Alexander Parkes (1813-1890) mungkin tak pernah mengira plastik yang ditemukannya pada tahun 1850 justru berujung pada bencana lingkungan hidup. Hal ini menyusul ditemukannya fakta bahwa pada tahun 2010 sebanyak 275 juta ton sampah plastik telah dihasilkan oleh 192 negara dan 12,7 juta ton di antaranya bermuara di lautan (Jenna R. Jambeck, dkk., 2015). Inilah krisis kelautan yang ditimbulkan oleh apa yang disebut sebagai plastic dilemma.
Sejarah mencatat, permasalahan pencemaran sampah plastik kali pertama dipublikasikan sekitar awal 1970-an atau 40 tahun sebelum riset berjudul “plastic waste inputs from land into the ocean” diterbitkan di Jurnal Science (2015). Di dalam artikel ini, disebutkan bahwa setidaknya ada 2 penyebab utama mengapa 80% sampah plastik terbuang ke lautan, yakni (i) pertumbuhan penduduk Bumi yang terus membesar dan (ii) pengelolaan sampah yang belum mumpuni.
Pada perkembangannya, pusat-pusat perbelanjaan komersial yang terus bermunculan sejak tahun 1930-1940 telah memicu inovasi dan produksi plastik secara masif. Untuk memenuhi kebutuhan itu, sedikitnya 260 juta ton plastik diproduksi menggunakan 8% dari total minyak bumi yang diproduksi setiap tahunnya. Inilah jejak ekologis plastik sebelum berujung di samudera. Dalam konteks itulah, 7,53 miliar penghuni planet Bumi mesti bahu-membahu mengatasi permasalahan sampah plastik tersebut. Hal ini sejalan dengan tema perayaan World Ocean Day 2018, yakni “preventing plastic pollution and encouraging solutions for a healthy ocean”.
baca : Darurat: Penanganan Sampah Plastik di Laut
Jamak diketahui bahwa lebih dari 3,5 miliar penduduk Bumi bergantung pada sumber daya laut sebagai penyedia pangan (FAO, 2015). Terlebih bagi masyarakat adat yang tinggal di sepanjang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Terapungnya 80% sampah plastik di lautan, jelas menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup mereka. Apalagi sebuah studi yang dilakukan oleh Uni Eropa menyebutkan, “pada tahun 2025, di setiap 3 ton ikan yang ditangkap oleh nelayan di lautan terdapat 1 ton sampah plastik di dalamnya”.
Umumnya sampah plastik disalurkan melewati sungai sebelum tiba di samudera. Helmholtz Centre for Environmental Research (2017) menyebut “80% sampah plastik yang ditemukan di lautan diangkut melalui 10 sungai yang tersebar di India (Sungai Gangga dan Sungai Indus), Afrika (Sungai Nil dan Sungai Niger), dan China (Sungai Yangze, Sungai Kuning, Sungai Haihe, dan Mekong)”.
Tak jauh berbeda, The Ocean Cleanup (2017) memperkirakan sebanyak 1,15 – 2,41 juta ton plastik dibuang ke sungai menggunakan 48.000-100.000 truk sampah. Selain itu, juga disebutkan bahwa terdapat 4 sungai besar yang menjadi ‘tempat pembuangan akhir’ sampah plastik di Indonesia, yakni Sungai Brantas, Bengawan Solo, Kali Serayu, dan Kali Progo. Sebagian lainnya juga memasukkan Sungai Citarum.
baca : Air Laut Indonesia Sudah Terpapar Mikroplastik dengan Jumlah Tinggi, Seperti Apa?
Di tingkat global, China merupakan negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Kontribusi negeri tirai bambu mencapai 8,82 juta ton. Disusul Filipina (1,88 juta ton), Vietnam (1,83 juta ton), Sri Lanka (1,59 juta ton), Thailand (1,03 juta ton), Mesir (0,97 juta ton), dan Malaysia (0,94 juta ton). Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Jambeck, dkk (2015) mencatat, Indonesia menyumbang sampah plastik sebesar 3,32 juta ton atau berada di posisi kedua setelah China. Lebih lanjut, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016) juga menyebutkan, “sebanyak 9,6 juta kantong plastik diperjualbelikan di 32.000 gerai anggota Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) setiap harinya”. Tak mengherankan apabila dikatakan bahwa tingkat konsumsi orang Indonesia sebanyak 0,52 kilogram/kapita perhari.
baca : Ternyata Sampah Plastik Laut Berasal dari Industri Pesisir Pantai. Benarkah?
Tingginya tingkat konsumsi plastik nyatanya tidak dibarengi dengan tata kelola sampah yang memadai. Terlebih di bantaran sungai. Dalam “Kajian Perilaku Masyarakat Membuang Sampah di Bantaran Sungai Martapura terhadap Lingkungan Perairan” yang dilakukan oleh Penny (2012) dan Tangguh (2016), ditemui fakta bahwa (1) terjadi penurunan kualitas air sungai akibat perilaku membuang sampah dan aktivitas MCK masyarakat di bantaran Sungai Martapura; (2) Sungai Martapura dinyatakan tercemar ringan setelah dilakukan pengukuran kualitas air sungai menggunakan parameter warna air, bau air, rasa air, TSS, pH, DO dan plankton; dan (3) pengetahuan dan sikap masyarakat yang baik tidak diikuti dengan tindakan yang baik pula.
Di sinilah perlunya disepakati aturan bersama di tingkat komunitas agar pencemaran sungai tidak terjadi kembali. Menariknya, data Podes (2014) menyebutkan bahwa permukiman yang tersebar di bantaran sungai lebih banyak di daerah perdesaan (16.079 desa/kelurahan) dibandingkan perkotaan (4.986 desa/kelurahan).
Lebih dari itu, data Susenas 2014 juga menunjukkan bahwa perilaku 3-R (reuse, reduce, dan recycle) masih jarang dilakukan di level rumah tangga. Potretnya adalah hanya 0,19% rumah tangga yang melakukan daur ulang, 0,53% menjadikan sampah sebagai kompos/pupuk, 0,26% memanfaatkan sampah untuk makanan hewan, dan 54,65% lainnya membuang sampah dengan cara dibakar.
baca : Ibu Rumah Tangga, Kunci Penanggulangan Sampah Plastik
Pertanyaannya, bagaimana mengakhiri dilema pemakaian plastik ini?
Berkaca pada sejumlah fakta di atas, bisa dipahami bahwa dilema pemakaian plastik merupakan ancaman setiap manusia. Betapa tidak, sampah plastik bisa berubah menjadi mikroplastik yang terapung di lautan dengan ukuran lebih kecil dari 1 mikron. Bahan ini menjadi berbahaya bila masuk ke dalam rantai makanan melalui ikan dan biota laut hingga masuk ke dalam tubuh manusia. Pada titik inilah, setiap orang perlu memainkan peran pentingnya, baik di level individu maupun komunitas.
Pertama, perluasan kampanye lingkungan berkenaan dengan dampak penggunaan plastik. Dibarengi dengan gerakan sosial mendorong dipraktekkannya perilaku ramah lingkungan, seperti mendaur-ulang sampah, menggunakan botol air minum isi ulang, dan memilah sampah organik/anorganik.
Kedua, memaksimalkan keberadaan bank sampah sebagai embarkasi pemilahan sampah di level rumah tangga dan komunitas sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse, dan Recycle melalui Bank Sampah. Di Surabaya, misalnya, sejumlah bank sampah berkontribusi positif terhadap pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan anggotanya. Terbukti pada tahun 2013, sebanyak 9 bank sampah dengan jumlah anggota antara 70-730 orang menghasilkan omset pendapatan per bulan sebesar Rp1 juta – Rp72 juta. Belum lagi apabila sampah dimanfaatkan dalam berbagai bentuk aneka kerajinan tangan.
Akhirnya, krisis kelautan yang diakibatkan oleh pencemaran sampah plastik merupakan persoalan serius umat manusia. Di sinilah pentingnya gotong-royong antara pemerintah dan masyarakat untuk mengatasinya sedari awal. Karena Bumi yang ditinggali oleh 7,53 miliar penduduk memerlukan atmosfer, bukan plastikosfer yang sulit dicerna alam. Mari rayakan Hari Kelautan Sedunia 2018 tanpa sampah plastik!
***
Abdul Halim*, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Jakarta. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis