Mongabay.co.id

Belum Ada Aturan Jelas soal Buangan Limbah PLTU ke Laut

Batubara dalam negeri terserap, salah satu sebagai sumber energi buat PLTU. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Regulasi soal limbah buangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara pada perairan, sungai dan laut masih lemah. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8/2009 tentang Baku Mutu Air Limbah Pembangkit Thermal ini, dianggap masih longgar dan belum memastikan laut terbebas dari cemaran limbah cair.

Saat ini, 91% PLTU batubara terletak di wilayah pesisir dengan kapasitas listrik 24.435,96 megawatt (MW). Berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL), tahun 2018-2027, sebanyak 82% PLTU dengan kapasitas 44.047 MW berada di pesisir.

Banyaknya, PLTU berada di pesisir karena operasi memerlukan air banyak. Berdasarkan penelitian Greenpeace 2013, jumlah air dipasok 8.359 liter. PLTU banyak di pesisir laut ini sangat rentan pencemaran.

”Tidak ada baku mutu air limbah PLTU batubara yang dibuang ke laut membuat tak ada jaminan perlindungan ekosistem pesisir dan laut,” kata Angela Vania, Peneliti Divisi Pesisir dan Maritim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), di Jakarta.

Berdasarkan analisis ICEL, peraturan baku mutu air limbah PLTU batubara saat ini masih longgar hingga tak mampu mencegah pencemaran dan atau kerusakan ekosistem pesisir dan laut.

”Aturan ini (Permen LH Nomor 8/2009-red) tak mengatur air laut hingga tak bisa jadi acuan baku mutu air limbah PLTU batubara dibuang ke laut,” katanya.

Regulasi itu, memiliki kekurangan, antara lain perameter suhu limbah bahang terlalu longgar untuk dapat mewujudkan baku mutu suhu air laut, membolehkan kenaikan suhu 40 derajat Celcius saat buang ke badan air penerima limbah. Ia berbeda dengan baku mutu suhu air laut di Keputusan Menteri LH Nomor 51/2004 yang membolehkan kenaikan suhu tak lebih dari dua derajat Celcius.

Kalau suhu rata-rata air laut di Indonesia, 29,5 derajat Celcius, kenaikan suhu air laut seharusnya tak lebih 31,5 derajat Celcius. Dampaknya, terjadi kenaikan suhu air laut, turunkan kadar oksigen dalam laut dan kurangi kualitas ekosistem laut, biota laut akan stres bahkan mati.

”Ini khawatir berdampak pada perubahan pola migrasi dan reproduksi biota laut,” katanya.

 

Batubara diperlukan untuk PLTU Pangkalan Susu sebanyak 5.000 ton perhari. Bongkahan yang jatuh ke laut mengancam keragaman hayati yang ada. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Dampak lain terkait air limpasan dan air lindi dari penyimpanan batubara pun tak diatur dalam Permen LH Nomor 8/2009. Jika tempat penyimpanan batubara dalam keadaan terbuka, batubara yang terkena air hujan akan menghasilkan air limpasan dan air lindi.

Air limpasan adalah air hujan yang mengalir di permukaan tumpukan batubara dan membawa serbuk yang menempel pada badan batubara. Sedangkan, air lindi adalah yang mengandung organik dan anorganik elemen hasil pencucian batubara dan masuk ke tanah atau badan air lain.

”Timbulan air lindi dan limpasan ini bersifat beracun bagi tanaman, ikan, margasatwa, dan serangga akuatik serta menurunkan kualitas badan air penerima hingga tak layak untuk jadi sumber air minum dan sumber rekreasi,” katanya.

Pasalnya, mengandung logam berat seperti seng, timbal, aluminium, arsen dan tembaga.

ICEL pun mendesak Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK) menyusun, aturan baku mutu air limbah PLTU batubara, antara lain, pertama, menetapkan parameter suhu limbah bahang yang sama dengan parameter suhu dalam baku mutu air laut, yaitu 31,5 derajat Celcius.

”Apabila standar itu sulit dipenuhi karena ketidakmampuan teknologi, dapat ditetapkan baku mutu alternatif dengan melihat karakteristik ekosistem pesisir dan laut yang jadi lokasi PLTU batubara dan maksimal suhu limbah bahang 34,5 derajat Celcius,” katanya. Kedua, menetapkan parameter logam berat untuk sumber coal stockpile.

MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan KLHK menilai, aturan baku mutu air limbah sudah ada regulasinya.

”Permen LH Nomor 8/2009 di dalamnya ada baku mutu air limbah untuk pembangkit berbahan bakar batubara.”

Di mana saja lokasi pembangkitnya, kata Karliansyah, air limbah harus memenuhi baku mutu sesuai diatur dalam regulasi itu.

”Jika mereka meminta izin membuang air limbah ke laut, pemberian izin beserta kewajiban persyaratan harus didasarkan atas hasil kajian daya dukung dan tampung perairan laut penerimanya,” katanya kepada Mongabay.      

Analisa yang dikeluarkan melalui kertas kebijakan dengan judul urgensi peraturan khusus mengenai baku mutu pembuangan air limbah PLTU batubara ke laut ini mengkaji aturan lain, antara Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51/2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Juga Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8/2009 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha atau kegiatan pembangkit listrik tenaga thermal dan Peraturan MenLH Nomor P.63 tahun 2016 tentang persyaratan dan tata cara penimbunan limbah bahan berbahaya dan beracun pada fasilitas penimbunan akhir.

Angela Vania mengatakan, kalau tak ada upaya pencegahan PLTU baturara, baik yang sudah beroperasi maupun yang akan tambah, potensi pencemaran ekosistem pesisir dan laut makin besar.

 

Keterangan foto utama:    Batubara dalam negeri terserap, salah satu sebagai sumber energi buat PLTU. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version