangan berat. Kalau di Timur, kondisinya walau ada yang rusak, tetapi tidak seperti di Barat. Inilah yang membuat kami harus bekerja keras untuk memberikan perlindungan,” jelasnya.

Mengingat pentingnya keberadaan KKP atau KKPD, Andi meminta semua pihak untuk bisa ikut menjaga dan melindungi kawasan perairan laut yang sudah ditetapkan. Tanpa ada KKP atau KKPD, akan ada ancaman serius kehilangan sumber daya laut untuk masyarakat Indonesia. Ancaman itu, akan berdampak pada kesulitan warga untuk mengakses sumber daya laut secara langsung.

“Kiamat namanya kalau tidak ada MPA. Harga ikan juga akan sangat mahal,” katanya.

baca juga :  Catatan Akhir Tahun : Seberapa Penting Konservasi Laut untuk Industri Perikanan dan Kelautan?

 

Nelayan menangkap ikan di perairan di kawasan konservasi Pulau Namatota, Kabupaten Kaimana, Papua Barat yang termasuk Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KPPD) Kaimana. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Dari semua WPP yang sudah ada, Andi mengatakan, WPP 715 tercatat menjadi lokasi yang paling tinggi persentase kawasan konservasi laut. Dari seluruh luasan yang ada, WPP 715 sudah mencapai 8,17 persen luasan KKP atau KKPD. Seperti dijelaskan di atas, untuk setiap WPP, Pemerintah menargetkan bisa menetapkan KKP atau KKPD sebesar 10 persen dari total luasan yang ada.

“Itu berarti tinggal 1,83 persen saja kawasan konservasi yang harus ditambah di WPP 715 dari total 47,5 hektare yang ada. Di WPP 715 sendiri terdapat 22 kawasan konservasi dengan luas total mencapai 3.884.826 hektare,” jelasnya.

Menurut Andi, luasan kawasan konservasi yang ada di WPP 715 mengalami peningkatan besar dibandingkan pada 2013 atau lima tahun silam. Saat itu, kawasan konservasi di WPP 715 luasnya hanya mencapai 2.439.650 hektare atau baru mencapai 5,11 persen.

Diketahui, WPP 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau. Semua perairan itu ada di enam provinsi berikut, yaitu Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat.

Selain di WPP 715, Andi menyebutkan, kawasan konservasi juga ditemukan di 10 WPP lainnya. Hanya sayang, saat ini masih ada beberapa WPP yang luasannya masih di bawah 1 persen. Mereka adalah, WPP 571 yang mencakup perairan Selat Malaka dan Laut Andaman, 712 yang mencakup perairan Laut Jawa, dan 718 mencakup Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.

baca :  Indonesia Hadapi Tantangan Besar Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut, Seperti Apa?

 

Keragaman hayati perairan Kabupaten Alor, yang begitu kaya harus terjaga, dengan tetap dimanfaatkan tapi memperhatikan keberlanjutan. Kawasan Konservasi Perairan Daerah Alor pun diharapkan segera memperoleh persetujuan Menteri Kelautan dan Perikanan. Foto: WWF-Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Pesisir

Di tempat sama, Direktur Coral Triangle Center Rili Djohani, menyoroti keberadaan KKP atau KKPD yang saat ini sudah mencapai 20 juta ha luasnya. Bagi dia, luas tersebut bisa mendorong kesadaran masyarakat pesisir untuk melaksanakan konservasi di laut. Untuk itu, keberadaan masyarakat harus selalu dilibatkan dalam melaksanakan perlindungan kawasan laut.

Pentingnya melibatkan masyarakat, menurut Rili, tidak lain karena kemampuan masyarakat untuk menyerap informasi dan menerapkannya dalam upaya perlindungan laut, hingga saat ini masih sangat lemah. Untuk mengatasinya, perlu diberikan pelatihan yang bisa meningkatkan kapasitas mereka. Dengan demikian, keterlibatan masyarakat, akan terasa lebih berfungsi dengan baik.

“Keberadaan 20 juta hektare kawasan perlindungan laut harus bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Bagaimana ke depan, 20 juta hektare ini bisa menjadi ekonomi biru bagi masyarakat. Bisa menghasilkan uang, tapi juga tetap menjaga ekosistemnya dengan baik,” ucap dia.

Rili mencontohkan, Taman Nasional Taka Bonerate yang ada di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, memiliki kekayaan laut yang luar biasa. Akan tetapi, keberadaannya belum bisa memberikan manfaat lebih banyak kepada warga di sekitarnya, karena akses menuju Taka Bonerate hingga saat ini masih susah.

Fakta itu, berbeda dengan kawasan Raja Ampat yang ada di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Meski sama-sama memiliki kekayaan laut yang sama bagusnya dengan Taka Bonerate, namun Raja Ampat memiliki nasib lebih beruntung, karena bisa diakses dengan lebih baik oleh publik. Oleh itu, keberadaan Raja Ampat memberikan manfaat sangat banyak bagi masyarakat sekitarnya.

“Walau setiap kawasan belum memberikan manfaat sebagus Raja Ampat, tetapi perlindungan kawasan laut harus terus dilakukan. Tanpa MPA, maka Indonesia akan kehilangan terumbu karang yang menjadi tempat berkembangnya ikan. Bisa jadi, pada 2050 nanti juga plastik akan mendominasi laut Indonesia jika tidak ada MPA,” paparnya.

 

Pulau Rajuni sebagai salah satu pulau di Kawasan TN Takabonerate hingga kini masih marak terjadi destructive fishing. Kerap terjadi konflik antara nelayan dan petugas patroli TN Takabonerate. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Berkaitan dengan kawasan perlindungan penuh (no take zone) yang selalu ada dalam KKP atau KKPD, Rili meminta Pemerintah dan juga para mitra yang melaksanakan konservasi, untuk bisa menyediakan mata pencaharian alternatif bagi warga yang biasa bekerja di laut. Mata pencaharian alternatif harus ada, karena akan meredam konflik saat satu kawasan perairan dilarang untuk dimanfaatkan secara penuh.

Hal senada tentang pemanfaatan KKP atau KKPD, juga diungkapkan Direktur Bird Head Seascape Meity Mongdong. Menurut dia, keberadaan MPA menjadi sangat penting karena itu bisa melindungi banyak aspek kehidupan yang ada di kawasan pesisir. Tak hanya itu, MPA juga bisa memastikan keberadaan ikan untuk jangka waktu yang panjang.

“Tetapi, yang jadi persoalan adalah bagaimana mengelola MPA dengan baik. Perlu inovasi yang dilakukan pemimpin di daerah tempat MPA itu berada. Selain itu, perlu juga dilakukan kemitraan seperti yang sudah ada di Papua Barat. Dengan demikian, pengelolaan dan pemanfaatannya akan lebih baik lagi,” ujarnya.

 

Exit mobile version