Mongabay.co.id

Buntut Protes PLTU Indramayu, Buruh Tani Mendekam Dalam Tahanan

Dua buruh tani asal Pulokuntul, Desa Mekarsari, Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Sawin dan Sukma, ditangkap dan ditahan polisi pada 4 September 2018 diduga menghina bendera nasional karena menancapkan bendera terbalik. Awalnya, dua orang ini protes pembangunan PLTU batubara Indramayu.

“Sawin dan Sukma adalah tahanan nurani hanya karena menyuarakan hak mereka dan harus segera dibebaskan,” kata Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, pada 20 hari penahanan Sawin dan Sukma.

Pada 1 November, sidang kedua mestinya memasuki agenda eksepsi. Sidang urung karena hakim ketua tak hadir. Kedua buruh tani terjerat Pasal 24 a UU No 24/2009 tentang bendera, bahasa dan lambang Negara serta lagu kebangsaan. Mereka ditahan berdasarkan laporan bahwa Sawin dan Sukma, menancapkan bendera terbalik pada 14 Desember 2017. Sawin dan Sukma menyangkal tuduhan itu.

Baca juga: Berkonflik dengan PLTU Indramayu II Berbuntut Penangkapan, Warga Mekarsari Lapor Komnas HAM

Sebelumnya, polisi menangkap Sawin Sukma, dan Nanto, seorang buruh tani lain pada 17 Desember 2017 untuk tuduhan serupa. Mereka kemudian dilepas di hari yang sama karena tak cukup bukti.

Kasus ini bermula pada Mei 2015, saat Bupati Indramayu Anna Sophanah mengeluarkan izin lingkungan pembangunan PLTU batubara Indramayu II. Pada Juli 2017, beberapa orang terdampak PLTU, termasuk Sawin dan Sukma menggugat izin lingkungan PLTU ke PTUN Bandung.

Pada 6 Desember 2017, PTUN Bandung memenangkan warga dan memutuskan mencabut izin lingkungan PLTU. Untuk merayakan keputusan pengadilan, bertepatan dengan perayaan Hari Raya Islam, Sawin, Sukma dan beberapa warga lain memasang bendera merah putih pada 14 Desember 2017 di lokasi lahan. Berselang dua hari, Sawin mengetahui bendera yang dipasang terbalik. Yakin bahwa dia memasang bendera dengan benar, Sawin mengecek ke lokasi dan menemukan beberapa bendera sudah hilang.

Penangkapan akhir September lalu menghadapkan kedua buruh tani dengan ancaman hukuman lima tahun penjara atau denda Rp500 juta.

Baca juga: Warga Mekar Sari Khawatir Daya Rusak Pembangkit Batubara Sesi II Indramayu

Amnesty mendesak Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Agung Budi Maryoto membebaskan Sawin dan Sukma. Juga memastikan mereka dilindungi dari penyiksaan dan perlakukan buruk lain selama dalam tahanan serta memiliki akses tetap kepada keluarga maupun pengacara pilihan mereka.

“Mereka ditahan hanya karena menyuarakan hak mereka secara damai,” kata Usman.

Penahanan Sawin dan Sukma, katanya, tak bisa dibenarkan karena sewenang-wenang dan atas dasar tuduhan lemah.

“Juga dilakukan tengah malam seperti mengejar kriminal.”

Dalam penahanan pertama, menurut Usman, kelihatan sekali polisi tak memiliki bukti dan saksi yang menguatkan tuduhan terhadap kedua tersangka. Pemasangan bendera dilakukan sebagai rasa syukur karena menang PTUN. Tak ada alasan bagi buruh tani ini menghina lambang negara.

Menurut Usman, langkah yang mereka ambil untuk patuh hukum dan menempuh perjuangan dengan cara bermartabat justru berhadapan dengan lembaga kepolisian dan kejaksaan yang seharusnya bermartabat dan tak sewenang-wenang.

“Benar ada agenda pembangunan yang harus dipastikan keamanannya, kalau mengorbankan warga kecil, justru mengabaikan tugas mengayomi masyarakat.”

Hal lain yang menjadi sorotan Amnesty adalah keluarga tersangka jadi hidup tak menentu setelah penahanan mereka.

“Kedua istri buruh tani ini luar biasa, meski jauh dari pusat informasi, suami mereka buruh tani, tapi punya cara pandang jauh ke depan membela lingkungan tetap bersih, agar anak mereka bebas dari penyakit yang bisa ditimbulkan dari aktivitas PLTU.”

Upaya masyarakat mendapatkan lingkungan dan kehidupan yang lebih baik dan sehat dirusak dengan cara penanganan hukum yang, bagi Amnesty, mirip cara orde baru.

Sebelum kasus Sawin dan Sukma, aktivis lingkungan di Banyuwangi, Budi Heriawan atau dikenal Budi Pego ditahan 10 bulan penjara pada 24 Januari 2018 oleh Pengadilan Negeri Banyuwangi, Jawa Timur. Dia dianggap melanggar Pasal 107a KUHP tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Budi Pego dituduh bersalah karena menyebarkan ideologi komunis, tidak mengabarkan polisi setempat mengenai pelaksanaan protes sesuai aturan UU No 9 tahun 1998 dan sebagai pemimpin aksi mempromosikan ideologi pro komunis.

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan berekpresi dan berkumpul secara damai. Aturan hukum terus digunakan untuk menghukum aktivitas politik damai dan memenjarakan orang yang damai mengutarakan pendapat dan ekspresi mereka.

 

Lapor Komnas HAM. Warga Mekarsari yang lapor ke Komnas HAM, bersama komisioner Komnas HAM, Sandra Moniaga (baju orange) dan Hairansyah (batik warna gelap) pada Januari 2018. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Erawati dan Yati, tak bisa menahan tangis saat menunjukkan foto Sawin yang memegang bambu dengan bendera terpasang benar, sesaat sebelum ditancapkan di lokasi syukuran warga. Setelah kedua suami mereka, hidup istri buruh tani ini tak menentu.

Mereka ibu rumah tangga yang menumpukan hidup pada penghasilan suami. Sawin, buruh tani sementara Sukma biasa jadi buruh traktor di sawah.

“Dulu bisa tiap hari ada yang manggil kerja. Dua minggu berturut-turut ada,” kata Yati, sambil menggendong anak bungsunya berusia tiga tahun.

Sejak PLTU Indramayu I dibangun, disusul pelepasan lahan pertanian untuk PLTU II, penghasilan suami menurun drastis.

“Sekarang sekali dua minggu itu udah alhamdulillah,” kata Erawati.

Kalau tak ada panggilan kerja buruh tani, Sawin dan Sukma biasa mencari ikan di laut. Sejak PLTU I beroperasi, nelayan desa harus melaut lebih jauh. Biasa, dengan modal bahan bakar lima liter nelayan bisa membawa pulang penghasilan Rp200.000-300.000 dari udang rebon. Udang rebon diolah jadi terasi.

Sejak PLTU I membuang limbah air panas di laut, nelayan kesulitan mencari ikan dan udang. “Habis bensin 20 liter belum tentu dapat,” kata Domo, warga yang tergabung dalam Jatayu.

Erawati, istri Sukma, masih ingat bagaimana suaminya menyiapkan bendera untuk memeriahkan syukuran warga atas kemenangan di PTUN.

“Suami saya merakit bendera itu di rumah. Setelah dirakit diberdirikan sampai dua malam di sudut rumah Ibu Ramini, tetangga saya. Dua malam, kalau memang terbalik pasti ada yang bilang,” kenang Erawati.

PLTU II Indramayu merupakan ekspansi dari PLTU I Indramayu berkapasitas 1.000 megawatt.

Menurut Komite Percepatan Penyediaan Infratsruktur Prioritas (KPPIP) proyek senilai Rp27 triliun ini akan menghasilkan listrik untuk keperluan Pulau Jawa dan Bali.

PLTU ini dibangun dari skema pendanaan APBN dengan pinjaman luar negeri. PLTU akan beroperasi 2019. Monitoring proses pinjaman dan pengadaan tanah melibatkan Japan International Cooperation Agency (JICA), Bappenas, Kementerian Keuangan dan PLN.

Sejak awal pembangunan PLTU, kata Erawati, tak pernah ada sosialisasi terhadap warga sekitar. PLN dan perusahaan hanya memanggil warga yang memiliki lahan yang akan dibebaskan. Kala itu, lahan pertanian dihargai Rp163.000 per meter.

PLTU II yang akan dibangun berjarak kurang dari 150 meter dari rumah Erawati. Dampak PLTU I seperti polusi udara, kebisingan, konflik antarwarga, sudah dirasakan.

“Sekarang kalau arah angin ke rumah saya anak-anak langsung batuk,” katanya.

 

Warga bersama Walhi dan Amnesty International Indonesia, kala jumpa pers di Jkaarta, baru-baru ini. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonsia

 

 

Kasasi

Per 1 November, gugatan dimenangkan PLN di pengadilan tinggi. Warga didampingi Walhi dan LBH Bandung lantas mengajukan kasasi.

Dwi Sawung, Manager Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi, mengatakan, Walhi telah melayangkan surat keberatan warga kepada JICA baik langsung maupun melalui surat elektronik.

JICA berjanji tak akan mencairkan pinjaman berikutnya. Saat ini, JICA sudah memberikan pinjaman untuk studi teknis PLTU.

“Mereka (JICA-red) juga mendanai Polri sejak 2001 untuk reformasi kepolisian. Nyata, di kasus ini polisi tak ada reformasi, Kasus ini berakhir di penjara,” katanya.

Walhi menilai, penahanan Sawin dan Sukma, sebagai upaya pembungkaman perlawanan warga.

Catatan Amnesty, ada dua pola yang sering dilakukan pemerintah dan aparat negara dalam kriminalisasi pejuang dan aktivis lingkungan. Pertama, dihadapkan dengan simbol negara, seolah warga sedang menentang pemerintah atau dianggap menyimpang dari ideologi negara. Hal ini, katanya, terjadi pada kasus Budi Pego di Banyuwangi.

Kedua, kriminalisasi biasanya dengan pola tindakan yang berbau kriminal, misal, memasuki pekarangan orang lain, merusak tanaman perusahaan, atau jika ada demonstrasi terjadi insiden seperti perusakan pagar yang membuat warga jadi tersangka.

Pola-pola ini seringkali menghadap-hadapkan petani dengan pemerintah, seperti kasus Kendeng, di mana masyarakat yang menentang pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Indonesia dianggap anti pembangunan.

“Kalau terjadi di Papua, masyarakat adat yang menolak perkebunan sawit atau pertambangan selalu dituduh anti NKRI,” kata Usman.

Dalam beberapa kasus, polisi juga menggunakan aparat sebagai saksi. Dalam kasus Sawin dan Sukma, polisi jadi saksi dan laporan babinsa.

“Ada banyak cara pemerintah masa lalu yang mungkin diulangi lagi kini karena ambisi pemerintah mengejar agenda pembangunan.”

Willy Hanafi, Direktur LBH Bandung yang mendampingi warga mengatakan, ada penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin lingkungan PLTU Indramayu II.

Izin harus terbit oleh Gubernur Jawa Barat, malah keluar dari Bupati Indramayu, Anna Sophanah.

Bupati Anna Sophanah terpilih menjadi Bupati Indramayu dalam pemilihan kepala daerah 2015. Akhir Oktober lalu Anna menerima penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas kepedulian terhadap pembinaan proklim terhadap masyarakat di Indramayu.

Cukup mengejutkan, awal November ini, Anna menyampaikan surat pengunduran diri kepada Gubernur Jawa Barat terpilih Ridwan Kamil. Menurut Kamil, Anna mengundurkan diri karena alasan keluarga.

Saat ini, permintaan pengunduran diri Anna menunggu keputusan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo.

 

Yati, istri Sukma, tengah menggendong anaknya dan Erawati istri Sawin. Suami mereka menjadi dituding menghina lambang negara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version