Mongabay.co.id

Ancaman Mikroplastik Semakin Nyata di Kawasan Pesisir Indonesia. Seperti Apa?

Lautan sampah plastik yang mengambang di Pulau Roatan, Karibia, Honduras. Foto : AFP/aawsat.com

Setiap tahun laut Indonesia diperkirakan mendapat kiriman berupa sampah plastik bekas konsumsi manusia dengan jumlah antara 100 ribu ton hingga 400 ribu ton. Kiriman sampah itu, memastikan bahwa manusia menjadi produsen sampah paling dominan di bumi ini. Asumsi sederhana namun kasar itu, didapat melalui penelitian yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Banyaknya produksi sampah, terutama plastik yang dikirim ke lautan Indonesia, secara langsung ikut menjadikan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan kotor dan penuh sampah. Apalagi, dari hasil penelitian, didapatkan fakta bahwa sampah yang ada di kawasan pesisir didominasi oleh plastik dengan prosentase antara 36 hingga 38 persen.

Peneliti Kimia Laut dan Ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Reza Cordova menyatakan, dari semua sampah yang masuk ke laut Indonesia, sebagian besar terdiri dari plastik dan karet, logam, kayu olahan, kain, lainnya, dan bahan yang berbahaya. Semua sampah itu, dibawa oleh aliran sungai dan juga beragam aktivitas manusia.

“Namun, dominasi bahan plastik masih sulit digeser oleh sampah yang berasal dari material lain,” ucapnya pekan lalu, di Jakarta.

baca :  Air Laut Indonesia Sudah Terpapar Mikroplastik dengan Jumlah Tinggi, Seperti Apa?

 

Partikel mikroplastik dapat termakan secara tak sengaja oleh indukan maupun anakan Coelacanth yang merupakan ancaman nyata. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Mengingat banyaknya sampah yang berkumpul di kawasan pesisir, Reza mengingatkan kepada semua pihak untuk bisa sama-sama menjaga lingkungan sedari usia dini. Perhatian dari masyarakat, menjadi sangat penting karena itu bisa mengubah gaya hidup yang biasa dijalankan. Semakin tinggi kesadaran untuk menjaga lingkungan, maka perlindungan akan semakin baik.

Berkaitan dengan sampah laut, khususnya sampah plastik dan mikroplastik, Reza menuturkan bahwa keterlibatan semua pihak, dari Pemerintah hingga masyarakat adalah hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi. Salah satu cara menanggulangi sampah jenis tersebut, masyarakat dihimbau untuk bisa mengurangi konsumsi plastik, terutama yang sekali pakai dan menghindari penggunaan mikroplastik dalam bahan kosmetik.

“Sehingga itu membantu kelestarian laut Indonesia dan dunia,” sebutnya.

baca juga :  Ditemukan 5,9 Kg Sampah Dalam Perut Paus Sperma di Wakatobi. Kok Bisa?

 

Paparan Mikroplastik

Untuk kajian yang dilakukan LIPI sendiri, Reza mengatakan bahwa itu dilaksanakan di 18 pantai yang sudah dipilih. Semua pantai itu menjadi titik utama untuk dilakukan penelitian dan pemantauan setiap bulan. Selama melakukan penelitian, pemantauan sampah terdampar diakuinya menjadi salah satu perhatian utama yang dilakukan oleh tim.

Selain pemantauan sampah terdampar, Reza mengungkapkan, tim juga menjadikan 13 lokasi pesisir sebagai kawasan uji sampel mikroplastik di permukaan air. Kemudian, ada juga delapan lokasi untuk pengujian mikroplastik di sedimen dan 10 lokasi untuk pemantauan satu genus ikan (Stolephorus sp) atau ikan teri. Dari semua aktivitas pemantauan itu, ditemukan fakta bahwa mikroplastik bisa ditemukan pada seluruh lokasi kajian, baik pada permukaan air, sedimen, maupun pada tubuh ikan.

Menurut Reza, mikroplastik terbanyak ditemukan pada permukaan air Sulawesi Selatan dan Teluk Jakarta dengan rerata 7.5 hingga 10 partikel per meter kubik. Kemudian, pada sedimen yang diteliti di perairan Aceh, Sulawesi Selatan dan Biak, Papua, ditemukan lebih dari 100 partikel per kilogram. Terakhir, dari hasil penelitian juga ditemukan mikroplastik pada ikan teri dengan 0,25 hingga 1.5 partikel per gram. “Atau antara 58 hingga 89 persen pada setiap ikan teri,” ucapnya.

Secara keseluruhan, dari hasil penelitian yang sudah dilakukan itu, ditemukan adanya hubungan positif antara kepadatan penduduk dengan sampah plastik dan mikroplastik pada lingkungan. Kemudian, dari penelitian juga didapatkan fakta bahwa plastik dan mikroplastik yang ditemukan masih didominasi jenis plastik sekali pakai.

baca juga :  Makhluk Ini Menyebarkan Mikroplastik ke Dasar Lautan. Begini Kekhawatiran Peneliti

 

Sampah plastik dan mikroplastik di lautan membahayakan bagi penyu karena dianggap makanan. Banyak penyu dan biota laut yang mati karena memakan sampah di lautan. Foto : ecowatch

 

Dari hasil penelitian tersebut, Reza mengingatkan kepada semua orang tentang bahaya dari mikroplastik. Hal itu, karena walau kandungan mikroplastik relatif rendah pada temuan yang sudah didapat, tetapi perlu diwaspadai tentang bahayanya sebab hingga saat ini belum banyak diketahui apa dampak lain dari partikel berbahaya tersebut.

Dengan fakta seperti, LIPI terus berusaha untuk melakukan pemantauan sebaran mikroplastik yang ada di perairan laut Indonesia dan dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem yang ada di laut. Dengan melakukan pemantauan, dia juga menyebut kalau pengelolaan sampah laut yang ada bisa dilakukan lebih baik lagi.

Di sisi lain, mengingat tingginya penggunaan plastik di dunia, dan khususnya di Indonesia, Reza menyebutkan bahwa LIPI sudah merencanakan untuk melakukan penelitian mikroplastik dalam jangka waktu yang panjang. Penelitian tersebut akan berfokus pada pengaruh mikroplastik pada biota laut, lingkungan, serta kesehatan manusia.

Lebih jauh, Reza menambahkan, polusi plastik yang ada di dunia, awalnya dilihat hanya sebagai masalah estetika saja. Tetapi, lambat laun, terutama setelah dilakukan banyak penelitian, akhirnya didapatkan fakta bahwa beberapa dekade terakhir polusi plastik sudah menyebabkan dampak negatif pada biota laut yang disebabkan karena salah makan atau tersangkut (terjerat).

 

Ancaman Biota Laut

Dengan segala ancaman negatif dari sampah plastik dan mikroplastik, Reza mengatakan bahwa pada 2050 diperkirakan jumlah sampah plastik akan lebih banyak dari jumlah ikan yang ada di lautan. Pun demikian, di saat yang sama, jumlah sampah mikroplastik diperkirakan jumlahnya akan lebih banyak dibanding dengan jumlah plankton yang ada di laut.

“Itu akan mengancam kehidupan laut dan juga manusia,” tandasnya.

Ancaman yang sedemikian besar itu, bagi Reza sudah seharusnya menjadi perhatian semua pihak. Dengan demikian, informasi tentang polusi sampah dan dampaknya terhadap organisme laut yang sebelumnya masih sangat terbatas, akan lebih banyak lagi. Lalu, penelitian tentang sampah plastik di ekosistem perairan laut juga diharapkan bisa lebih banyak dilakukan lagi.

Reza menegaskan, dukungan dari pemerintah dan publik untuk penanganan sampah plastik di laut juga perlu diperkuat lebih baik lagi, karena itu akan mendukung untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB) atau sustainable development goal(SDGs) pada 2030 mendatang. Bentuk dukungan yang sudah ada dari Pemerintah, salah satunya adalah pengalokasian dana setiap tahun hingga 2025 sebesar Rp13 triliun.

“Itu agar komitmen penurunan 70 persen sampah di laut bisa tercapai. Itu juga menunjukkan betapa pentingnya kajian penelitian terkait sampah laut. Adapun, sampah plastik secara umum terbagi menjadi ukuran besar dan ukuran mikroskopis,” pungkas dia.

menarik dibaca :  Menelisik Jejak Plastik di Samudera Kini

 

Berbagai jenis sampah plastik yang ditemukan dalam perut paus sperma yang terdampar mati di Wakatobi, Minggu (18/11/2018). Foto: Alfi/AKKP Wakatobi/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Direktur Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Tiza Mafira mengatakan, penangananan masalah sampah plastik di Indonesia tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Di antara itu, harus ada juga dorongan untuk membuat regulasi tentang pembatasan kantong plastik yang tujuannya untuk mengurangi sampah plastik.

“Regulasi itu melalui pajak dan pelarangan penggunaan,” tutur dia.

Di Indonesia sendiri, gerakan diet kantong plastik sudah dilaksanakan Kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Kota Bogor (Jawa Barat), Kota Balikpapan (Kalimantan Timur), dan Kota Denpasar (Bali). Kota-kota tersebut adalah kota pesisir yang memiliki banyak sungai, sehingga berkontribusi mencegah sampah kantong plastik masuk ke laut. Sejak diterapkan pada 2016, penggunaan kantong plastik di Banjarmasin turun hingga 95 persen dan penjualan tas anyaman hasil kearifan lokal juga meningkat di saat bersamaan.

Setelah kota-kota tersebut, Tiza menyebut, kota lain yang menyusul untuk menerapkan kebijakan itu, adalah Kota Padang (Sumatera Barat), Kota Cimahi (Jabar), dan Kota Malang (Jawa Timur). Ketiganya saat ini sedang berproses untuk mengeluarkan peraturan tentang pembatasan kantong plastik.

 

Exit mobile version