Mongabay.co.id

Pemalsuan Dokumen Kependudukan Masih Sulit Dihentikan?

Pemerintah Indonesia berhasil mengusir para pelaku pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia sejak 2014. Tetapi, prestasi tersebut masih tercoreng dengan kegagalan Pemerintah menghentikan aksi pemalsuan dokumen milik warga negara asing (WNA) Filipina yang dilakukan oknum dari Indonesia. Pemalsuan dokumen tersebut dilakukan untuk keperluan pekerjaan para WNA tersebut di wilayah perairan Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengakui, hingga saat ini diperkirakan masih ada sekitar 1.000 WNA Filipina yang berhasil mendapatkan dokumen palsu berupa kartu tanda penduduk (KTP). Dokumen penting itu, diakuinya sudah diterbitkan oleh beberapa daerah di Indonesia. Namun, dia tidak merinci daerah mana saja yang sudah menerbitkannya.

“Hingga saat ini, para pemilik KTP palsu tersebut masih bekerja di perusahaan perikanan di sejumlah lokasi di Indonesia. Mereka semua bisa bekerja, setelah mendapatkan KTP Indonesia dengan cara tidak benar,” ungkapnya, akhir pekan lalu di Jakarta.

Menurut Susi, WNA Filipina yang sudah memiliki KTP Indonesia tersebut rerata bekerja menjadi anak buah kapal (ABK) di berbagai perusahaan perikanan, baik yang sudah besar maupun sedang merintis. Keberadaaan mereka, terlarang karena sektor perikanan tangkap tidak boleh mempekerjakan WNA, meski sudah memiliki KTP Indonesia.

“Kita sedang selidiki kasus ini, karena hingga saat ini masih dipekerjakan perusahaan perikanan Indonesia. Saya ingin highlight soal KTP ABK asing ini,” tegasnya.

baca :  6.000 ABK Filipina Miliki KTP Palsu di Indonesia Timur

 

Kapal penangkap ikan di Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Susi mencontohkan, beberapa waktu lalu pemalsuan dokumen kependudukan untuk WNA berhasil terungkap dan dilakukan ooleh pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara Nancy Sinombor. Di tangan dia, sejumlah WNA Filipina yang berprofesi sebagai nelayan berhasil dibuatkan KTP palsu.

Dalam menjalankan aksinya, Nancy diketahui pernah membuatkan dokumen kependudukan palsu untuk 11 ABK yang bekerja untuk KM D’Von. Kesebelas ABK tersebut, dibuatkan KTP dengan alamat yang sama, yakni di Kelurahan Aertembaga Satu, Kota Bitung. Selain itu, dalam KTP, kesebelas WNA tersebut juga memiliki identitas sama, yakni belum menikah, pekerjaan sebagai nelayan perikanan, dan menggunakan nama marga Sulawesi Utara.

 

Nama Lokal

Untuk pembuatan 11 KTP milik 11 orang WNA Filipina itu, Nancy diketahui mematok biaya pembuatan sebesar Rp500 ribu orang per orang. Itu artinya, untuk 11 KTP milik WNA, dia sudah mendapatkan pemasukan sebesar Rp5,5 juta. Jumlah pemasukan akan semakin menggelembung, jika dokumen yang dibuatkan untuk WNA semakin banyak jumlahnya.

Penggunaan nama marga Sulut, diketahui lazim digunakan oleh WNA Filipina yang ingin mendapatkan KTP Indonesia. Modus tersebut digunakan sebagai bagian dari samaran sebagai orang SAPI, yaitu warga keturunan Filipina yang lama menetap di Sangir, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Biasanya, orang lokal menyebut mereka dengan sebutan orang SAPI.

Kasus pemalsuan dokumen tersebut berhasil diungkap ke publik pada akhir 2016 dan langsung diproses secara hukum. Setahun sebelumnya, atau pada 2015, aktivitas pemalsuan dokumen tersebut sudah mulai tercium oleh Pemerintah Indonesia dan diperkirakan jumlahnya mencapai 6.000 orang WNA dan menyebar di berbagai wilayah di kawasan Timur Indonesia seperti Sulut, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat

Susi Pudjiastuti mengatakan, pemalsuan dokumen kependudukan Indonesia oleh WNA Filipina tersebut, banyak dilakukan oleh mereka yang tinggal dan berasal dari General Santos, Filipina. Kota tersebut diketahui memang berdekatan dengan Bitung dan karenanya banyak perusahaan, pemilik kapal, dan nelayan yang berlalu lalang untuk bekerja pada industri perikanan Bitung.

baca juga :  Tiga Perusahaan di General Santos Terlibat dalam Pemalsuan KTP ABK Filipina? 

 

Suasana penangkapan ikan diatas perahu pajeko yang melaut di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly

 

Padahal, Susi menyebutkan, pemalsuan dokumen merupakan tindakan pidana yang diatur dalam Undang-Undang No.24/2013 tentang Administrasi Kependudukan. Di dalam pasal 93 UU tersebut, dijelaskan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan atau paling banyak denda Rp50 juta untuk pemalsuan dokumen kependudukan.

“Dan, ancaman pidana penjara paling lama enam tahun seperti ditulis dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP,” tegasnya.

Pemalsuan dokumen yang masih berlangsung hingga kini, menurut Susi, menjadi satu dari tiga kasus yang ditangani tim Satuan Tugas Pemberantas Penangkapan Ikan secara Ilegal (Satgas 115) sepanjang 2018. Dua kasus lainnya, adalah perdagangan orang dan perkara imigrasi.

Selain ketiga kasus tersebut, sepanjang 2018, Satgas 115 juga berhasil memproses tindak pidana seperti kasus penggunaan alat penangkapan ikan (API) yang dilarang, kapal tanpa surat izin usaha perikanan (SIUP), kapal yang dimodifikasi tanpa izin, dan juga sejumlah pelanggaran lainnya yang berkaitan dengan sektor perikanan.

Untuk kapal ilegal yang berlayar di perairan Indonesia, sepanjang 2018 Satgas 115 berhasil mengamankan sebanyak 106 kapal yang terdiri dari 54 kapal berbendera Indonesia, 38 kapal berbendera Vietnam, 8 kapal berbendera Filipina, 5 kapal berbendera Malaysia, dan 1 kapal berbendera Togo.

“Bendera ini tidak mencerminkan asal negara dari kapal-kapal tersebut. Mayoritas memang mencerminkan asal negara, tapi kadang ada bendera Malaysia nelayannya Thailand, ada Myanmar. Seperti satu kapal berbendera Togo ini, pasti bukan kapalnya Togo. Pasti kapal dari Asia juga. STS-50 itu memang yang dipakai bendera Togo. Tapi di kapalnya ada delapan bendera lainnya,” papar dia.

baca :  Kejahatan Perikanan Sudah Melaju Semakin Jauh, Seperti Apa Itu?

 

Penenggelaman kapal asing

 

Berbagai Pelanggaran

Secara keseluruhan, Susi menyebutkan, kinerja Satgas 115 sepanjang 2018 mencakup 76 kasus Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF), 48 kasus multidoor (penegakan hukum dengan menggunakan berbagai peraturan perundang-undangan), dan 10 kasus advokasi nelayan kecil. Dari total perkara, 73 perkara telah berkekuatan hukum tetap, 9 perkara masih dalam tahap pemeriksaan pengadilan, dan sisanya masih dalam tahap penyidikan dan penuntutan.

“Total potensi pemasukan negara dari pidana denda adalah sebesar Rp24,951 miliar dan Rp28,933 miliar dari hasil pelelangan barang bukti ikan hasil rampasan,” tuturnya.

Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa mengatakan, upaya untuk mengawal lautan Indonesia sepanjang 2018 juga membuahkan hasil manis, karena kapal pelaku penangkapan ikan secara ilegal sudah berkurang lagi dibandingkan pada 2017. Pada 2018, kapal pelaku penangkapan ikan secara ilegal jumlahnya 106 kapal, sementara pada 2017 mencapai 294 kapal.

“Temuan ini mengindikasikan berkurangnya aktivitas IUUF di Indonesia, terutama oleh kapal ikan berbendera asing,” ungkapnya.

Kemudian, Achmad Santosa menjelaskan, Satgas 115 pada Agustus 2017 hingga Desember 2018 sudah melaksanakan analisis dan evaluasi kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di Indonesia (Kapal Ikan Indonesia) dan tersebar ddi 11 lokasi tersebar. Hasil anev menunjukkan masih ada berbagai pelanggaran yang dilakukan para pembuat kapal.

Untuk itu, Achmad Santosa mengatakan, Satgas 115 akan memberlakukan kebijakan pengawasan kepatuhan, baik untuk kapal dengan izin pusat maupun daerah sebagai bagian dari Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK). Pengawasan kepatuhan ini akan memaksimalkan fungsi pengawas perikanan, kegiatan pengawasan rutin dan berkala, serta penerapan sanksi administratif dan pidana sesuai dengan kategori pelanggarannya.

Terakhir, walau sudah berhasil memberantas IUUF sejak 2014, KKP dan Satgas 115 terus melaksanakan pemberantasan aktivitas ilegal tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menyelesaikan kapal eks asing yang telah dilarang beroperasi. Untuk keperluan tersebut, Pemerintah Indonesia mendorong para pemilik kapal eks asing untuk segera melakukan deregistrasi kapal mereka masing-masing.

Dengan demikian, menurut Susi Pudjiastuti, komitmen untuk mempercepat proses penerbitan penghapusan Buku Kapal Perikanan dan Surat Keterangan Penghapusan Kapal dari Daftar Kapal Indonesia bisa segera dilakukan. Penerbitan tersebut untuk kepentingan penjualan kapal eks-asing untuk dioperasikan atau ditutuh (scrap) di luar negeri.

“Indonesia ini juga sangat aktif mengampanyekan kejahatan perikanan sebagai Transnational Organized Crime (TOC) in the Fishing Industry. Kita membawa advokasi fisheries crime di forum forum internasional,” pungkasnya.

 

Exit mobile version