Mongabay.co.id

Cantrang dan Jerit Nelayan di Pulau Bontosua

Masyarakat Pulau Bontosua turut terlibat dalam penanaman terumbu karang menggunakan metode spider. Selain turut menanam, mereka juga menjaga kesehatan terumbu karang tersebut, khususnya dari ancaman penggunaan bius untuk menangkap ikan dari nelayan-nelayan lain. Foto. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Belasan perahu nelayan berjejer rapi di dermaga Pulau Bontosua. Menarik, karena setiap perahu dipenuhi sekitar 10 buah lampu penerang. Perahu kecil itu paling hanya muat 1-2 orang saja. Ada yang terlihat masih baru, namun kebanyakan sudah agak tua. Mungkin berusia 10 tahunan.

Masyarakat di Pulau Bontosua, Desa Mattiro Bone, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, menyebut perahu-perahu kecil itu dengan nama lepa-lepa. Kadang juga disebut katinting. Mungkin merujuk pada mesin yang digunakan. Mereka biasa menggunakan lepa-lepa itu untuk memancing cumi-cumi dan ikan, namun lebih sering untuk cumi-cumi.

Mirajo, salah seorang nelayan setempat, tersenyum sumringah menyambut saya siang itu, Kamis (4/10/2018). Di dermaga, di mana perahunya tertambat, ia duduk berkumpul bersama nelayan Pulau Bontosua lainnya. Melihat saya memperhatikan perahunya yang unik itu, ia langsung menyapa ramah.

“Itu perahu-perahu untuk pancing cumi-cumi. Siapa tahu bisa bantu kami untuk dapat mesin. Sudah banyak yang hampir rusak karena tua,” katanya, yang diiyakan nelayan lainnya.

baca : Destructive Fishing Butuh Penanganan Serius. Kenapa?

 

Para nelayan cumi di Pulau Bontosua, Kabupaten Pangkep, Sulsel, mengeluhkan masih maraknya penggunaan cantrang di sekitar pulau. Tak jarang mereka tak memperoleh tangkapan dalam sehari atau hanya sekedar untuk menutupi biaya operasional. Foto. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurutnya, sebagian besar nelayan setempat adalah pemancing cumi-cumi. Jumlahnya 100-an orang. Dilihat dari besaran perahunya, bisa dipastikan mereka hanyalah nelayan dengan tangkapan yang sekedar cukup untuk konsumsi sehari-hari.

Adam, nelayan lainnya bercerita bahwa sebagai nelayan cumi-cumi belakangan ini tangkapan mereka tak begitu banyak. Dalam sehari maksimal yang bisa mereka peroleh hanya 10 kg, namun lebih sering tak melebihi 5 kg.

“Malah pernah hanya 1 kg dan malah tak ada sama sekali. Kalau kurang dari 2 kg kami rugi. Kembali modal saja, karena hanya menutupi biaya operasional,” katanya lirih.

Perahu kecil itu membutuhkan 5 liter BBM per hari. Harga BBM berkisar antara Rp8.000-Rp10.000/hari. Melaut setengah hari juga membutuhkan akomodasi, seperti makanan, kopi dan rokok.

“Bisa habis untuk modal saja itu sekitar Rp100.000 sekali melaut, pak. Kalau dapatnya cuma 1 kg artinya kita rugi,” ujar Adam.

Cumi-cumi hasil tangkapan biasanya dijual di pengepul di Paotere seharga Rp50.000/kg. Bahkan hanya Rp35.000/kg kalau harga turun.

baca :  Menata Kembali Terumbu Karang dan Kehidupan Ekonomi Masyarakat Pulau Bontosua

 

Perahu kecil yang biasa disebut lepa-lepa atau katinting dilengkapi 10 lampu penerang yang terbungkus kantong plastik, membutuhkan BBM yang lebih banyak. Untuk memancing cumi, mereka biasanya melaut di malam hari. Foto. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Salah satu penyebab berkurangnya hasil tangkapan nelayan adalah masih maraknya praktik penangkapan ikan menggunakan cantrang. Di perkirakan masih ada sekitar 30-an nelayan cantrang sering berkeliaran di sekitar pulau. Mereka berasal dari Pulau Poddang-poddang yang jaraknya tak jauh dari pulau tersebut.

“Tidak hanya malam hari. Siang hari saja mereka berani,” ungkap Mirajo.

Mirajo dan warga lainnya menyadari betul dampak perahu cantrang itu bagi laut sekitar pulau mereka. Hasil tangkapan merosot drastis karena rusaknya ekosistem laut dan pesisir.

“Itu cantrang seperti traktor pak. Mengeruk sampai dasar, sampai pasir-pasir dan karangnya terangkat semua. Bibit-bibit ikan juga ikut terambil karena jalanya kecil. Begitu juga dengan cumi-cumi, tak ada yang tersisa,” katanya.

Meski menyadari dampaknya, mereka tak berani menegur atau bertindak apa-apa, karena sebagian pemilik perahu memiliki keluarga di pulau mereka juga.

“Kalau kami yang tegur bisa saja terjadi bentrok, karena ada keluarga juga di pulau ini, begitu juga sebaliknya.”

Upaya melaporkan ke polisi juga dianggap tak begitu berguna, karena kadang pelaku hanya ditahan beberapa hari sebelum dilepas kembali.

baca juga : Daya Rusak Trawl dan Hilangnya Ikan Awu-awu di Perairan Pancana

 

Perahu kecil yang biasa disebut lepa-lepa atau katinting dilengkapi 10 lampu penerang yang terbungkus kantong plastik, membutuhkan BBM yang lebih banyak. Untuk memancing cumi, mereka biasanya melaut di malam hari. Foto. Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Rusdi, Kepala Desa Mattiro Bone, mengakui keberadaan cantrang tersebut sangat berpengaruh bagi warganya karena sekitar 95 persen di antaranya memang merupakan nelayan pancing. Tidak hanya cantrang, masalah lain yang menjadi ancaman adalah penggunaan bius untuk menangkap ikan.

“Kalau dulu memang banyak bius dan itu merusak sekitar 60 persen terumbu karang yang ada di sini. Pelakunya kebanyakan orang luar,” katanya.

Rusdi bersyukur karena di Pulau Bontosua setahun terakhir mulai membaik karena adanya program transplantasi terumbu karang yang dilakukan oleh PT Mars Symbioscience Indonesia (MSI).

Diakui Rusdi, untuk cantrang ia tak bisa berbuat banyak karena area operasionalnya masih agak jauh dari pulau, sekitar 300 meter, sementara untuk bius bisa lebih terawasi karena lokasinya tak jauh dari wilayah restorasi terumbu karang.

“Kita ada pengawasan, ada yang namanya Poswasmas yang cukup efektif. Cuma mungkin masih ada warga masyarakat yang belum memahami menjaga pesisir sehingga kita terus mengadakan sosialisasi.”

baca : Kisah Muhammad Ridwan, Nelayan Penjaga Laut di Pulau Bontosua

 

Nelayan dari Pulau Bontosua, Liukang Tuppabiring, Pangkep, Sulsel harus melaut puluhan dan bahkan ribuan mil dari pulau karena ketersediaan ikan di sekitar pulau yang semakin berkurang. Rusaknya terumbu karang dianggap sebagai salah satu penyebab utamanya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Saipul Rapi, Manajer Program Marine Sustainable PT MSI, keberadaan cantrang memang sangat dirasakan nelayan kecil Pulau Bontosua karena area operasionalnya berada di wilayah tangkapan nelayan kecil.

“Dampak cantrang ini memang sangat dirasakan karena mereka beroperasi di wilayah tangkapan nelayan cumi-cumi, sekitar 300 meter dari pulau. Kalau ada cantrang beroperasi maka bisa dipastikan sekitar seminggu nelayan sulit dapat tangkapan. Nelayan merugi karena biaya operasional tidak tertutupi,” katanya.

Menurutnya, meski ada larangan dari Pemerintah Daerah namun dalam praktiknya para nelayan cantrang ini masih beroperasi karena menganggap masih diizinkan oleh pemerintah pusat hingga Desember 2019.

“Kalau ditegur mereka mengaku punya izin dari pemerintah pusat. Meski sebenarnya izin pemerintah pusat itu terbatas hanya di Jawa Timur saja, sementara di Sulsel tidak mengizinkan lagi.”

Meski berdampak bagi nelayan, keberadaan cantrang ini belum secara langsung mengganggu program restorasi terumbu karang yang PT MSI lakukan. Tantangan terbesarnya justru pada praktik penggunaan bius ikan.

“Kalau Bontosua di sini mungkin sudah jarang ada bius karena sedikit terawasi, tetapi di Pulau Badi masih ada. Di situ kita juga punya lokasi terumbu karang yang sudah direstorasi,” katanya.

menarik dibaca : Begini Dedikasi Noel Janetski untuk Rehabilitasi Terumbu Karang Pulau Badi

 

Kondisi karang di Pulau Badi, Pangkep, Sulsel yang rusak karena faktor eksploitasi dan pembiusan untuk penangkapan ikan. Foto: PT Mars Symbioscience Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat biasanya menggunakan bius bertujuan untuk mendapatkan ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi seperti ikan Sunu, yang dijual dalam kondisi hidup. Untuk mendapatkan ikan dalam kondisi hidup adalah dengan cara dipancing dan dibius.

“Hanya saja kalau dipancing kemungkinannya ikannya akan cacat, sehingga kemudian nelayan lebih memilih cara kedua, yaitu bius. Ikannya pingsan dan diambil menggunakan sero’. Hanya saja, tak disadari warga bahwa penggunaan bius ini justru dampaknya sangat merusak. Kerugian bisa besar sekali.”Secara sederhana Saipul mengurai dampak bius ini bisa merusak dalam radius diameter 7 meter dan panjang lintasan 150 meter.

“Kalau nelayan menggunakan satu botol aqua ukuran satu setengah liter di setiap titik dengan panjang lintasan 150 meter, maka luasan dampaknya bisa mencapai 700 meter persegi. Jika dihitung restorasi karang 1 meter itu biayanya antara Rp200-450.000 dengan luas 700 meter, maka biaya yang dibutuhkan sekitar Rp140 juta. Nelayan paling menangkap 5 ekor ikan senilai Rp1 juta. Artinya, kerugian yang ditimbulkan bisa sampai 140 kali dari keuntungan yang diperoleh nelayan.”

Nelayan kadang berkilah bahwa karang akan tumbuh kembali, namun pertumbuhan karang sangat lambat, butuh waktu hingga 80 tahun untuk pemulihan, dengan asumsi tak ada aktivitas yang mengganggu di masa itu.

“Artinya, selama bius masih ada maka karang selamanya tak akan pernah bagus lagi,” tambahnya.

 

Exit mobile version