Mongabay.co.id

Nelayan Takalar Tuntut Ruang Tambang Pasir Laut Dihapus dari RZWP3K

Daeng Takko (59) terlihat gusar. Di depan gedung DPRD Sulawesi Selatan, ia turut bergabung dengan puluhan orang yang membentangkan spanduk, berisi protes kepada pemerintah. Reklamasi dan tambang pasir telah merampas sumber mata pencaharian mereka.

“Sejak adanya tambang pasir itu, tak banyak ikan bisa diperoleh. Baik yang pancing ikan atau kepiting semuanya susah sekarang. Tak ada ikan yang bisa hidup di air yang keruh dan berlumpur,” katanya frustrasi.

Tambang pasir yang dia maksud adalah pengambilan pasir yang dilakukan oleh Boskalis di perairan Galesong Raya, Kabupaten Takalar, yang telah berlangsung setahun terakhir, sebagai bahan material pembangunan proyek Center Point of Indonesia (CPI) dan New Port Makassar (NPM).

Menurutnya, nelayan kecil dan menengah yang paling merasakan dampak dari adanya pengambilan pasir tersebut karena jangkauan aktivitas mereka yang terbatas.

“Kalau kapal ikan yang besar masih bisa ambil ikan yang jauh hingga perbatasan, sementara kami yang hanya nelayan kecil dan menengah tak dapat apa-apa.”

baca :  Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris

 

Sekitar 300-an orang nelayan dari Galesong Raya, berunjuk rasa menuntut dihentikannnya tambang pasir di wilayah mereka, karena berdampak pada hilangnya mata pencaharian mereka. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Daeng Takko sepertinya pasrah dengan situasi yang ada saat ini. Secara pribadi ia tidak meminta agar penambangan itu dihentikan. Meskipun penambangan itu kemudian menimbulkan abrasi yang cukup parah. Terpenting baginya ada solusi dari pemerintah dan swasta terkait nasib mereka.

“Kami tidak mau larang-larang, yang penting kami dikasih solusi,” katanya pasrah.

Aksi unjuk rasa pagi itu adalah aksi yang ke sekian kali yang dilakukan oleh masyarakat dari Galesong Raya, Takalar. Mencakup 13 desa/kelurahan yang berada di tiga kecamatan, yaitu Galesong Utara, Galesong dan Galesong Selatan.

Peserta aksi yang terdiri dari nelayan Galesong Raya dan Makassar, LSM Formasi Negara dan Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar datang dengan konvoi mobil dan motor ke Masjid Al Markaz, lalu jalan kaki menuju kantor DPRD Sulsel, yang berjarak sekitar 1 Km.

Di depan kantor DPRD inilah mereka berkumpul menyampaikan sikap kepada Pansus Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

baca :  Tak Setop Tambang Pasir Laut Galesong, Koalisi Ancam Gugat Hukum Pemerintah dan Perusahaan

 

Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, Muhammad Al Amin berorasi di depan Kantor DPRD Sulsel meminta pemerintah menghapus alokasi ruang tambang di dalam draf Perda RZWP3K yang rencana akan disahkan bulan ini. Foto : Walhi/Mongabay Indonesia

 

Menurut Muhaimin Arsenio, Koordinator ASP Makassar, aksi tersebut bertujuan untuk menuntut pemerintah menghapus alokasi ruang tambang pasir laut dan reklamasi dalam draf RZWP3K.

“Jika aturan tersebut tidak berubah, maka sama saja Pansus membunuh nelayan dan masyarakat pesisir Sulsel terutama nelayan Makassar dan Takalar,” katanya.

Aksi itu juga menyoroti masih berlangsungnya proyek reklamasi dan NPM yang berdampak secara luas bagi kehidupan nelayan di Makassar dan Takalar.

“Proyek reklamasi pesisir hanya untuk memperluas daratan kota Makassar, sehingga akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan di masyarakat pesisir. Proyek tersebut adalah sumber masalah, karena nelayan Galesong Raya sangat menderita pasca proses pembangunan proyek CPI dan NPM karena sumber material timbunannya berasal penambangan pasir di wilayah kelola mereka selama ini,” jelas Muhaimin.

Menurutnya, pasca penambangan pasir laut di Takalar, terdapat Dusun Mandi Desa Bontomarannu yang dihuni 22 Kepala Keluarga (KK) hilang berubah hamparan laut.

“Mereka terpaksa pindah di tanah Negara. Hal di atas terjadi akibat laju abrasi pesisir pantai sangat cepat. Panjang abrasi di desa tersebut 40-50 meter dari pesisir sebelumnya,” tambahnya.

Dari catatan Walhi Sulsel sendiri diketahui bahwa terdapat 20 rumah masyarakat pesisir dan nelayan Galesong Raya tepat di Desa Bontosunggu dan Desa Tamasaju rusak sedang, yang disebabkan penambangan pasir laut yang sangat masif.

baca juga : KKP Surati Gubernur Sulsel, Minta Tambang Pasir di Takalar Dihentikan

 

Sekitar 100-an perahu jolloro dari Galesong Kabupaten Takalar, Sulsel, pada JUni 2017, menduduki kawasan CPI. Membentangkan spanduk penolakan tambang pasir. Mereka mulai berangkat dari Kampung Beru, Galesong Utara, sejak pukul 06.00 dan tiba di Pantai Losari sektar pukul 07.30. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

“Penambangan pasir laut juga menghilangkan mata pencarian nelayan, hingga 350 orang beralih profesi menjadi buruh bangunan, sawi, penjual ikan dan tukang ojek. Malah ada yang terpaksa mencuri karena terdesak pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pendapatan nelayan pun turun drastis, sehingga 6.225 orang nelayan menjadi korban dari kegiatan tersebut. Selama tujuh bulan aksi pengerukan pasir, selama itu nelayan menderita.”

Pada kesempatan ini, tiga perwakilan pansus menyatakan akan menampung aspirasi tersebut. Menurut mereka, alokasi ruang tambang tidak bisa diputuskan secara pihak, harus meminta masukan dari berbagai pihak, termasuk sejumlah Dinas di Pemprov Sulsel.

Menanggapi jawaban Pansus, Muhaimin menyatakan akan terus mengawal tuntutan mereka, memastikan alokasi ruang tak ada lagi di dalam draf RWZP3K.

“Kita beri waktu enam bulan kepada Pansus untuk menindaklanjuti tuntutan kami. Kalau tak ada respons maka kami akan ada aksi yang lebih besar lagi,” ujarnya.

baca juga :  Ternyata Banyak Masalah Dalam Raperda Zonasi Pesisir di Sulsel. Apa Saja?

 

Pembangunan CPI, Makassar, Sulsel yang terus digugat Walhi karena dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas. Perda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil belum ada, sementara AMDAL yang masih berupa addendum. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Janji Gubernur

Sehari sebelumnya, Selasa (20/11/2018) malam, sejumlah tokoh masyarakat Galesong Raya yang wilayahnya terkena dampak tambang pasir diundang untuk bertemu dengan Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, di rumah jabatan Gubernur.

Menurut Ketua Forum Masyarakat Pesisir dan Nelayan Galesong Raya (Formasi Negara), Amiruddin Daeng Sitaba, dalam pertemuan tersebut Gubernur antara lain berjanji akan menghapus alokasi ruang tambang pasir laut di Galesong Raya di dalam RZWP3K.

“Gubernur berjanji akan memanggil Pansus untuk meminta mereka menghapus alokasi tambang pasir laut di Ranperda RZWP3K yang akan segera disahkan.”

Gubernur juga berjanji bahwa tidak akan ada lagi penambangan pasir laut di Galesong. Apalagi setelah Gubernur mengetahui terjadinya abrasi yang cukup parah sebagai dampak dari penambangan tersebut.

“Gubernur berjanji akan memerintahkan Balai Besar Sungai Pompengan untuk segera melakukan pemulihan sepanjang wilayah yang terkena dampak abrasi,” ujar Amiruddin.

Abrasi yang terjadi memang cukup parah, menyebabkan tiga makam di Desa Sampulungan, Galesong Utara, hancur. Hal yang sama terjadi di Pemakaman Umum di Desa Bontosunggu dan Mangindara, di mana banyak kuburan yang hilang dan tertutupi air laut. Arus ombak yang besar terus menerjang serta mengikis bibir pantai hingga pekuburan. Saat ini panjang abrasi sudah mencapai 25 hingga 30 meter dari pesisir.

“Di Desa Sampulungan ada warga bernama Daeng Ruppa mengaku 20 jasad keluarganya hilang terbawa arus akibat abrasi. Baru-baru ini juga ditemukan 4 jasad yang hanyut, baru dua yang sudah dimakamkan kembali secara layak,” ungkap Muhaimin.

menarik dibaca :  Ketika Laut Takalar Terus Terancam Tambang Pasir

 

Abrasi yang terjadi di Desa Sampulugan, Kecamatan Galesong Utara, Takalar, menyebabkan rusaknya pemakaman umum. Puluhan jasad hanyut terbawa arus laut. Foto. Formasi Negara/Mongabay Indonesia

 

Dukungan untuk penghentian tambang pasir ini juga datang dari Bupati Takalar, Syamsari Kitta. Mendengar adanya abrasi yang parah di wilayahnya ia langsung bereaksi dengan meminta agar aktivitas penambangan pasir di wilayah Galesong dan Sanrobone dihentikan, serta dikeluarkannya kawasan tersebut dari zona tambang pasir laut di RZWP3K.

“Kami sudah sampaikan ke Pak Gubernur kiranya tambang pasir laut di Takalar dihentikan dan perairan Takalar dikeluarkan dari Zona Tambang Pasir Laut,” katanya dalam rilis Humas Takalar, Senin (19/11/2018).

Samsyari menyatakan akan membuat upaya pencegahan kerusakan lingkungan dampak dari penambangan pasir tersebut untuk mencegah bertambahnya kerusakan.

“Ini merupakan tanggung jawab selaku pemerintah daerah untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana,” katanya.

Terkait abrasi sendiri, Syamsari berjanji akan memikirkan upaya rehabilitasi dan upaya pencegahan melibatkan beberapa pihak.

“Kami akan koordinasikan mulai aparat desa sampai dengan OPD yang berwenang, seperti BNPBD, Dinas PUPR, Sosial serta berkoordinasi dengan instansi vertikal, sehingga banyak yang bisa memikirkan dan terlibat,” katanya.

 

Exit mobile version