,

Pengusaha: Pembatasan Ekspor Rumput Laut Bisa Hancurkan Petani

Wacana pembatasan komoditas ekspor rumput laut yang didengungkan Pemerintah beberapa waktu terakhir ini, mendapat penolakan keras dari pengusaha. Penolakan tersebut, karena potensi rumput laut hingga saat ini masih sangat banyak, sementara serapannya hingga saat ini masih rendah.

Demikian diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis di Jakarta, kemarin. Menurut dia, hingga saat ini, sebaran usaha budidaya rumput laut di sepanjang pantai maupun yang dibudidayakan di areal tambak masih sangat luas.

“Sehingga produksinya masih melimpah. Sayang saja kalau ada pembatasan, karena daya serap secara nasional juga masih rendah,” ucap dia.

Jika pembatasan tetap diberlakukan, Safari khawatir itu akan berdampak buruk pada harga rumput laut di tingkat petani. Padahal, siapapun tahu kalau petani adalah ujung tombak dari pengembangan rumput laut secara nasional.

“Sudah pasti kalau pembatasan diberlakukan, maka dampak sosial ekonomi yang serius akan dialami oleh sejumlah kalangan, utamanya masyarakat yang menjadi petani rumput laut,” tambah dia.

Tidak saja akan mengganggu perekonomian petani, Safari menilai, pembatasan ekspor rumput laut berpotensi akan menurunkan minat masyarakat untuk tetap menekuni usaha rumput laut sebagai mata pencaharian utama. Karena, jika hasilnya tidak seberapa, pasti petani akan beralih ke profesi yang lain.

Seperti diketahui, penolakan dari pengusaha muncul, karena saat ini Pemerintah tengah mengkaji wacana pengenaan bea keluar hingga larangan ekspor secara bertahap untuk komoditas rumput laut. Langkah tersebut dilakukan dalam rangka hilirisasi rumput laut.

Dengan diberlakukan kebijakan tersebut, Pemerintah berharap agar pengusaha bisa lebih kreatif lagi mengolah rumput laut dan tidak mengekspor dalam bentuk mentah lagi.

“Produksi rumput laut meningkat setiap tahunnya, ada persediaan masih banyak. Kondisi sekarang ini serapan pasar rendah, kalau tidak diekspor mau diapakan persediaan itu sementara permintaan pasar luar negeri cukup baik,” kata Ketum ARLI.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi rumput laut Republik Indonesia pada 2015 mencapai 10,33 juta ton basah atau bila dikonversi menjadi 1,03 juta ton kering.

Budidaya Ramah Lingkungan

Sementara itu, berkaitan dengan pengembangan rumput laut sebagai komoditas unggulan, KKP bertekad untuk mengembangkannya dengan konsep ramah ligkungan dan berkelanjutan. Cara tersebut, diharapkan bisa membuat budidaya rumput laut tidak saja unggul dari kuantitas dan kualitas, tapi juga menjaga kelestarian alam.

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Seoabjakto, di Ambon, Maluku, mengatakan, saat ini pemanfaatan lahan budidaya laut atau marikultur di Indonesia baru mencapai 2 persen dari total 11,8 juta hektare. Padahal, dengan mengembangkan marikultur, akan berdampak positif untuk sektor budidaya perikanan Tanah Air.

“Dengan lahan yang masih luas terbentang, potensi untuk mengembangkan rumput laut di marikultur sangat terbuka luas. Apalagi, jika penerapannya dilakukan melalui teknologi budidaya yang mengedepankan efisiensi dan ramah lingkungan,” ucap Slamet.

Zona budidaya rumput laut di Kawasan Konservasi Perairan (KKP)  Nusa Penida, Bali. Foto : Luh De Suriyani
Zona budidaya rumput laut di Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida, Bali. Foto : Luh De Suriyani

Slamet menuturkan, saat ini budidaya laut seperti rumput laut menjadi tulang punggung produksi perikanan budidaya, karena saat ini 70% dari total produksi perikanan budidaya berasal dari rumput laut.

“Demikian juga komoditas budidaya laut lainnya baik ikan konsumsi seperti bawal bintang, kakap putih dan kerapu, maupun ikan hias laut seperti clown fish, mandarin fish, banggai cardinal dan juga blue devil, ini akan terus didorong produksi dan penyebaran teknologinya, salah satunya melalui BPBL Ambon,” pungkas Slamet.

Pengurangan Bertahap

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, terkait pembatasan rumput laut, pihaknya berharap itu bisa dilakukan secara bertahap dalam lima tahun ke depan. Dalam kurun waktu tersebut, ekspor rumput laut mentah (raw material) secara bertahap harus bisa dikurangi.

“Sebagai gantinya, ekspor akan difokuskan pada produk rumput laut olahan yang dibuat dalam berbagai bentuk,” ungkap Susi.

Untuk mencapai target tersebut, sejak sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan meminta kepada para pengusaha dan pelaku industri rumput laut untuk mulai mengurangi ekspor dalam bentuk mentah.

“Ini harus bisa dilakukan. Perlahan saja dikuranginya. Tahun ini berapa, 2016 berapa, 2017 berapa, 2018 berapa. Dan akhirnya, pada 2020 nanti kita sudah tidak mengekspor rumput laut dalam bentuk mentah lagi,” ungkap Susi.

Menurut Susi, tujuan dikuranginya ekspor rumput laut mentah, dimaksudkan agar Indonesia bisa berubah menjadi negara manufaktur dalam industri rumput laut. Dengan menjadi negara produsen, itu juga bermanfaat banyak untuk para pelaku usaha dalam industri rumput laut nasional.

“Dengan diolah dulu menjadi produk, maka nilai jual rumput laut juga akan meningkat berkali lipat. Nanti kan pasti kebagian untung juga. Itu positif. Pengusaha dan petani untung, negara juga diuntungkan,” tutur Susi.

Susi menyebutkan, potensi lahan rumput laut yang dimilikli Indonesia saat ini, luasnya mencapai 12,1 juta hektare. Namun, karena berbagai hal, lahan yang sudah dimanfaatkan luasnya baru mencapai 2,68% atau 352.825,12 hektare.

Dengan lahan seluas itu, volume ekspor Indonesia pada 2014 mencapai 206.452 ton dengan nilai USD279.540.000. Data tersebut meningkat dibandingkan 2013, dimana volume ekspor mencapai 181.924 ton dengan nilai USD209.701.000.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,