Mongabay.co.id

Kejar Target Turunkan Emisi, Indonesia Perlu Langkah Lebih Serius

Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

Konferensi perubahan iklim (Conferece of Parties/COP) ke-24 di Kotawice, Polandia, berlangsung 3-14 Desember ini. Sebanyak 197 negara, termasuk Indonesia, yang tergabung dalam UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) punya komitmen jangka membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat celcius.

Baca juga: Laporan Sebut NDCs Negara G20 Tak Sejalan Perjanjian Paris, Bagaimana Indonesia?

Pemerintah Indonesia akan menyampaikan praktik-praktik upaya mitigasi dan adaptasi dalam menekan emisi guna menuju komitmen dan memenuhi Perjanjian Paris. Sementara, koalisi masyarakat sipil menilai upaya Indonesia, masih minim dalam menekan emisi terutama sektor kehutanan dan energi.

“Dari Indonesia kita sudah siap. Kita harus menagih janji negara lain termasuk janji kita sendiri. Kita akan menyampaikan usaha yang telah kita lakukan, apa yang akan kita lakukan di Katowice,” kata Rahmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk perubahan iklim.

Baca juga:   Derita Warga Cilacap Hidup Bersama Pembangkit Batubara

Semua negara dalam Perjanjian Paris pada 2015, sepakat ambil tindakan di dalam negeri masing-masing untuk mencapai tujuan jangka panjang ini. Hingga kini, sudah 165 negara menyerahkan National Detremined Contributions (NDCs) kepada UNFCCC. NDCs menjabarkan komitmen masing-masing negara untuk mengurangi emisi, rencana adaptasi dan tindakan terkait perubahan iklim lain.

Indonesia, dalam COP21 di Paris, berkomitmen mengurangi emisi 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional hingga 2030. Dalam COP 22 di Marrakesh, pertemuan ini fokus pada pendanaan (climate finance). Tahun lalu, di Bonn dalam COP23 Indonesia meluncurkan pembangunan rendah karbon (low carbon development) dalam rencana pembangunan jangka menengah.

Pada Oktober 2018, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan laporan berisi pemanasan global karena ulah manusia telah mencapai satu derajat Celcius pada 2017, dibandingkan masa pra industri dan terus naik 0,2 derajat Celcius setiap tahun. Prediksinya, pemanasan global bakal melewati batas 1,5 derajat Celcius sekitar 2040.

”Jadi sekarang kita bukan hanya aware, tapi waspada dan memahami perubahan iklim lalu bersikap,” kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menanggapi laporan itu. Dia setuju, Indonesia perlu mengambil sikap lebih agresif lagi [dalam upaya penurunan emisi].

Meskipun begitu, dia bilang, Indonesia, tak tertinggal dalam menjalankan komitmen mengatasi perubahan iklim. Dia contohkan, penyelesaian status hutan adat, hutan sosial, pengendalian kebakaran hutan dan restorasi gambut.

Baca juga: Akankah Ekonomi Hijau Terwujud?

Sejak 2015, arah kebijakan Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim adalah ketahanan iklim yang berkeadilan. Menurut Siti, hal itu menekankan kekuatan daya adaptasi sebuah bangsa.

”Pertumbuhan ekonomi harus disertai peningkatan kualitas hidup dan keberlanjutan lingkungan. Kerja keras laksana tugas Herkules inilah jadi tugas Indonesia ke depan,” kata Peter F. Gontha, Duta Besar Indonesia di Polandia.

Komitmen nasional Indonesia, dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDCs), katanya, akan menurunkan emisi dari sektor energi 11% dan dari kehutanan 17,2%.

Rekomendasi IPCC, energi berbasis batubara harus turun hingga rata-rata 1-7% pada 2050 dan energi terbarukan diharapkan memasok 49-67%.

Mengacu laporan IPCC, Gontha mengusulkan, ada peta jalur konsisten 1,5 derajat Celcius guna mengurangi substansial pada sektor energi. Juga penurunan intensitas karbon listrik ke nol pada pertengahan abad dan peningkatan elektrifikasi energi.

 

Asap mengepul pekat keluar dari moncong Boiler PLTU PT Rimba Palma Sejahtera Jambi. Warga menuding asap itu sebagai sumber polusi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Pada COP21, pemerintah juga komitmen menggunakan 23% energi terbarukan dalam bauran energi pada 2025. Hingga kini baru sekitar 13% energi terbarukan dipakai dalam pemenuhan energi nasional.

“Pimpinan tertinggi (presiden) iya, setelah dijabarkan ke bawah banyak yang bekerja sendiri-sendiri. Tidak masuk pada kebutuhan teknis, misal listrik masih banyak dari pembangkit batubara,” kata Witoelar.

Dia khawatir Indonesia dihakimi dunia karena tak serius memenuhi target yang telah dibikin. “Memang tidak ada yang menghukum, alam yang akan menghukum.”

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan, bauran energi terbarukan akan bertambah terutama dari geothermal. “Saat ini sudah banyak PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi-red) di berbagai daerah kecil-kecil, 30-60 megawatt,” katanya.

Selain itu, dari pembangkit air baik mini hidro maupun mikro hidro meski kapasitas kecil-kecil namun banyak.

Pemerintah juga baru mengeluarkan aturan untuk PLTS atap. Bagi semua pelanggan PLN bisa memasang solar atap di rumah masing-masing. Ada juga pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) Jeneponto dengan target beroperasi akhir tahun ini.

Dari segi transportasi, katanya, pemerintah masih menyusun regulasi mengenai mobil listrik. “Perpres belum selesai. Sudah dibahas setengah tahun. Harusnya di seluruh dunia bisa jalan ini.”

Dari rencana umum energi nasional, penggunaan batubara untuk pembangkit tenaga listrik, dari 148 juta ton pada 2025 akan jadi 319 juta ton pada 2050.

“Jika kita mau konsisten dengan komitmen, ya pada 2050, seharusnya sudah meninggalkan batubara,” kata Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Senin (3/12/18) di Jakarta.

Dia bilang, Indonesia harus mempercepat penurunan emisi di kedua sektor utama, yakni hutan dan lahan. ”Pada 2020, orang akan mengkaji ulang NDC kita.”

Berbicara soal lahan, kata Yuyun, ada keterancaman mengenai alokasi lahan hutan untuk bioenergi. ”Kita perlu skeptis, dimana konsesi itu diberikan dan siapa saja yang mendapat.” Apalagi, jika itu dianggap solusi dalam upaya penurunan emisi sektor energi.

Tak hanya itu, hutan pun terancam proyek strategis nasional dalam pembangunan infrastruktur serta pertambangan batubara. Belum lagi, akses perizinan lain.

“Kami berharap kepada setiap pemerintah daerah dan pemerintah pusat mengevaluasi izin. Banyak pelanggaran di lapangan seringkali tak memiliki amdal (analisis mengenai dampak lingkungan-red).”

“Ini seperti pembiaran. Penegakan hukum harus, khusus izin bodong. Serta setop pemberian izin, perkebunan dan kehutanan. Setelah setop, kemudian evaluasi semua,” kata Dimas Novian Hartono, Direktur Walhi Kalimantan Tengah.

Konflik masyarakat pun terjadi pada penambangan batubara di Kaltim. Masyarakat bertarung dengan perusahaan dalam memperjuangkan ruang hidup.

”Ini mengancam hilangnya pengetahuan masyarakat dalam adaptasi dan ruang lingkup. Mendesak untuk pengakuan wilayah kelola rakyat,” kata Fathur Roziqin, Direktur Walhi Kaltim.

 

Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan data Walhi Kaltim, luas perizinan tambang dan sawit mencapai 5,2 juta hektar pada 2017. Ada 1.404 izin pertambangan, dari 665 izin eksplorasi, 560 izin operasi produksi, 168 izin kuasa pertambangan, serta 11 izin penanaman modal asing.

”Dari izin, 52% lebih ada desa.”

Menurut Yuyun, peralihan energi dari fosil menjadi bersih seharusnya melalui proses yang demokratis. ”Tidak mengubah bentang alam dan mendapatkan izin dari masyarakat.”

 

Apa harapan dari COP 24?

Dalam COP24, fokus pada bagaimana petunjuk penyelamatan suhu bumi terimplementasi bagi negara peserta yang berkomitmen untuk 2020.

Witoelar bilang, ada tiga tolak ukur hasil COP 24 perlu jadi perhatian. Pertama, ada rulebook, yang bisa diadopsi semua negara peserta berisi petunjuk dan kesepakatan untuk mengelaborasi peran masing-masing negara dalam mencapai target.

Kedua, ambisi menuju 2020 sesuai dokumen laporan IPCC terbaru yang harus dijabarkan sektoral. Ketiga, soal dukungan finansial.

“Perlu ada kejelasan bagaimana negara maju mengalirkan dana kepada negara berkembang,” kata Nirarta Samadhi, Direktur Eksekutif World Research Institute (WRI) Indonesia.

Saat ini, kata Koni, sapaan akrabnya, banyak momen mendukung untuk pendekatan pertumbuhan ekonomi baru. Selain 194 negara telah menandatangani Perjanjian Paris, lebih 480 perusahaan komitmen menerapkan target berdasarkan kajian ilmiah sejalan dengan perjanjian itu. Jumlah ini, katanya, naik 40% dari tahun lalu.

Selain itu, sekitar 150 perusahaan besar sudah komitmen dengan RE100, untuk gunakan 100% energi terbarukan dalam perusahaan mereka.

Baca juga:   Warga Laman Kinipan Minta Pemimpin Lamandau Lindungi Hutan Adat Mereka

Pada sektor finansial, lebih 510 perusahaan juga berkomitmen mendukung task force on climate-related financial disclosure). Namun, kata Koni, saat ini negara-negara itu tak dalam jalur menuju batasan peningkatan suhu 1,5 derajat celcius.

Tahun 2016, tercatat sekitar 52 GTCo2e, kalau dibiarkan bisa terus meningkat hingga 52-58 GtCO2e.

Untuk itu, beberapa isu penting dibawa dalam COP24 antara lain soal strategi jangka panjang dan mobilisasi investasi untuk pembangunan rendah karbon.

“Kita perlu pemimpin yang punya visi pemihakan. Yang punya visi jangka panjang,” kata Koni.

Arief Wijaya, Senior Manager Forest and Climate WRI, menambahkan, pembangunan rendah karbon berhubungan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, katanya, pertemuan ini kesempatan tepat mengomunikasikan startegi jangka panjang.

 

Keterangan foto utama:  Kebun sawit di Indonesia, sudah belasan juta hektar. Kalau izin-izin kebun sawit sudah capai 20 juta hektar.  Kalau, kebun-kebun itu terbangun dari membabat hutan bertutupan lebat–walau sudah mendapatkan izin pemerintah–tentu sulit memenuhi target penurunan emisi Indonesia. Foto: Dokumen Komunitas adat Kinipan

 

Menandang hutan alam di Taman Nasional tesso Nilo, yang terbabat dan berubah menjadi kebun sawit, Minggu (12/11/17). Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version