Mongabay.co.id

Anak Muda Belajar Mengenal Gambut

Lahan gambut yang rusak di Desa Perigi TBaca juga: Gambut for Beginners, Tujuh Jawaban Penting untuk Pemula. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

 

Namanya virtual reality (VR). Melalui teknologi ini kita diajak memasuki sebuah kampung di kelilingi lahan gambut. Mulai dari rumah kayu bersama penghuninya. Di sana tampak ada peta hutan dan diskusi di rumah ini.

Baca:   Pengelolaan Berbasis Masyarakat, Konsep Jitu Perlindungan Gambut

Pengguna kaca VR harus menjelajahi hasil foto 360 derajat ini dengan menggerakkan kepala ke kiri, kanan, atau berbalik, menemukan titik tanda panah yang memandu ke area berikut. Sampailah ke sebuah hutan gambut percontohan di Kalimantan Barat.

Pepohonan besar menjulang dan pakis di bawahnya. Lahan gambut terlihat basah, ada sejumlah papan informasi tentang gambut dipasang di kanan dan kiri jalan setapak kayu. Teduh dan hijau.

Baca juga: Gambut for Beginners, Tujuh Jawaban Penting untuk Pemula

Dengan VR, pengguna hanya bisa merasakan visualisasi tetapi pengalaman virtual memancing ingin tahu dan merasakan langsung menginjak gambut atau berjalan di dalam hutan. Selama ini, cerita gambut lebih banyak soal kebakaran.

Dari berita-berita kebakaran lahan gambut yang menghasilkan asap pekat di Kalimantan atau Sumatera, tiap tahun, gambut terkesan panas dan mudah terbakar. Padahal gambut adalah lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk.

Kok bisa? Video PantauGambut.id menunjukkan ilustrasi pembukaan lahan dengan cara dibakar, salah satu beralih jadi kebun sawit. Lahan gambut dikeringkan, jadi sangat mudah terbakar saat kemarau.

Jaringan Pantau Gambut yang rilis Juni 2017 ini mengajak sekitar 100 orang didominasi anak muda untuk mengenal gambut dan berkolaborasi pada acara Innovation and Collaboration Day. Tagline kampanye mereka, peatland is not wasteland pada 13 Desember di Jakarta.

Baca juga: Protes Aturan Gambut, RAPP Gugat Kementerian Lingkungan ke Pengadilan

Bagaimana cara menunjukkan gambut bukan lahan tak produktif, hanya untuk dibakar dan sumber bencana asap?

Ada sejumlah mata acara untuk menggugah ketertarikan pengunjung seperti mengenal komoditas di lahan gambut seperti anyaman purun Desa Bararawa, kopi liberika, sagu, jus buah, dan olahan lain. Ada sejumlah aktivis dan petani yang menunjukkan kekayaan hasil dari hutan gambut jika dibiarkan alami. Ada Papua Jungle Chef Charles Toto mengampanyekan “make sagu great again” sebagai siasat membuat gambut produktif sebagai lahan pangan.

“Sagu menghasilkan sumber air, bisa terbentuk ekosistem air tawar seperti ikan,” kata Toto. Dia juga demo masak hasil olahan sagu. Saat ini, katanya, pemerintah perlu mengendalikan pemberian izin untuk eksploitasi hutan.

“Gila sekali sawit di gambut. Ini pentingnya penyelamatan hutan gambut oleh mereka yang hidup atau jauh dari hutan gambut,” kata pria yang jadi koki turis dan peneliti saat masuk hutan Papua ini.

“Gambut jaga kita, kita jaga gambut,” teriak pengunjung sambil mengangkat gelas tumbler kampanye Pantau Gambut menyambut ajakan Toto.

 

Berbagai produk olahan dari lahan gambut. Foto: Lush De Suriyani/ Mongabay Indonesia

 

Rara Sekar dan Sandrayati Fay, duo biduan perempuan muda pengampanye lingkungan di panggung mendendangkan “Tanam Saja” lagu band dari Bali, Nosstress dan beberapa lagu lain yang merefleksikan syukur pada alam.

Mereka juga mengajak anak muda senang belajar sumber daya alam sendiri seperti gambut. “Daripada difungsikan untuk kepentingan industri jangka pendek,” kata Rara yang sebelumnya populer di duo Banda Neira.

Sandrayati mengingatkan, pengetahuan juga dimulai di kehidupan pribadi, misal, dengan mengenali produk-produk yang kurang mendukung pelestarian lingkungan dan mencari tahu pilihan lain.

Peserta juga diajak dalam diskusi-diskusi kelompok untuk memetakan inovasi dan kolaborasi apa yang melibatkan masyarakat. Anak-anak muda ibukota yang belum pernah melihat gambut ini diajak mendiskusikan pengembangan media kreatif untuk kampanye mengenalkan ekosistem gambut.

Anak-anak perkotaan termasuk negara tetangga hutan gambut Indonesia seperti Malaysia dan Singapura, mungkin tak tahu gambut tetapi menghirup polusi asap saat kebakaran.

Nadia Hadad dari Yayasan Madani Berkelanjutan, salah satu simpul jaringan Pantau Gambut mengatakan, tak mudah memulihkan gambut terbakar, perlu puluhan tahun.

Badan Restorasi Gambut (BRG) mendapat mandat presiden memulihkan lahan gambut seluas 2,4 juta hektar sampai 2020. Kerja-kerja ini perlu dipantau dan kolaborasi bersama.

Dia contohkan, mendorong pemberdayaan warga di lahan gambut untuk memanfaatkan sekaligus melestarikan, maupun menjaga alih fungsi oleh perusahaan.

Nadia bilang, banyak komoditas berguna dan bernilai ekonomi bisa hidup di lahan gambut seperti kelapa, nenas, sagu, kopi, dan banyak lain.

Jaringan ini memberi penghargaan pada tiga orang yang mewakili gerakan warga menjaga lahan gambut di Indonesia. Mereka adalah Charles Toto, Rina Syahputri, dan Resty Fauziah (masyarakat Bararawa).

Rina yang mewakili Riau Women Working Group mencatat, peran laki-laki dan perempuan yang saling melengkapi dalam pelestarian lahan gambut, misal, Masyarakat Peduli Api. Mereka siaga memadamkan api jika kebakaran. Ada juga kelompok pengelolaan lahan agar warga bisa mendapat manfaat dengan keragaman vegetasi.

Pantau Gambut melansir per 13 Desember 2018, menurut radar Lapan, ada delapan titik panas di kawasan gambut. Luas lahan gambut di Indonesia belum dapat dipastikan. Pada tahun 1992, Kusumo Nugroho, peneliti Pusat Penelitian Tanah Bogor, menarik informasi dari berbagai peta tanah Indonesia dan mengemukakan bahwa terdapat sekitar 15,4 juta hektar lahan gambut di Indonesia.

Lalu pada 2005, Wetlands International memperkirakan ada sekitar 20,6 juta hektar lahan gambut di Indonesia. Sedangkan pada 2011 memperkirakan ada sekitar 14,9 juta hektar lahan gambut. Dari 14,9 juta hektar, 6,4 juta hektar (43%) di Pulau Sumatera, 4,8 juta (32%) Kalimantan, dan Papua 3,7 juta hektar (25%). Indonesia salah satu pemilik hutan gambut terluas di dunia.

 

 

Keterangan foto utama:  Lahan gambut yang rusak di Desa Perigi TBaca juga: Gambut for Beginners, Tujuh Jawaban Penting untuk Pemula. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Jaringan pentau gambut ini memberi penghargaan pada tiga orang yang mewakili gerakan warga menjaga lahan gambut di Indonesia. Mereka adalah Charles Toto, Rina Syahputri, dan Resty Fauziah (masyarakat Bararawa).Foto: Luh De Suriyani/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version