Mongabay.co.id

Bakal Kalah Saing, Akankah Indonesia Tetap Bergantung Batubara?

PLTU batubara, munculkan beragam masalah lingkungan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Indonesia masih mengandalkan batubara sebagai energi utama pembangkit listrik, setidaknya sampai 2027. Kajian Carbon Tracker terbaru menunjukkan, keekonomian pembangkit listrik batubara segera kalah saing dengan pembangkit listrik tenaga surya. Mengapa negeri ini tetap bergantung energi batubara?

Dalam rencana pengembangan pembangkit listrik 2018-2027 kapasitas PLTU bakal dikembangkan 26.807 megawatt. Target 2025, batubara masih mendominasi, 54,4% bauran energi, tertinggi diantara energi terbarukan 23%, gas 22,2% dan bahan bakar minyak 0,4%.

Pramudiya, Kepala Seksi Evaluasi Program Penyediaan Tenaga Listrik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan, PLTU masih dapat berkembang, namun mengutamakan penggunaan teknologi ramah lingkungan. Juga memiliki efisiensi untuk sistem yang mapan seperti Jawa-Bali dan Sumatera.

“Walaupun kita mengembangkan PLTU namun teknologi arahkan lebih ramah lingkungan, efisiensi lebih baik dan polusi lebih rendah,” katanya dalam sebuah diskusi.

Selain PLTU, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui PLN akan mengembangkan pembangkit gas dan pembangkit tenaga air pump storage. Tujuannya, untuk memenuhi keperluan beban puncak dan meminimalkan (membatasi) pembangkit BBM waktu beban pundak.

Pengembangan listrik energi terbarukan, di samping memenuhi tenaga listrik juga menurunkan tingkat emisi karbon. Sedangkan, pembangkit listrik tenaga nuklir dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir kalau target porsi energi terbarukan 25% pada 2025, tak tercapai. Namun, katanya, dengan tetap memperhatikan faktor keselamatan secara ketat– tanpa ada penjelasan detil ketat seperti apa.

KESDM juga mengklaim akan menjamin PLTU di Indonesia gunakan teknologi high efficiency low emission (hele) atau teknologi batubara bersih ( clean coal technology/CCT) seperti teknologi boiler super critical dan ultra super critrical (USC).

Saat ini, katanya, ada lima PLTU beroperasi gunakan super critical yakni PLTU Paiton III, PLTU Cirebon, PLTU Adipala, PLTU Cilacap ekspansi dan PLTU Banten.

Selain itu ada tujuh lokasi PLTU di Pulau Jawa akan memakai USC total kapasitas 10.900 megawatt. PLTU ini akan beroperasi (COD) antara 2019-2022.

Pramudiya mengklaim, revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan No 21/2008 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), soal nilai baku mutu emisi untuk PLTU batubara akan makin ketat dengan penambahan parameter baru, yakni mercury (hg).

Namun, katanya, penerapan baku mutu emisi lebih ketat ini hanya berlaku pada PLTU baru.

 

Lubang tambang yang begitu dekat permukiman warga merupakan ancaman serius bagi keselamatan nyawa anak-anak. Foto: Jatam Kaltim

 

 

Listrik surya lebih murah

Kajian lembaga internasional Carbon Tracker, secara ekonomi dan finansial, pada 2021, lebih murah bagi Indonesia membangun fasilitas pembangkit listrik surya baru dibandingkan PLTU batubara baru.

Ia berdasarkan kajian dinamika biaya pembangkitan listrik di Indonesia, dan bagaimana tren ekonomi dan finansial global akan berdampak pada biaya pembangkitan listrik.

Mereka membandingkan energi batubara saat ini jadi sumber utama ketenagalistrikan di Indonesia dengan teknologi energi terbarukan.

“Modeling kami menunjukkan, tahun 2021, Indonesia akan sampai pada titik investasi per megawatt lebih murah untuk pembangkit listrik surya dibandingkan PLTU batubara,” kata Matt Gray, Kepala Kajian Ketenagalistrikan dan Pembangkit Listrik Carbon Tracker di Jakarta, awal November lalu.

Pada 2028, lebih murah membangun pembangkit solar PV daripada meneruskan operasional PLTU saat ini.

Carbon Tracker juga meninjau berbagai skenario global terkait penurunan emisi gas rumah kaca dan rencana negara-negara besar untuk beralih dari energi tenaga fosil seperti minyak dan batubara. Juga dampaknya terhadap nilai aset PLTU batubara di berbagai negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Vietnam dan Filipina.

Laporan ini , rencana pengembangan PLTU batubara yang agresif di tiga negara itu tidak sejalan dengan tren dunia. Kondisi ini, katanya, bisa berujung pada stranded asset (aset terpinggirkan) yang dapat mencapai US$60 miliar.

Lembaga kajian yang berbasis di London ini menggunakan metode modeling ekonomi berbasis aset bagi tiap negara dalam kajiannya. Ia termasuk mengolah data inventori aset, data performa aset dan menggunakan berbagai asumsi teknis, pasar dan regulasi menyeluruh.

Di Indonesia, kajian Carbon Tracker menunjukkan, ada kemungkinan terjadi penurunan nilai aset dan kerugian aset PLTU batubara yang dapat mencapai USD 34,7 miliar.

“Siapa yang menanggung beban kerugian ini akan tergantung dari struktur kepemilikan dan kontrak jual beli listrik. Yang jelas PLN akan menanggung beban paling besar dan jumlah mencapai US$15 milar,” ucap Gray.

Selain PLN, dalam kajian ini Sumitomo Corporation dan Sinar Mas Group akan menanggung risiko tinggi dengan aset terpinggirkan mencapai masing-masing US$3 miliar dan US$2,1 miliar.

Menanggapi temuan kajian ini, Elrika Hamdi, Analis Energy Finance, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menuturkan, sebenarnya bila dilihat dari sisi harga terakhir menandatangani penjualan listrik (power purchase agreement/PPA) untuk pembangkit surya memang sudah jauh lebih kompetitif.

Sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan pembangkit itu, katanya, jauh lebih murah karena tak ada biaya bahan bakar seperti batubara, gas atau BBM.

Elrika bilang, biaya listrik terukur (levelized cost of electricity/LCOE) dari pembangkit surya hampir dapat dipastikan bersaing dan bisa mencapai keekonomian sama atau lebih rendah dibanding pembangkit fosil. Bahkan, katanya, dalam waktu lebih cepat dari 2028.

“Terlebih lagi menjulang tinggi harga minyak gas dan batubara dalam setahun terakhir, ditambah rupiah melemah terhadap dolar Amerika, sebagai nilai tukar pembelian bahan bakar itu.”

Berdasarkan rencana proyek 35.000 megawatt, tertuang dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2018-2027 akan terjadi penambahan kapasitas pembangkitan listrik dari tenaga batubara lebih 30.000 megawatt dalam 10 tahun mendatang. Sebanyak 10% dari rencana penambahan kapasitas sudah terpasang dan operasional, lebih 40% disebutkan Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) masih tahap konstruksi.

Meski demikian, pelepamahn nilai tukar rupiah terhadap dolar juga mendorong penjadwalan ulang atau penundaan berbagai proyek setrum, termasuk proyek 35.000 megawatt. Sebanyak 15.200 megawatt proyek kapasitas ketenagalistrikan baru yang ditinjau ulang KESDM dengan jadwal pengoperasian komersial (commercial operation date/COD) yang akan ditunda sampai 2021 bahkan 2026.

 

Batubara dalam negeri terserap, salah satu sebagai sumber energi buat PLTU. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Setop pendanaan

Dengan situasi ekonomi Indonesia yang tak stabil, juga alasan dampak lingkungan dan kesehatan, sejumlah organisasi lingkungan mendesak, pemerintah tak meneruskan pembangunan PLTU terutama yang sudah menandatangani PPA namun belum masuk tahap konstruksi.

Walhi, misal, menggugat sejumlah izin lingkungan PLTU di Jawa dan Bali. Organisasi ini menang dalam sejumlah pengadilan tingkat pertama namun mentah di pengadilan tinggi. Berbagai perjuangan masyarakat menolak pembangunan PLTU juga berujung kriminalisasi seperti di Indramayu.

Langkah lain ditempuh masyarakat dan organisasi lingkungan mendesak pendana setop pinjaman luar negeri.

“Kondisi keuangan PLN saat ini semester kedua sudah rugi dua digit, sebelum subsidi. Dengan subsidipun masih rugi satu digit. Tetap kerugian besar. PLN tak akan mampu membiayai pembangunan PLTU baru,” kata Dwi Sawung, Juru Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi.

Ada enam belas organisasi lingkungan mengirimkan surat terbuka kepada sejumlah pemodal asal Korea yang berinvestasi di pembangkit batubara Indonesia. Dalam surat, mereka menilai kebijakan domestik Korea segera phase out dari batubara, bertentangan dengan rencana pendanaan luar negeri negara ini.

Sejumlah pemodal itu, antara lain Bank Ekspor Impor Korea (KEXIM), Korea Development Bank (KDB), Korea Trade Insurance Corporation (KSure). Surat juga dikirimkan kepada Kedutaan Besar Korea Selatan di Jakarta.

Surat terbuka ini meminta, para investor tak memberikan dukungan pendanaan untuk PLTU Suralaya atau dikenal dengan PLTU Jawa IX dan X di Banten, Jawa Barat.

Pada 10 September 2018, produsen listrik independen Indonesia PT Indo Raya Tenaga, mencapai kesepakatan dengan Doosan Heavy Industries and Construction asal Korea Selatan dan PT Hutama Karya membangun dua unit baru pembangkit listrik batubara Suralaya dengan biaya konstruksi sebesar 1,9 triliun Won.

“Pembiayaan PLTU meningkatkan risiko lingkungan dan ancaman kesehatan dari ekspansi batubara,” kata Didit Haryo, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, akhir Oktober lalu.

Pembangkit Suralaya, katanya, memiliki kapasitas maksimum lebih 4.000 megawatt. Dua unit akan dibangun, menambah kapasitas 2.000 megawatt lagi. Jawa Barat, sudah tercemar PLTU yang ada selain industri baja, kertas dan pabrik kimia.

 

 

Data satelit menunjukkan, polusi Nox– gas nitrogen di atmosfir terdiri dari nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2)–sangat tinggi di Suralaya. Penyebab utamanya, pembangkit batubara.

Bukan hanya masyarakat setempat terkena dampak polusi udara, katanya, namun pembangkit yang berjarak kurang 100 kilometer dari Jakarta ini menerbangkan polutan ke Jabodetabek dan memapar sekitar 30 juta penduduk.

“Ini investasi buruk untuk perusahaan dan rakyat Indonesia,” kata Didit.

Terlebih lagi dalam panel Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) di Korea Selatan, juga merilis laporan tentang risiko kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat celcius yang akan menyebabkan bencana iklim global.

“Kita hanya punya jeda waktu sempit untuk mencegah, memastikan pada 2050 batubara di bawah 5%.”

Lembaga pembiayaan ekspor Korea Selatan, katanya, mengambil risiko terlalu besar kalau mendukung pembiayaan pembangkit batubara. Organisasi lingkungan menilai, proyek ini seharusnya tak berjalan karena sejumlah alasan.

Pertama, proyek berisiko tinggi mengingat nilai tukar rupiah melemah hingga membuat negara harus menahan atau menunda proyek berbahan baku impor termasuk PLTU. Menteri ESDM juga mengingatkan, pemerintah menunda atau merestrukturisasi beberapa proyek pembangkit tenaga listrik strategis guna mengurangi impor dan mendukung rupiah.

Dengan kondisi defisit anggaran ini, katanya, sangat tak mungkin pemerintah setuju meningkatkan subsidi kepada PLN guna menutupi biaya kelebihan kapasitas ini. KESDM menyatakan, kebijakan take or pay untuk IPP akan dikaji ulang untuk mengelola utang PLN.

“Kondisi ini jelas berisiko terhadap pembatalan proyek karena komponen impor 60-80%,” kata Sawung.

Kedua, proyek ini terletak dalam sistem kelistrikan surplus besar. Sistem kelistrikan tak akan mengalami masalah jika kedua pembangkit tak dibangun dalam lima tahun.

PLN memprediksi, pertumbuhan permintaan listrik sekitar 6,9%. Kenyataan, dalam lima tahun terakhir pertumbuhan permintaan sekitar 4,4%. PLN, katanya, memperkirakan terlalu tinggi hingga menyebabkan pemanfaatan pembangkit listrik hanya 57.3% pada jaringan Jawa Bali.

Risiko lain harus dilihat cerdik oleh pemodal, kata Sawung, yakni, kelebihan kapasitas jaringan Jawa Bali. Perencanaan buruk PLN dan korupsi mengakar pada proyek batubara, menggiring perusahaan listrik negara ke dalam masalah keuangan membahayakan APBN.

Ketiga, lembaga keuangan besar dunia juga sudah memutuskan tak lagi membiayai batubara karena risiko kerugian tinggi, seperti, Deutsche Bank, Allianz, Dhai Ichi Life, Danske Bank KBC. Standard Chartered Bank, juga baru saja mengumumkan berhenti membiayai PLTU batubara baru.

Di Korea Selatan, salah satu Korea Coal Capital, mengumumkan beralih ke energi bersih. Changnam yang memiliki setengah PLTU batubara 18 gigawatt dari total Korea telah bergabung dengan Powering Past Coal Alliance.

Pemerintah provinsi mengumumkan penutupan awal 14 pembangkit batubara yang beroperasi pada 2025 dan berhenti menggunakan batubara pada 2050. Bahkan mereka menegaskan kembali keinginan mengurangi standar masa hidup PLTU batubara dari 30 tahun jadi 25 tahun.

Di Kosel, dana pensiun menyatakan, perang terhadap batubara. Dana Pensiun Korsel dan pensiunan pegawai pemerintah juga mengumumkan divestasi dari batubara. Ini kebijakan divestasi batubara pertama yang diumumkan lembaga keuangan publik di Korea.

Mereka akan mengupayakan investasi berkelanjutan dengan membiayai proyek-proyek baru yang berkelanjutan atau dengan memperluas investasi di sektor itu saat ini, untuk membangun ekonomi rendah karbon.

Di lain pihak, Korean Electric Power (KEPCO) berkomitmen menangguhkan dukungan pada PLTU Cirebon III. Ia disampaikan dalam tanya jawab dengan parlemen Korsel pada 18 Oktober 2018.

“Buah perjuangan masyarakat menolak ekspansi PLTU Cirebon telah dapat dirasakan. Ini keputusan cerdas, KEPCO melihat risiko nyata terhadap keterlambatan proyek dna kotornya polusi yang akan dihasilkan,” kata Sawung yang mendampingi perjuangan masyarakat Cirebon dalam proses tuntutan hukum di Pengadilan. Sawung mengatakan keputusan KEPCO seharusnya juga dapat diikuti oleh para pemodal Korea lainnya, untuk tidak lagi mendukung proyek energi kotor PLTU apapun di Indonesia.

“Kita berharap jika pendanaan dihentikan, tak hanya PLTU yang batal dibangun tapi berbagai kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak PLTU juga berhenti,” kata Sawung.

 

Keterangan foto utama:   Batubara ciptakan masalah dari hulu ke hilir., dari tambang hingga penggunaan seperti buat pembangkit listrik Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Bermasalah dari hulu. Kondisi lubang tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja, jaraknya dekat dengan pemukiman warga. Foto: dok Jatam Kaltim

 

 

Exit mobile version