Mongabay.co.id

Apa Ancaman Sektor Kelautan Indonesia di Tahun 2019?

Pada pertengahan tahun 1980-an, FAO telah mengirimkan sinyal peringatan terhadap sektor perikanan tangkap di laut dan samudra di dunia. Bahwa, dari waktu ke waktu, hasil tangkapan cenderung stagnan atau bahkan turun. Data tahun 2002-2003 menunjukkan, produksi ikan dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya sudah mulai sama setara.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara tetangga Indonesia seperti Filipina, Vietnam dan Thailand juga cenderung mengalami penurunan produksi ikannya. Itu terjadi, karena sebagian ikan yang ditangkap dari “spanyol” alias separuh nyolong atau setengah mencuri. Penurunan produksi terjadi, karena sejak empat tahun belakangan, pemerintah melakukan operasi besar-besaran terhadap praktik illegal fishing di perairan Indonesia.

Demikian disampaikan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nilanto Perbowo saat meresmikan Kantor Stasiun Pengawasan Sumberdaya Kalautan dan Perikanan (PSDKP) Cilacap yang memiliki wilayah kerja Jawa Tengah (Jateng), DIY dan sebagian Jawa Timur (Jatim). “Indonesia dikenal oleh komunitas global sebagai salah satu negara yang memiliki potensi perikanan tangkap yang begitu besar. Karena itulah, pemerintah membentuk Satgas 115 yang terdiri dari berbagai unsur baik pemerintah, TNI dan Polri untuk melakukan operasi terhadap praktik penangkapan ikan ilegal,”tegas Nilanto yang juga Pelaksana tugas (Plt) Dirjen PSDKP KKP tersebut pada Selasa (8/1) di Cilacap, Jateng.

baca :  Empat Tahun Kepemimpinan Joko Widodo, Bagaimana Capaian Sektor Kelautan dan Perikanan?

Hingga akhir 2018, kata Nilanto, KKP  telah menggelamkan 463 kapal yang melakukan illegal fishing. Dari 463 kapal tersebut, umumnya adalah kapal-kapal asing. Pihaknya juga masih memproses 150 kapal asing dan dalam negeri sambil menunggu putusan pengadilan. “Kalau ditanya, apakah nanti akan ditenggelamkan atau tidak, semuanya adalah putusan pengadilan. Jika putusannya adalah ditenggelamkan, maka hal itu akan dilaksanakan,”tandasnya.

Nilanto juga menyebutkan kalau selama tahun 2018, KKP berhasil mengamankan 106 kapal yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal. Rinciannya, 41 kapal perikanan asing (KIA) dan 65 kapal perikanan Indonesia (KII). Penangkapan dilaksanakan oleh 34 kapal pengawas perikanan yang dimiliki KKP saat sekarang. “Khusus untuk KIA yang ditangkap, 29 di antaranya adalah kapal berbendera vietnam, kemudian 7 kapal berbendera Malaysia dan kapal berbendera Filipina ada 5 unit. Operasi pengawasan illegal fishing ini diintegrasikan dengan operasi udara serta informasi masyarakat dari SMS Gateaway,”jelasnya.

baca :  Penegakan Hukum di Atas Laut Sudah Berjalan Baik?

 

Nelayan kecil di Cilacap, Jateng, melaut meski cuaca di perairan Cilacap tidak kondusif. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, data-data tersebut sebagai sumber informasi bagi Kapal Pengawas Perikanan untuk melakukan operasi di laut. Sementara ini cukup efektif untuk memberantas praktik-praktik penangkapan ikan secara ilegal. “Tahun 2019, ancaman untuk sektor kelautan di Indonesia masih relatif sama. Yakni illegal fishing, baik yang dilakukan oleh kapal asing maupun  kapal dalam negeri,”ujarnya.

Dikatakannya, praktik penangkapan ilegal diprediksi masih menjadi ancaman lantaran kondisi ikan di laut wilayah Asia sudah cukup berat. Hal itu ditandai dengan menurunnya pendapatan di sejumlah negara, sebagai contoh adalah Vietnam, Filipina, Thailand. Apalagi negara-negara Asia lainnya telah melakukan penangkapan ikan secara besar-besaran sudah sejak lama, sedangkan sumberdaya lautnya terbatas dan tidak sebaik yang dimiliki oleh Indonesia. “Negara lain yang sumberdaya perikanannya surut, mulai melakukan penegakan hukum, menerbitkan peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan serta mengatur penggunaan alat tangkap,”ujarnya.

Sedangkan persoalan di dalam negeri, lanjut Nilanto, adalah masih adanya nelayan yang menggunakan berbagai peralatan yang dilarang saat menangkap ikan. Di antaranya adalah bom, listrik dan obat bius. Sehingga hal itu dapat berdampak buruk bagi perkembangbiakan ikan. “Kita sudah melakukan pelarangan alat tertentu untuk memangkap ikan. Sudah ada aturannya. Kalau itu tidak dilaksanakan, tentu juga menjadi ancaman besar. Pengaturan melaut, juga masih sering dilanggar. Misalnya untuk kapal besar yang seharusnya melaut dengan jarak lebih dari 12 mil laut atau jalur 3, ternyata masih ada yang di jalur 1 dan 2 atau jarak kurang dari 12 mil laut. Padahal, di jalur 1 dan 2 merupakan wilayah nelayan dengan kapal kecil,”jelasnya.

Menurutnya, di tahun 2019, masih ada sejumlah wilayah yang menjadi fokus pemantauan dan pengawasan di antaranya adalah perairan Natuna, perairan utara Sulawesi Utara, kemudian di Papua bagian barat dan utara, Selat Malaka serta Samudra Hindia sebelah barat Pulau Sumatra. Di titik-titik tersebut, rawan terjadinya illegal fishing. “Untuk mengantisipasinya, Satgas 115 akan terus melakukan operasi pengawasan dan penindakan. Di sisi lain, kini KKP telah memiliki 14 unit pengawasan yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Yakni Lampulo-Aceh, Batam-Kepulauan Riau, Jakarta, Benoa-Bali, Bitung-Sulawesi Utara, Tual-Maluku, Kupang, Belawan, Pontianak, Tarakan, Tahuna, Ambon, Biak dan yang baru diresmikan Cilacap,”paparnya.

baca juga :  Ini Contoh Sukses Perikanan Berkelanjutan dari Nelayan Skala Kecil

 

Produksi Perikanan Tangkap. Sumber : KKP

 

Sementara Sekretaris Ditjen PSDKP Waluyo Sejati Abutohir menambahkan dengan adanya Kantor Stasiun PSDKP tersebut dengan wilayah Jateng, DIY dan sebagian Jatim akan dapat mengawasi kondisi Samudra Hindia sebelah selatan Jateng, DIY hingga sebagian Jatim. “Ada indikasi kuat praktik penangkapan ilegal ikan di wilayah perairan selatan Samudra Hindia, sehingga harus diantisipasi. Selain itu, ada potensi juga transshipment atau bongkar muat ikan di tengah laut. Salah satu tugas dari kantor stasiun adalah melakukan pengawasan itu,”jelasnya.

Selain itu, lanjut Waluyo, penguatan kelembagaan ini juga dapat meningkatkan pengawasan penangkapan benih lobster yang tidak sesuai ketentuan, pengawasan konservasi perairan dan pemasangan alat pengumpul ikan atau rumpon yang diduga banyak dipasang di perairan selatan Jateng. “Itu untuk wilayah perairan selatan. Kami juga tengah melakukan kajian Pelabuhan Lomanis di Cilacap sebagai tempat sandar kapal nantinya,”ujarnya.

Waluyo menyatakan kalau Kantor Stasiun PSDKP diharapkan masih akan ditambah lagi, mengingat luasnya perairan Indonesia, setidaknya ada di tiga titik lagi. Semisal di Natuna, Merauke dan Morotai. “Di Natuna, misalnya, saat sekarang di-cover dari Batam. Sehingga kalau untuk ke Natuna, membutuhkan waktu sehari semalam, sehingga kurang efektif. Sehingga, kami akan mengusulkan lagi di Natuna untuk efektivitas pengawasan dan pergerakan,”tandasnya.

baca :  Mengapa Cuaca Ekstrem Terjadi di Samudra Hindia Selatan Jawa?

 

 

Hasil Tangkapan Meningkat

Dengan adanya regulasi mengenai pengaturan wilayah melaut, peralatan yang digunakan serta adanya operasi illegal fishing, kini hasil tangkapan ikan laut di seluruh wilayah di Indonesia mengalami peningkatan signifikan. “Setiap saya jalan ke daerah, para nelayan senang. Kalau dulu dalam sepakan bisa 3-5 hari melaut, tetapi kini waktu melaut kurang dari itu. Namun, jumlah tangkapan lebih meningkat saat sekarang. Ukuran ikan yang diperoleh juga lebih besar,”ungkap Nilanto.

Ia mengatakan kalau KKP mengeluarkan berbagai macam regulasi, tidak lain adalah untuk tetap berpihak kepada masyarakat kecil. Sehingga dari data yang ada, PDB nelayan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan dalam empat tahun terakhir. Hal itu berbeda dengan negara tetangga yang justru mengalami penurunan.

Ketua KUD Mino Saroyo Cilacap Untung Jayanto juga mengakui kalau transaksi ikan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. “KUD Mino Saroyo Cilacap memiliki 8.300 anggota nelayan. Mereka menangkap dan menjual ke 8 tempat pelelangan ikan (TPI) yang dikelola oleh KUD Mino Saroyo. Dalam beberapa tahun terakhir, hasil tangkapan di Cilacap mengalami peningkatan cukup signifikan. Ada beberapa faktor, di antaranya adalah cuaca dan penertiban illegal fishing maupun aturan melaut,”jelas Untung.

Menurutnya, pada 2018 jumlah produksi perikanan tangkap dari 8 TPI yang ada di Cilacap mencapai 12 ribu ton dengan total transaksi sekitar Rp90 miliar. “Transaksi hingga Rp90 miliar di tahun 2018 merupakan rekor baru. Setiap tahunnya, nilai transaksi mengalami lonjakan. Misalnya, tahun 2017 tercatat sekitar Rp72 miliar dan tahun 2016 lalu hanya mencapai Rp54 miliar. Alhamdulillah, setiap tahunnya mengalami peningkatan cukup signifikan,”ujarnya.

Dari 8 TPI di bawah KUD Mino Saroyo, transaksi lebih dari 50% disumbang oleh tiga TPI, di antaranya adalah Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap (PPSC), TPI Tegalkatilayu dan TPI Sidakaya. “Jumlah tangkapan di Samudra Hindia sebelah selatan Cilacap sangat bergantung dengan cuaca. Kalau untuk bulan Januari-Februari, misalnya, itu menjadi masa paceklik bagi nelayan. Nantinya akan mulai bagus lagi pada bulan Juni dan puncaknya pada September. Mudah-mudahan tahun 2019 tidak ada cuaca esktrem, sehingga hasil tangkapan semakin melonjak jumlahnya,”ungkap Untung.

 

Nelayan Cilacap, Jateng, bersiap melaut di Pantai Teluk Penyu. Dalam beberapa waktu terakhir, hasil tangkapan ikan nelayan Cilacap mengalami peningkatan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana di tingkat Jateng?

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pemprov Jateng  Lalu M Syafriadi juga menyatakan kalau hasil perikanan tangkap di seluruh Jateng terus mengalami lonjakan. “Salah satu faktor melonjaknya hasil tangkapan adalah regulasi yang dikeluarkan oleh KKP, maupun maraknnya (keberhasilan) operasi illegal fishing oleh Satgas 115. Tahun 2018, hasil tangkapan di Jateng mengalami kenaikan 10% jika dibandingkan dengan pada 2017 yang mencapai 322 ribu ton. Produksi perikanan tangkap di Jateng didominasi oleh hasil tangkapan dari Laut Jawa atau wilayah pantura Jateng. Terutama dari pelabuhan perikanan besar di tempat daerah yakni Pati, Rembang, Batang dan Tegal. Sedangkan pasokan dari Samudra Hindia wilayah selatan Jateng berasal dari PPSC Cilacap,”kata Lalu.

Menurut Lalu, ikan yang diperoleh nelayan adalah tongkol, cakalang, tuna, cumi dan lainnya. “Dari hasil tangkapan di Jateng, ada 10% yang diekspor ke manca negarta seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang dan lainnya. Pada umumnya, sudah dalam bentuk olahan seperti olahan tuna, olahan cakalang dan lainnya. Ada yang segar, tetapi tidak lagi utuh. Misalnya untuk udang, sudah tidak ada kepalanya. Jadi, hampir seluruh ikan yang diekspor sudah dalam bentuk olahan. Sehingga ada nilai tambahnya,”tandas Lalu.

 

Exit mobile version