Mongabay.co.id

Ini Harapan Masyarakat Sipil untuk Gubernur Sulsel yang Baru

Empat pasang cagub Sulsel cenderung bermain safety atau bermain aman, dengan misalnya tidak mengangkat masalah reklamasi di pantai Makassar untuk pembangunan Center Point of Indonesia (CPI). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Isu lingkungan hidup telah menjadi sorotan sejak masa kampanye calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Dalam debat pertama, meski isunya terkait PSDA namun seluruh calon, termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman sekarang belum secara eksplisit menjelaskan komitmen mereka terkait pembangunan yang berkelanjutan. Lebih banyak menyoroti isu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel telah dilantik oleh Presiden RI pada 5 September 2018 lalu bersama 8 gubernur lainnya. Merek segera menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk lima tahun mendatang.

Sebelum pembahasan RPJMD ini dirampungkan, masyarakat sipil berupaya mendorong agar isu lingkungan hidup bisa tercermin pada kebijakan gubernur mendatang. Untuk itulah kemudian dilaksanakan diskusi bertema “Masyarakat Sipil untuk Sulsel Hijau”, kerjasama Mongabay Indonesia, Walhi Sulsel, Kampung Buku, Jalin Institute dan Geraderi, di Kampung Buku, Makassar, Minggu (9/9/2018), dihadiri antara lain oleh aktivis lingkungan, politisi, jurnalis, dan mahasiswa.

baca : Isu Lingkungan Tidak Menjadi Perhatian Utama Para Cagub Sulsel

 

Diskusi bertema “Masyarakat sipil untuk Sulsel Hijau”, kerjasama Mongabay Indonesia, Walhi Sulsel, Kampung Buku, Jalin Institute dan Geraderi, di Kampung Buku, Makassar, Minggu (9/9/2018), dihadiri antara lain oleh aktivis lingkungan, politisi, jurnalis, dan mahasiswa. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Muhammad Al Amin, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, peluang untuk memberi masukan kepada rezim pemerintahan yang baru terbuka lebar dan itu telah disampaikan secara terbuka oleh Ketua Tim Transisi Gubernur beberapa waktu lalu.

“Tim Transisi ini telah menyatakan komitmennya untuk membuka peluang bagi teman-teman CSO terlibat dalam penyusunan RPJMD. Makanya, kita harus punya bahan dan rekomendasi yang baik untuk dimasukkan dalam perencanaan pembangunan daerah beserta orang-orang yang dapat diusulkan masuk dalam tim tersebut,” ungkap Amin.

Menurut Amin, salah satu isu krusial yang harus didorong pada pemerintahan baru ini terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) yang belum tuntas.

“Ini yang perlu kita perhatikan, bagaimana menyinkronkan antara RTRW provinsi dengan rencana zonasi provinsi agar dapat berpihak ke lingkungan dan masyarakat,” katanya.

baca juga : Komitmen Lingkungan Para Cagub Sulsel Dipertanyakan. Kenapa?

 

Salah satu perairan di Sulawesi Selatan. Perda Zonasi ini seharusnya tidak sekedar untuk kepastian hukum namun lebih penting memberi jaminan perlindungan kepada nelayan tradisional yang ada di pesisir Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Amin juga menyinggung perlunya kapasitas sumber daya Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait pemahaman akan isu lingkungan hidup.

“Banyak di Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, atau yang terkait dengan sumber daya alam tidak mengetahui tentang pembangunan berkelanjutan.”

Hal lain disampaikan Amin terkait Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) yang akan segera dirilis pemerintah yang harus dipastikan, apakah partisipatif atau tidak.

“Perlu ada rekomendasi bahwa Kebijakan Satu Peta dilakukan secara partisipatif oleh pemerintahan yang baru ini.”

Asmar Exwar, aktivis lingkungan yang juga mantan Direktur Walhi Sulsel, menjelaskan banyaknya masalah terkait sumber daya alam di sektor kehutanan. “Hutan biasanya dilihat dari ‘koheren tutupan’, tetapi kenyataannya tidak seperti itu karena banyaknya kampung yang masuk dalam kawasan hutan atau sebaliknya,” tambahnya.

Menurutnya, salah satu masalah terkait hutan yang masuk dalam faktor jasa lingkungan adalah ekowisata. “Di Sulawesi Selatan di Kabupaten Soppeng dan Enrekang banyak sekali kasus tetapi tidak muncul. Belum lagi soal lahan pertanian atau perkebunan yang masuk dalam kawasan hutan lindung.”

menarik dibaca : Sengkarut PTPN di Enrekang, Konflik pun Bakal Berlarut

 

Perusakan sawah menggunakan alat berat di Maroangin, Maiwa, Enrekang, Sulsel. PTPN XIV berdalih bahwa lahan sekitar kawasan bisa digunakan warga untuk pertanian, selain untuk sawah. Foto: Safar/Mongabay Indonesia

 

Asmar juga menyoroti kebijakan pemerintah terkait energi. Menurutnya, energi memang dibutuhkan namun tak boleh abai pada aspek lingkungan dan manusia yang ada di sekitar lokasi sumber energi yang akan dibangun.

“Bendungan untuk PLTA mungkin bagus untuk energi, tetapi dampaknya mungkin akan menenggelamkan kampung, area persawahan, dan lain sebagainya. Ini juga menjadi sebuah problem karena mengubah bentang alam.”

Ditambahkan Asmar, terkait pembangunan dalam kaitannya dengan kebijakan PSDA, aspek kebijakan payung hukum sangat penting. Selama ini pelaksanaannya cenderung tidak didukung oleh payung hukum.

“Meskipun ada rencana pembangunan, tetapi pembangunan itu akan diarahkan ke mana dan ruangnya di mana? Misalnya dalam pembangunan pesisir yang harusnya memakai zonasi, selama ini tidak ada. Kabupaten dulunya ada, tetapi wilayah provinsi tidak ada. Jadi bisa dikatakan pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil cantolannya belum ada,” katanya.

Masri Tajuddin, peserta diskusi lainnya, memaparkan pentingnya menggali kembali kearifan lokal masyarakat dalam menjaga hutan dan lingkungan sekitarnya. Aktivitas ekonomi seharusnya tidak mengganggu kelestarian lingkungan yang ada di sekitarnya.

“Secara kultural, masyarakat sebenarnya mempunyai pola tersendiri yang berbasis lingkungan. Sebagai contoh, nelayan di Danau Tempe setiap hari Jumat tidak boleh mencari ikan, secara tidak langsung memberi alam kesempatan melakukan pemulihan. Hal ini juga dapat dimunculkan untuk diadopsi sebagai kebijakan pemerintah dalam mendorong kearifan lokal sebagai salah satu solusi dalam pengelolaan lingkungan,” katanya.

baca : Danau Tempe, Danau Purba yang Mengalami Banyak Masalah. Apa Saja?

 

Banyak masalah mendera Danau Tempe, dari eceng gondong, pendangkalan sampai pencemaran. Sumber foto: Syafruddin/Mongabay Indonesia

 

Masri juga menilai tantangan memajukan isu lingkungan di daerah karena ketidakmampuan mereka dalam memahami isu-isu lingkungan.

“Isu lingkungan yang dipahami hanya soal pengelolaan hutan misalnya, padahal nyaris semua sektor terkait dengan lingkungan, karena terkait dengan daya dukung alam.”

Sejalan dengan isu rencana gubernur terpilih akan melakukan audit terkait dengan proyek Center Point of Indonesia (CPI), menurut Masri, harus rekomendasikan pada aspek lingkungan dengan pendekatan manusianya, misalnya bagaimana warga Makassar kemudian dapat menikmati pantai, karena reklamasi sudah telanjur.

Sedangkan Nurdin Amir, dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, menyampaikan hasil wawancaranya bersama Gubernur terpilih setelah serah terima jabatan.

Menurutnya, Gubernur terpilih ini ramah investasi, khususnya investasi untuk pelayanan publik, terutama pembangunan infrastruktur ke daerah-daerah terpencil. Ada beberapa daerah sasarannya, seperti Luwu, Toraja, dan Selayar. Khusus untuk sektor perkotaan, fokusnya ke tata kelola kota. “Ini harus diawasi.”

Nurdin juga menjelaskan komitmen gubernur baru dalam menyelesaikan kasus reklamasi, sebagai warisan pemerintahan sebelumnya, yang masih belum rampung.

“Akan ada upaya audit, begitu dikatakan Pak Gubernur. Kalau pembangunan reklamasi ini tidak diaudit dan kemudian ada masalah maka Gubernur sekarang bisa saja dianggap melanggar undang-undang terkena pasal ‘ikut serta’.”

menarik dibaca : Tolak Reklamasi Pantai Losari, Walhi Gugat Gubernur Sulsel ke PTUN

 

Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Juga dibahas tentang dampak dukungan swasta dalam bentuk modal kepada Gubernur terpilih, yang diwaspadai karena akan berimplikasi pada kepentingan-kepentingan ekonomi berupa investasi dalam skala luas.

“Ini mungkin yang harus dikawal. Bagaimana kemudian ‘hal baik’ dari investasi ini tidak begitu eksploitatif terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Jangan sampai dengan munculnya modal ini, ada bargaining kepentingan, misalnya soal sawit atau tambang. Hal ini dapat membahayakan apabila tidak ada batas perizinan yang dilakukan pemerintah, atau setidaknya ada transparansi dalam hal perizinan investasi,” ungkap Wahyu Chandra dari Mongabay.

Beberapa kesimpulan dan sekaligus rekomendasi dari diskusi ini antara lain: pertama, agar pembangunan Sulsel untuk lima tahun mendatang lebih pro-lingkungan dan pro-masyarakat. Kedua, pemerintahan yang baru diharapkan lebih transparan, dan partisipatif dalam setiap kebijakan yang ada, termasuk dalam pembahasan perizinan untuk proyek-proyek besar yang bisa berimplikasi luas pada kualitas lingkungan.

Ketiga, Gubernur yang baru diharapkan menepati janjinya bahwa pembangunan di Sulsel tidak menjadikan sawit dan tambang sebagai prioritas. Kelima, pemerintahan yang baru harus mengedepankan dan memperhatikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, dan keenam, pemenuhan unsur-unsur Hak Asasi Manusia dalam perencanaan pembangunan.

baca :  Nurdin Abdullah: Sawit dan Tambang Bukan untuk Sulawesi Selatan

 

Nurdin Abdullah, Gubernur terpilih Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pro Lingkungan

Gubernur terpilih Sulsel, Nurdin Abdullah saat diwawancarai Mongabay-Indonesia pada 2 Juli 2018 menyatakan akan mengutamakan aspek lingkungan pada pembangunan.

“Bagi saya, lingkungan harus menjadi prioritas utama. Kita di Sulawesi Selatan, sudah ditakdirkan untuk jadi wilayah agraris. Ini daerah pertanian, peternakan dan perikanan,” katanya.

“Kita juga sudah tahu, tambang itu merusak lingkungan. Maka tentu harus kita hitung dan lihat dari sisi ekonomi, sosial dan tentu saja sisi ekologis, yang mana sebenarnya paling baik. Jangan-jangan kita tambang, kita dapat Rp1 triliun, tetapi untuk mengembalikan fungsi lingkungan itu butuh Rp3 triliun. Kanminus. Iya kan?,” lanjut Nurdin.

“Ke depan, Sulawesi Selatan, tidak usah bikin macam-macam. Sektor pertanian jadi prioritas. Sektor peternakan jadi prioritas dan perikanan. Tidak usah kerja yang lain. Tiga sektor ini jadi lumbung kemiskinan. Kita harus memperbaiki itu,” tambahnya.

***

Keterangan foto utama :  Reklamasi di pantai Makassar untuk pembangunan Center Point of Indonesia (CPI). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version