Mongabay.co.id

Danau Tempe Kritis, Harus Diselamatkan Segera, Kenapa?

Danau Tempe, danau purba yang terbentuk akibat pergeseran lempeng di masa sebelum masehi, saat ini kondisinya kritis. Pendangkalan yang terus menerus terjadi, disinyalir menjadi penyebab utama terus menurunnya kondisi ekosistem danau. Kondisi tersebut, membuat aktivitas perikanan yang ada di danau tersebut mengalami penurunan, atau bahkan penyusutan.

Dengan kondisi itu, Danau Tempe yang terletak di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. membutuhkan perhatian mendalam dari siapapun, termasuk Pemerintah. Jika terus dibiarkan, danau yang terbentuk karena bersatunya dua pulau antara pulau yang kini menjadi Provinsi Sulsel dengan pulau yang kini menjadi bagian dari utara Sulsel itu, terancam akan mati.

“Jika sudah begitu, maka danau tidak akan bisa lagi digunakan untuk beraktivitas warga sekitar,” ungkap Kepala Pusat Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Fauzan Ali di Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Upaya yang harus segera dilakukan, menurutnya, adalah dengan melakukan revitalisasi secara benar untuk mengembalikan ekosistem. Demi keperluan itu, LIPI dalam beberapa tahun ini sudah melakukan penelitian dan membuat model percontohan untuk revitalisasi di Danau Tempe. Semua model tersebut, menawarkan keuntungan yang disertai dengan penjelasan secara mendetil.

baca :  Danau Tempe, Danau Purba yang Mengalami Banyak Masalah. Apa Saja?

 

Terdapat sekitar 3000 nelayan di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan yang ruang tangkapannya semakin menyempit karena sedimentasi danau dan upaya komersialisasi dari Pemda setempat. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Penyebab utama perlunya Danau Tempe dilakukan revitalisasi, menurut Fauzan, karena danau seluas 13 ribu hektare itu kini sudah semakin dipenuhi sedimentasi sehingga terjadinya pendangkalan. Kondisi itu, membuat ekosistem danau yang sebelumnya sangat baik mulai mengalami kerusakan secara terus menerus.

Selama danau tersebut ada, Fauzan menyebutkan, terdapat dua subsistem yang saling menguatkan kondisi ekosistem danau. Yang pertama, adalah genangan permanen yang merupakan cekungan utama yang berisi air dan tidak pernah mengering sepanjang tahun. Air tersebut berasal dari sungai yang mengalir ke dalam danau dan posisinya lebih tinggi dari danau.

Kemudian, subsistem yang kedua, adalah genangan tidak permanen atau rawa banjiran. Subsistem tersebut, biasanya muncul ke sekitar danau saat musim hujan dan mencapai puncaknya sekitar Juni hingga Juli setiap tahun.

“Biasanya, setelah itu danau akan mulai menyusut karena hujan sudah berhenti dan mencapai puncaknya (penyusutan) sekitar Oktober hingga November. Di masa tersebut, rawa banjiran akan menjadi kawasan luas seperti lapangan golf,” jelasnya.

baca juga :  Seperti Apa Pemulihan Ikan Air Tawar di Danau Tempe?

 

Banyak masalah mendera Danau Tempe, dari eceng gondong, pendangkalan sampai pencemaran. Sumber foto: Syafruddin/Mongabay Indonesia

 

Sedimentasi

Walau danau secara rutin mendapat pasokan air dan juga mengering sebagian lagi, namun kondisinya justru semakin menurun karena sedimentasi tidak bisa terbawa arus air. Akibatnya, sedimentasi mengendap dan menumpuk terus menerus sampai memicu terjadinya pendangkalan danau.

Adapun, munculnya sedimentasi, kata Fauzan, adalah karena rawa banjiran yang mengering saat musim kemarau dan kemudian ditumbuhi ilalang. Kemudian, saat musim hujan, rawa banjiran mendapat pasokan air lagi, dan otomatis tanaman yang sudah tumbuh akan terendam dan kemudian membusuk dan menjadi sedimentasi.

“Karena sedimentasi semakin menebal, mulai mengganggu ekosistem danau. Kondisi itu memicu penurunan produksi ikan di dalam danau, karena memang dipengaruhi oleh ketinggian air. Jadi dengan sedimentasi, ketinggian air jadi berkurang dan itu mengancam habitat ikan,” tuturnya.

Pendangkalan danau bakal menurunkan populasi ikan dan pada akhirnya akan memengaruhi produktivitas nelayan. Kondisi itu akan mengacaukan perekonomian masyarakat sekitar danau yang sebagian besar menggantungkan hidupnya ke Danau Tempe.

“Ketinggian air itu maksimal lima meter diukur dari dasar danau,” ucapnya.

Dalam 20 tahun terakhir, Fauzan menyebutkan, sedimentasi yang terbentuk di dasar danau mencapai 519 ribu meter kubik per tahun. Kondisi tersebut mengakibatkan ekosistem danau mengalami degradasi dengan cepat. Selain sedimentasi, penurunan juga disebabkan kehadiran gulma air yang kadarnya sangat tinggi di dalam danau.

Fauzan menambahkan, walau warga banyak yang memanfaatkan danau untuk produksi perikanan, namun tidak satupun ada yang memanfaatkannya untuk perikanan budidaya. Pilihan tersebut dinilai masuk akal, karena Danau Tempe berbeda dengan danau lain di Indonesia, utamanya Danau Toba di Sumatera Utara yang bisa dipakai untuk budidaya keramba jaring apung (KJA).

baca juga :  Eceng Gondok Danau Tempe, dari Biogas hingga Kerajinan Tangan

 

Sejauh mata memandang di tengah danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, terlihat hamparan tanaman eceng gondok, seperti gugusan pulau yang bergerak. Di tengah danau banyak ditemukan rumah apung, yang biasa digunakan sebagai tempat istirahat nelayan setempat. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Hidrologi Pusat Limnologi Iwan Ridwansyah mengungkapkan, penurunan kondisi ekosistem yang sedang dialami Danau Tempe, memang akan berdampak ke banyak sektor kehidupan. Paling utama, adalah kebutuhan air dan juga perikanan untuk masyarakat sekitar. Kondisi itu pada akhirnya akan memicu terjadinya kekacauan ekonomi di masyarakat sekitar danau.

Untuk mengatasinya, , Iwan meminta Pemerintah segera melakukan revitalisasi penyelematan danau. Dengan memperbaiki kondisi danau secara menyeluruh, namun tetap memperhatikan kondisi danau untuk prinsip berkelanjutan.

“Kalau bicara revitalisasi, di Indonesia yang paling jago itu tentu saja (Kementerian) Pekerjaan Umum Bina Marga. Namun, untuk disertakan dengan konservasi, itu belum tentu mereka bisa. Di Danau Tempe juga sama, sudah ada rencana revitalisasi dari pemerintah lokal, namun ternyata mereka tidak paham dengan konservasi,” ujarnya.

 

Revitalisasi dan Konservasi

Untuk mencegah dilakukannya revitalisasi tanpa melakukan konservasi, Iwan menjelaskan, LIPI sudah membuat tiga model revitalisasi yang dihasilkan melalui penelitian selama beberapa tahun terakhir.Dari ketiga model itu, dia menyebut model yang pertama menjadi rekomendasi yang bisa dikerjakan. Meski demikian, ketiga model yang dibuat semuanya menyertakan metode pengerukan danau secara baik.

Untuk model pertama, ada pengerukan yang dilaksanakan pada tiga zona (lihat gambar) dengan volume pengerukan mencapai 23,8 juta meter kubik. Kemudian, model kedua, pengerukan dilaksanakan dua zona dengan volume pengerukan mencapai 20,6 juta m3. Terakhir, model ketiga juga dilaksanakan di dua zona, dengan volume pengerukan mencapai 12,3 juta m3.

 

Tiga alternatif revitalisasi Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulsel yang direkomendasikan LIPI. Sumber : LIPI/Mongabay Indonesia

 

“Dengan pola satu, maka sedimentasi akan terbawa, genangan permanen juga akan tetap ada. Gemudian, genangan tidak permanen juga tetap ada, karena memang keduanya dibutuhkan untuk mendukung ekosistem danau,” paparnya.

Iwan menjelaskan revitalisasi memang tidak akan mengembalikan kondisi danau seperti saat awal terbentuk di masa purba. Tetapi danau akan dipulihkan menjadi sehat, dengan luasan yang sama seperti sekarang. Dengan demikian, danau kembali pulih, namun ekonomi masyarakat juga bisa tetap berjalan.

Diketahui, Danau Tempe adalah satu dari 15 danau kritis di Indonesia dan saat ini menjadi prioritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk dilakukan pemulihan. Danau tersebut diketahui menjadi habitat utama dari ikan air tawar, utamanya ikan bungo (Glossogobius Cf. aereus).

Danau Tempe mendapat pasokan air dari sungai Bila dan anak sungainya, Bulu Cenrana. Selain mengalirkan air, kedua sungai tersebut juga menyebabkan terjadinya pendangkalan karena tingginya erosi di bagian hulu. Secara geografis, danau tersebut masuk wilayah Kecamatan Tempe, Kecamatan Belawa, Kecamatan Tanah Sitolo, Kecamatan Maniangpajo dan Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, Sulsel.

 

Exit mobile version