Mongabay.co.id

Ketika Kebijakan Satu Peta Rilis, Bagaimana Akses Publik?

Pembukaan lahan untuk kebun sawit yang berkonflik dengan Komunitas Adat Laman Kinipan di Lamandau. Kinipan, perlu pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

Pada Selasa (11/12/18), jadi hari bersejarah bagi Indonesia. Hari itu, Presiden Joko Widodo, resmi meluncurkan Geoportal Kebijakan Satu Peta (one map policy). Kali pertama, Indonesia punya Satu Peta buat jadi acuan dalam tata kelola wilayah di negeri ini. Ia akan jadi landasan pembangunan nasional.

Baca juga: Penyusunan Satu Peta Masih Berjalan Lamban, Mengapa?

Banyak masalah tata kelola, seperti tumpang tindih, konflik lahan dan sumber daya alam, mendorong pemerintah untuk serius bikin Satu Peta. Sebelumnya, masing-masing kementerian dan lembaga sampai pemerintah daerah, punya peta sendiri-sendrii. Jokowi merasakan, kala empat tahun konsentrasi membangun infrastuktur banyak alami masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan.

”Makin tahu saya. Makin ke lapangan makin tahu, di mana-mana urusannya itu. Kita harapkan dengan Kebijakan one map policy ini, tadi yang saya sampaikan, tumpang tindih pemanfaatan lahan ini bisa kita selesaikan,” katanya dalam pidato peluncuran Geoportal Kebijakan Satu Peta dan Buku Kemajuan Infrastruktur Nasional, Selasa (11/12/18), di Jakarta.

Dengan Satu Peta ini terlihat pemetaan tumpang tindih di berbagai wilayah. Dia sebutkan, di Kalimantan, lahan tumpang tindih tercatat 10,43 juta hektar, atau 19,3% area di Kalimantan seluas 53,98 juta hektar. Luas lahan tumpang tindih di Sumatera 6,47 juta hektar atau 13,3% dari total 48,62 juta hektar.

Baca juga: Menanti Peta Wilayat Adat Masuk Kebijakan Satu Peta

Tak hanya penyelesaian tumpang tindih lahan, kata Jokowi, Satu Peta jadi landasan perencanaan pembangunan lebih akurat lagi, tak hanya berdasarkan data tetapi peta lebih detail. “Misal, peta konsesi dan kepemilikan, dan luasan konsesi.”

Melalui kebijakan ini, Indonesia akan memiliki satu standar, satu referensi, satu basis data, satu geoportal agar tak ada tumpang tindih, ada kepastian, kejelasan dan konsistensi dalam membangun negara ini.

Darmin Nasution, Menko Perekonomian mengatakan, kebijakan ini jadi dasar bagi perencanaan pembangunan dalam mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi ke depan.

”Kebijakan Satu Peta, salah satu program prioritas dalam Nawacita, yang bertujuan menyediakan satu peta yang akurat dan akuntabel,” katanya.

Sebanyak 83 dari 85 rencana peta tematik dari 19 kementerian dan lembaga maupun pemerintah daerah di 34 provinsi telah selesai kompilasi dan terintegrasi.

Dua peta tematik, yakni Peta Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN) masih proses penetapan dan peta batas administrasi desa/kelurahan difasilitasi BIG dan penetapan perlu tindaklanjut kepala daerah.

Dodi Slamet Riyadi, Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Ekonomi Kemenko Perekonomian mengatakan, soal penetapan peta tematik RTRLN ini masih menunggu peraturan pemerintah.

”Untuk peta batas desa ini paling berat. Hampir seluruh batas desa sekarang belum ada di geoportal kita. Padahal itu ada di amanat Perpres,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Kemenko Perekonomian pun mendorong Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan batas desa, karena memerlukan peraturan gubernur atau peraturan wali kota maupun peraturan bupati. ”Ini kita dorong agar 2019 harus ada progress.”

 

Pentingnya pelaksanaan Satu Peta. Ilustrasi: BIG

 

 

Peta ulayat belum selesai

Menurut Dodi, masih ada satu peta tematik yang belum, yakni, peta hak ulayat. Adapun, penyusunan ini dibantu mitra pembangunan, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk membantu peta partisipatif hak adat. Meski demikian, untuk masuk dalam geoportal harus memiliki wali data.

”Yang paling tepat untuk hak ulayat ini Kemendagri dan Kementerian ATR/BPN. Kalau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah hutan adat,” katanya.

Untuk wilayah adat di wilayah non hutan atau areal penggunaan lain, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN (KKATR/BPN) memiliki kewenangan menerbitkan sertifikat hak komunal, secara peta spasial oleh Kemendagri. Untuk wilayah hutan, dikenal dengan wilayah adat dalam kewenangan KLHK.

 

 

Tumpang tindih, Jokowi: hilangkan ego sektoral

Secara tegas, Jokowi pun meminta kementerian dan lembaga untuk melakukan penambahan peta tematik guna penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan. ”Segera manfaatkan peta indikatif tumpang tindih informasi geospasial tematik sebagai peta untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan,” pinta presiden.

Dia mengatakan, agar masing-masing kementerian dan lembaga segera memanfaatkan produk Satu Peta dalam perencanaan pembangunan berbasis spasial. Dalam implementasi, katanya, setiap kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah perlu bekerja sama, berkolaborasi dalam menyelesaikan isu-isu tumpang tindih.

“Hilangkan ego sektoral, karena kalau kita berkolaborasi, ini akan banyak menyelesaikan masalah di lapangan.”

Saat ini, Satu Peta, sudah masuk tahapan sinkronisasi. ”Kami sedang menyusun peta indikatif tumpang tindih, Kalimantan dan Sumatera,” kata Dodi.

Dia bilang, penyelesaian tumpang tindih sudah jadi amanat presiden. “Kepada kementerian, dan pemerintah daerah, harus menyelesaikan semua.”

Nanti, katanya, peta indikatif tumpang tindih ini akan ditetapkan oleh Surat Keputusan Kemenko Perekonomian sebagai peta kerja bagi para kepala pemerintahan untuk menyelesaikan tumpang tindih.

Dodi mencontohkan, kalau ada izin usaha pertambangan di wilayah konservasi, secara regulasi, tidak bisa. Kalau seluruh tumpang tindih maka harus dicabut.Kalau hanya sebagian, luasa IUP akan diciutkan.

Nantinya, kementerian wali data–, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan KLHK, yang harus menyelesaikan.

Keputusan sanksi pun, seperti pencabutan izin diambil berdasarkan kronologis dari sejarah lahan.

 

 

Lambat karena banyak kepentingan

Presiden Jokowi mengatakan, Satu Peta, berlarut-larut sampat beberapa tahun karena banyak pihak khawatir dengan kebijakan ini. ”Inilah kenapa bertahun-tahun kebijakan Satu Peta tak terealisasi. Karena banyak kepentingan-kepentingan dan ketakutan- ketakutan, serta kekhawatiran-kekhawatiran dari yang khawatir,” katanya.

Satu Peta ini, katanya, merupakan amanat dari paket kebijakan ekonomi kedelapan dan ditindaklanjuti melalui Peraturan Presiden Nomor 9/2016.

Presiden mengamanatkan, terkait urusan perizinan sudah memiliki peta digital hingga tak perlu lagi yang ada izin lokasi. Melalui kebijakan ini akan makin jelas peruntukan lahan dengan hanya satu kali klik.

“Kebijakan Satu Peta ini larinya akan ke mana-mana. Kita sudah berkomitmen bersama, ini harus jalan. Kalau di era big data seperti sekarang ini, malu kita kalau sampai belum ada yang namanya Satu Peta ini.”

Dodi membenarkan, Kementerian Koordinator Perekomonian perlu membangun kepercayaan dalam mengumpulkan data-data lintas kementerian dan lembaga.

Ada keragu-raguan dari beberapa kementerian maupun lembaga terkait data-data yang disetorkan. ”Nanti data saya bocor lagi,” cerita Dodi.

Pengumpulan data peta tematik dari seluruh elemen pemerintahan, katanya, tidaklah mudah. Dari data tak ada, kini sudah terintegrasi.

“Tahun 2019, kita sedang berkoordinasi dengan para wali data, data mana saja yang bisa di berbagi pakaikan di luar pemerintahan,” katanya.

Untuk peta potensial yang tak ada implikasi hukum, seperti peta irigasi, infrastruktur, pelabuhan, bandara, jalan raya terbuka untuk umum.

Dodi bilang, peta-peta yang punya implikasi penetapan hukum, yang ada status, seperti izin usaha, hak guna usaha, izin HTI maupun HPH dan lain-lain memang sulit untuk koordinasi agar ada keterbukaan informasi. Mungkin hanya sebatas polygon hak usaha, katanya, tak sampai kepemilikan.

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pelibatan publik dan prioritas daerah

Nirarta Samadhi, Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia mengatakan, pencapaian Satu Peta patut mendapat apresiasi karena untuk pertama kali pemerintah memiliki peta tematik otoritatif terstandar satu referensi dan terintegrasi dalam satu geoportal.

Otoritatif dalam pemahaman ini, katanya, berarti semua peta dikeluarkan berbagai instansi pemerintah sektoral yang memiliki legalitas sebagai wali data.     Memang, katanya, data belum lengkap dan tak ada peta-peta dalam geoportal yang bisa terakses publik.

Dia merekomendasikan Satu Peta memperbesar skala saat ini, yaitu 1:50.000 jadi antara 1:1000-1:10.000. ”Ini diperlukan mengingat, misal, kebutuhan sinkronisasi tumpang tindih konsesi atau batas wilayah membutuhkan peta lebih rinci yang hanya diperoleh melalui peta skala besar,” katanya.

Namun, katanya, rekomendasi itu akan memerlukan dukungan luas dari para pihak di luar lembaga pemerintahan, seperti soal pekerjaan pemetaan. ”Pperlu mendorong pelibatan publik dan penggunaan teknologi terkini dalam percepatan pemetaan skala besar.”

Begitu juga dalam proses sinkronisasi, pemerintah perlu menyiapkan mekanisme pelibatan publik dalam Satu Peta. Terutama, katanya, dalam sinkronisasi penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan yang pasti memerlukan pelibatan masyarakat secara intensif agar penyelesaian tuntas.

Dalam pelaksanaan penyelesaian tumpang tindih, kata Koni, sapaan akrabnya, WRI sependapat dengan arahan Menko Perekonomian agar pemerintah daerah menugaskan atau membentuk– jika belum ada–instansi khusus untuk mengelola Satu Peta. Meski demikian, katanya, perlu mengharmonisasikan dengan regulasi Kemendagri.

”Presiden perlu mengarahkan Kemendagri untuk menginstruksikan pemerintah daerah menyiapkan IG (informasi geospasial-red) kelembagaan pengelolaan sesuai variasi kapasitas dan kebutuhan di daerah, tentu dengan pembinaan BIG dan Menko Perekonomian,” katanya kepada Mongabay.

Upaya ini, katanya, penting karena urusan IG belum disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No18/2016 tentang Perangkat Daerah. Hingga instansi daerah sebagian besar tak jadikan Satu Peta dan JIGN sebagai agenda prioritas.

Berdasarkan kajian BIG, ada empat opsi kelembagaan di daerah dalam mengimplementasikan Satu Peta ini (Unit Pelaksana Teknis Daerah/UPTD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Komunikasi Informasi dan Statistik (Diskominfotik), serta tim ad-hoc di bawah sekretaris daerah. Sedangkan, beberapa UPTD pengelola IG telah dihapuskan demi perampingan organisasi perangkat daerah.

Musnandar Satar, Natural Resource Planning Manager The Nature Conservancy Indonesia (TNC) mengapresiasi peluncuran Satu Peta ini. ”Ini langkah maju dari sebelumnya, karena mampu mengintegrasikan data lintas kementerian dan lembaga,” katanya.

Masalah tumpang tindih, seperti disebutkan Jokowi, Musnandar menekankan harus memperhatikan tumpang tindih lahan dengan masyarakat. ”Masyarakat harus jadi satu bagian komponen penting yang harus diperhatikan dan subyek dalam penyelesaian tumpang tindih itu.”

Masalah tumpang tindih lahan ini, katanya, menyangkut banyak kepentingan, di mana masing-masing memiliki peta berbeda satu dengan yang lain.

Harapannya, melalui kebijakan ini pula jadi sebuah kesempatan memberikan pengakuan kepada hak kelola masyarakat dan masyarakat adat.

Dia menegaskan, pandangan atau visi dari Satu Peta ini untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih lahan dan transparansi data penting. Ia harus jadi visi bagi jajaran di bawahnya. Sebelum itu, katanya, pemerintah daerah harus melek spasial untuk kerja di lapangan.

Kalau transparansi informasi data ini tidak jalan hingga level bawah, katanya, kebijakan ini tak akan mengubah atau tak berpengaruh apapun.

Pemahaman peta dan transparansi, katanya, juga jadi penting bagi lembaga pemerintah dalam menerjemahkan Satu Peta. Jadi, tak hanya memberikan informasi dalam bentuk portal data, juga perlu memperkenalkan bagaimana data dan informasi digunakan.

”Pemilik kebijakan harus melek spasial agar mengetahui bahwa masalah ini sangatlah penting.”

Mengenai permasalahan izin yang saling terintegrasi antara satu kementerian dengan kementerian lain, dari pusat dan daerah, Musnandar merekomendasikan, perlu ada aturan yang mengakomodir kebijakan dengan level ini.

 

Keterangan foto utama:    Pembukaan lahan untuk kebun sawit oleh perusahaan besar yang berkonflik dengan Komunitas Adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalimantan Tengah. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Data-data peta yang tersedia dalam laman Kebijakan Satu Peta

 

Exit mobile version