Mongabay.co.id

Mereka Ajak Kaum Milenial Pilih Pemimpin Pro Energi Terbarukan

Aksi teatrikal di Jakarta, mengajak kaum milenial memilih pemimpin yang serius kembangkan energi terbaukan bukan batubara. Foto: Indra nugraha/ Mongabay Indonesia

 

 

Saat lampu merah menyala, beberapa pemuda dengan jubah serba hitam dan topeng menutupi wajah bergegas menyeberangi zebra cross di depan pusat perbelanjaan Sarinah Jakarta, Kamis (20/12/18). Mereka membawa replika bangunan PLTU dari triplek. Seorang perempuan berambut panjang tergerai dengan busana modis dan memakai masker ikut menyertai langkah mereka. Seorang pria berbusana khas eksekutif muda dengan tampilan jas berdasi juga ikut menyeberang menuju Kantor Bawaslu.

Baca juga: Laporan Ungkap Karut Marut Tata Kelola Batubara Berelasi dengan Para Elit Politik

Ukhuukk… ukhuukk… ukhuukkk…” si pria dan perempuan itu seolah terbatuk karena polusi oleh cerobong asap PLTU. Seolah ingin memberi pesan kepada para pengemudi kendaraan motor yang menunggu lampu hijau bahwa polusi PLTU batubara sangat mengganggu kesehatan. Langkah keduanya tertatih, merayap seperti sesak terasa oleh tubuh.

“Jadikan itu masa lalu.” Begitu sebuah spanduk dari kain hitam terbentang. Beberapa pemuda berjubah hitam itu melenggok-lenggok tertatih seperti sedang merenggang nyawa. Dua orang di antara mereka yang menggunakan topeng tikus dengan uang mainan di moncong mulut si tikus, merangkak. Menandakan bahwa proyek sarat korupsi.

Lampu hijau menyala. Ratusan kendaraan yang menunggu, akhirnya melaju menuju arah yang dikehendaki sang pengemudi. Sekumpulan muda-mudi itu sigap kembali ke pinggir jalan, menunggu lampu merah kembali menyala.

Baca juga: Danau Asam, Danau Maut, Milik Siapa?

Beberapa menit, lampu merah kembali menyala. Aksi teaterikal terganti beberapa pemuda dengan jubah serba biru. Seorang di antara mereka menggunakan replika kincir angin, seorang lagi dengan replika matahari. Spanduk bertuliskan “Jadikan Masa Depan” terbentang.

Si pria dan perempuan kembali ikut menyeberang, namun dengan langkah tegap. Tak terdengar lagi suara batuk dari keduanya.

Aksi teaterikal sekelompok pemuda yang mengatasnamakan gerakan #BersihkanIndonesia itu tak lain guna menyambut pesta pemilu pada 19 April nanti. Gegap gempita pesta demokrasi lima tahunan itu mulai terasa. Mereka pun mengajak kaum milenial kritis dan mendesak para calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) maupun calon legislatif (caleg) jadikan energi terbarukan sebagai konsen utama.

“Sampai 2018, Indonesia banyak menyia-nyiakan kesempatan beralih ke energi bersih. Eratnya hubungan penguasa dengan pengusaha kerap menghasilkan kebijakan energi tak tepat, seperti pembangkit listrik berbasis batubara menjamur,” kata Didit Haryo Wicaksono dari Greenpeace Indonesia.

Pada 2019, katanya, kesempatan bagi warga Indonesia mewujudkan masa depan bersih, berdaulat dan berpihak pada manusia dan lingkungan. Potensi energi bersih dan terbarukan, katanya, sangat kaya di negeri ini.

Dia berharap, kandidat pemimpin dan calon anggota legislatif yang bertarung pemilu nanti memperhatikan ini.

Dia juga mengajak milenials memilih pemimpin pro energi bersih dan terbarukan. “Kaum pemilih muda dan milenials harus lantang menyuarakan dorongan beralih ke energi bersih terbarukan.”

 

Aksi Bersihkan Indonesia, pesan aksi, tinggalkan energi batubara beralih ke energi terbarukan yang melimpah di Indonesia. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Energi bersih, katanya, akan memberikan mereka lapangan kerja baru, dan pola konsumsi ramah lingkungan. “Serta kebanggaan hidup di kota dengan udara dan lingkungan bersih,” kata Juris Bramantyo, dari Koaksi Indonesia.

Gerakan #BersihkanIndonesia, katanya, gerakan non partisan. Dia ingin kaum milenials memilih pemimpin yang memiliki program-program pro lingkungan.

Koaksi, katanya, akan terus mengawal agar agenda energi terbarukan jadi prioritas pemerintah. “Kami tidak akan bilang siapa dari calon yang ada lebih baik daripada yang lain. Kami ingin agar anak-anak muda, kaum millenials lebih kritis memilih mana yang lebih baik baik capres dan cawapres sekaligus anggota legislatif.”

Selama ini, batubara dianggap murah. Padahal, kata Juris, mahal atau murah itu relatif. Berkaca pada kondisi saat ini, sebetulnya pemerintah harus membayar lebih karena dampak pertambangan maupun pembangkit batubara, seperti kerusakan lingkungan dan kesehatan warga.

Pemerintah, katanya, masih menunjukkan keberpihakan akut terhadap batubara, terlihat dari berbagai kebijakan yang mendorong peningkatan dan perluasan produksi batubara secara tak terkendali.

“Mengabaikan keamanan manusia termasuk anak-anak generasi penerus bangsa, kesejahteraan warga setempat, ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan hidup,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma dari Jaringan Advokasi Anti Tambang (Jatam).

Dampak buruk energi batubara, katanya, tak hanya di hulu saat pengerukan, juga ke hilir saat dibakar untuk PLTU. Bagus tak sepakat dengan klaim pemerintah menyebut batubara murah karena dampak buruknya menimbulkan biaya lebih besar.

“Tidak menghitung ongkos lingkungan dan sosial terhadap warga dan pemerintah. Siapa yang bisa menghitung kerugian dampak jutaan hektar hutan dibabat untuk mengambil batubara? Kerugian finansial 32 anak meninggal di lubang bekas tambang batubara? Juga kerugian kesehatan oleh ribuan warga di sekitar PLTU.”

Verena Puspawardani, dari Koaksi Indonesia mengatakan, Indonesia masih terjerat batubara terlihat dari dokumen rencana usaha penyediaan tenaga listrik) PLN 2018-2027. Dalam dokumen itu, tertulis target penggunaan batubara dalam bauran energi mencapai 57% pada 2017.

“Ini dua kali lipat jika dibandingkan dengan target bauran energi terbarukan hanya 23% tahun sama,” kata Verena.

Dia bilang, pemerintah tak konsisten dalam menentukan kuota produksi batubara. Semula, mencanangkan kuota produksi batubara nasional 485 juta ton. Pada penghujung tahun, pemerintah memutuskan menaikkan hampir 500 juta ton demi menggenjot devisa ekspor.

Padahal, produksi batubara menciptakan daya rusak, antara lain 32 anak meninggal di lubang bekas tambang batubara di Kalimantan Timur, jalan dan bangunan rumah di sekitar tambang batubara PT ABN di Kaltim, amblas.”

Sisi lain, kata Verena, pengembangan energi terbarukan juga mengalami kemandekan. Kualitas kebijakan dan kerangka peraturan sektor energi, konsistensi dalam implementasi kebijakan, proses pengadaan internal PLN, akses pembiayaan bunga rendah, kapasitas jaringan, dan keterbatasan proyek energi terbarukan memenuhi persyaratan pendanaan komersial.

“Indonesia tidak berada di jalur untuk mencapai target 23% energi terbarukan. Situasi ini memburuk karena kebijakan dan regulasi yang menguntungkan kepentingan PLN. Tetapi gagal menciptakan kondisi memungkinkan untuk mobilisasi investasi sektor swasta. Akibatnya, investasi energi bersih terbarukan terus menurun,” katanya.

Selain itu, Verena juga menyinggung kasus korupsi yang menunjukkan tata kelola energi Indonesia, lemah. Kasus suap PLTU Riau 1 yang menjerat pengusaha Johannes B Kotjo dan kader partai Golkar Eni Maulai Saragih misalnya. Kasus tersebut menurutnya merupakan bukti rentannya proses perencanaan dan pengadaan PLTU batubara terhadap praktek korupsi.

“Perubahan peraturan perencanaan dan pengadaan dilakukan untuk memungkinkan munculnya proyek-proyek siluman dalam perencanaan ketenagalistrikan,” katanya.

Pembangunan PLTU batubara juga kerap kali diikuti dengan berbagai kriminalisasi warga penolak.

 

 

Keterangan foto utama:   Aksi teatrikal di Jakarta, mengajak kaum milenial memilih pemimpin yang serius kembangkan energi terbaukan bukan batubara. Foto: Indra nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Batubara dalam negeri terserap, salah satu sebagai sumber energi buat PLTU. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version