Mongabay.co.id

Kisah Hilangnya Rumput Laut Nusa Lembongan

Gunung Agung terlihat anggun dari Lembongan. Pemandangan ini makin menawan dengan kegiatan petani rumput laut bekerja. Ada yang memanen, membersihkannya, berendam setengah badan dan ada mengayuh kano. Sayangnya, kini jadi masa lalu di Nusa Lembongan, Bali.

Yang tersisa kano-kano kayu tergeletak di pinggir atau tengah laut dangkal. Petak-petak patok jejak budidaya rumput laut masih terlihat. Objek Wisata Rumput Laut kini menyisakan laut tanpa rumput laut dan petaninya.

I Nyoman Suwarbawa adalah salah satu warga Lembongan yang dikenal aktif mengampanyekan budi daya rumput laut kembali. Ia menyebut sejak Januari 2017 sudah dicabut plang lahan budidaya sekitar 100 kk petani.

Alasan utama, pengepul yang mau beli hasil panen makin sedikit dan ada hama ikan sejak 2016. Harga panen kering 50% juga masih rendah sekitar Rp2500/kg. Petani berkurang drastis dan hamparan rumput laut pun menghilang.

baca :  Beginilah Nasib Petani Rumput Laut Nusa Penida

 

Lokasi budidaya rumput laut di Nusa Lembongan, Klungkung, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

“Warga berpikir ekonomi, ada peluang lain sektor pariwisata. Sudah tak tertarik lagi bertani rumput laut,” urainya ditemui akhir Agustus lalu. Sebelum pariwisata bom, masyarakat tidak jadi pebisnis, apa pun kondisi laut pasti bertahan bertani. “Ini lebih gampang, enak, hasil harian menghasilkan. Menyewakan motor 3 saja sudah dapat Rp210 ribu,” papar Mali, panggilan akrab Suwarbawa. Menurutnya sangat mudah cari penghasilan karena kunjungan ribuan turis.

Sejak Februari lalu, ia mencoba menghidupkan beberapa petak lahan dari 10 kg bibit, dengan sistem budidaya kantong rumput laut. Hasilnya dinilai bagus dan dilanjutkan demo plot dukungan pemerintah pada April. Berbeda dengan pulau Nusa Penida, rumput laut jenis cottoni cocok di Lembongan.

Warga yang tidak ada pekerjaan didorong bertani lagi tapi belum mau. Walau produksi tak signifikan, ia ingin menghidupkan memori warga saat rumput laut menafkahi. Demplot bisa jadi tempat belajar dan wisata air.

Pan Weriyani dan Made Sinin, suami istri yang dulu bertani rumput laut kini hanya beberapa kali ke laut untuk menjaring ikan. Namun ikan makin sedikit. Ia berhenti karena harga jatuh dan jarang diambil pengepul Lembongan yang menjual ke Nusa Penida. Sekitar rumahnya kini penuh hotel dan villa, lahan mengeringkan rumput laut juga habis.

baca juga :  Nasib Petani Rumput Laut di Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida

 

Petak lahan rumput laut yang indah dan jadi pemandangan restoran di Nusa Lembongan, Nusa Penida, Bali, pada Juni 2015. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Sebelumnya ia bisa panen 50 kg/hari. “Kalau sekarang misal ada 1 ton panen siapa yang mau ambil?” tanyanya. Ia tak akan lupa kalau tidak ada rumput laut tak ada yang bisa menyekolahkan anak sampai kuliah di luar Lembongan.

“Jangan sampai terbalik. Bapaknya walau putus sekolah bisa menguliahkan anak. Tapi sekarang anaknya apakah bisa menyekolahkan cucunya,” Suwarbawa khawatir. Karena menurutnya generasi kini kebanyakan bekerja sebagai staf pariwisata, bekerja pada orang lain.

Bali merupakan satu dari sembilan provinsi penghasil komoditas rumput laut di Indonesia. Sebanyak 65% rumput laut itu dibudidayakan di tiga pulau lain di tenggara Pulau Bali yakni Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan. Ketiganya termasuk dalam Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Selain sumber pendapatan warga, aktivitas pertanian rumput laut juga ikon panorama pesisir pulau kecil padat turis ini.

Desa-desa pusat produksi rumput laut di Nusa Penida antara lain Desa Suana, Desa Batununggul, Desa Kutampi Kaler, Desa Ped, dan Desa Toyapakeh. Sedangkan di Pulau Nusa Lembongan adalah Desa Jungut Batu dan Desa Lembongan.

menarik dibaca :  Rumput Laut Terancam Dihapus dari Daftar Pangan Organik di AS dan Uni Eropa, Kok Bisa?

 

Zona budidaya rumput laut di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida, Bali, Juni 2015. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Kepala Desa Lembongan sebelumnya, I Nyoman Murta mengatakan penghasilan utama warga adalah rumput laut. “Lebih dari 90% pasti sumber penghasilannya rumput laut. Sisanya jadi pegawai hotel dan lainnya,” ujarnya 5 tahun lalu, ditulis Mongabay Indonesia.

Dalam waktu sesingkat itu, kini sulit menemukan petani rumput laut. Perubahan sangat drastis.

Dari desa-desa ini, Nusa Penida menghasilkan dua jenis rumput laut untuk konsumsi dunia yaitu cottoni dan spinosum. Dengan rata-rata luas lahan petani 10-15 are, berdasarkan data Coral Triangle Centre (CTC), total hasil panen rumput laut di Nusa Penida sekitar 40-50 ton.

Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, total produksi rumput laut Bali pada 2013 sebanyak 145.597 ton. Mayoritas dari Kecamatan Nusa Penida termasuk pulau Lembongan.

Sejumlah petani rumput laut menyebut beberapa alasan. Pertama, hilangnya generasi penerus karena lebih memilih bekerja di industri pariwisata. Kedua, cuaca yang makin tak menentu, jika air terlalu hangat atau terlalu dingin, rumput laut akan rapuh atau membusuk. Berikutnya, ancaman limbah rumah tangga dan industri wisata. Yang memperparah, fluktuasi harga dan lambatnya usaha pengolahan menjadi produk lebih bernilai tinggi.

baca juga :  Pengusaha: Pembatasan Ekspor Rumput Laut Bisa Hancurkan Petani

 

Petani rumput laut di Nusa Penida, Bali, September 2014, menghadapi tantangan rebutan ruang di tengah ancaman pariwisata. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Almarhum Made Kawijaya alias Pan Tarsin adalah perintis budidaya rumput laut di Lembongan. Pada 1986, pria yang dulunya adalah pemburu penyu ini dihadiahi penghargaan pelestari lingkungan Kalpataru.

Bagi Wayan Tarzan, anak Pan Tarsin adalah suatu yang sangat mengejutkan. Saat itu, sekitar tahun 80-an, Pan Tarsin adalah pemburu penyu disegani di desanya. Serta berburu karang laut dan kima raksasa (giant clam).

Pada suatu ketika, seorang pegawai Dinas Pertanian Klungkung datang dan mengajak warga membudidayakan rumput laut. “Dia membawa dua jenis bibit rumput laut sebanyak 5 kilogram. Karena hasil penyu berkurang, petani mulai belajar bertani rumput laut,” tutur Tarzan, generasi kedua petani rumput laut di Nusa Lembongan.

Hasil panen pertama sangat tidak menguntungkan. Hal ini berlanjut sampai tahun kedua. Petani rumput laut masih belum mendapat uang tunai karena hasil panen dibarter dengan bahan pangan seperti beras.

Sampai akhirnya seorang pembeli besar dari Ujung Pandang datang dan membeli panen warga seharga Rp300/kilogram. Tak hanya petani yang bergairah, pelancong pun mulai datang ke Nusa Lembongan. Kini harganya sekitar Rp5000-8000/kg kering.

baca juga :  Nusa Lembongan, Surga di Selatan Pulau Dewata

 

Petani sedang memilih rumput laut di Nusa Lembongan, Bali pada Juni 2015. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Marthen Welly, Coral Triangle Center (CTC) salah satu inisiator KKP kawasan Nusa Penida ini menyebut laguna rumput laut dan terumbu karang bisa menghambat arus menghantam daratan.

Kemampuannya mencegah abrasi pulau-pulau kecil sampai 30%. Kemudian jika ada padang lamun akan mencegah 30% lagi, dan bakau juga 30%. Jika ketiganya ada, sekitar 90% menghambat arus. Selain memperindah kawasan perairan, keanekaragaman hayati jelas berdampak untuk penduduknya.

KKP Nusa Penida meliputi kawasan seluas lebih 20 ribu hektare. Zona inti ditetapkan 120 hektare, zona perikanan berkelanjutan hampir 17 ribu hektare, dan zona budidaya rumput laut 464 hektare. Juga ada zona pariwisata bahari sekitar 1200 hektare, dan lainnya.

Produksi rumput laut di Bali mengalami penurunan hingga 99% selama 2017 lantaran rendahnya harga jual tanaman ini hingga peralihan profesi petani ke pariwisata.

 

Seorang warga Nusa Lembongan, Klungkung, Bali, pada Mei 2016, sedang menjemur rumput laut hasil panenannya. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Adapun total produksi rumput laut pada 2017 yakni sebanyak 597,71 ton. Sementara pada 2016 sebesar 100.856 ton. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bali I Made Gunaja menyebut sekitar 90% pertanian rumput laut Bali berada di Klungkung. Sementara sisanya menyebar di beberapa wilayah seperti di Badung maupun Buleleng.

Bali merupakan penghasil rumput laut terbesar di Indonesia dengan produksi 106.983 ton atau 41,56 persen dari total produksi nasional pada 2001. Rumput laut merupakan komoditas ekspor yang potensial untuk dikembangkan, karena jadi bahan makanan, kosmetik, dan bahan obat-obatan.

 

Exit mobile version