Mongabay.co.id

Pemerintah Penting Bikin Peta Indikatif Hutan Adat

Begini hutan rimba Laman Kinipan, kini...Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

Proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat masih terbentur kebijakan administrasi baik pemerintah pusat dan daerah. Sementara, wilayah adat terus terancam terbebani izin-izin. Untuk itu, pemerintah penting membuat peta indikatif hutan adat walau belum ada penetapan guna melindungi hak masyarakat adat.

”Wilayah adat perlu dilindungi dari kepentingan lain. Peta indikatif hutan adat ini penting agar wilayah adat tak diganggu gugat untuk kepentingan lain, seperti pemberian izin untuk korporasi dan lembaga di luar masyarakat adat,” kata Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor, belum lama ini.

Peta indikatif ini, katanya, penting meski belum ada pengakuan hutan adat. Tujuannya, mengamankan wilayah masyarakat dari faktor eksternal.

Baca juga: Begini Nasib Hutan Adat Laman Kinipan Kala Investasi Sawit Datang

Hariadi menyadari, pengakuan hutan adat sangat rumit dan lama, terutama dalam proses administrasi. Kondisi ini bertolak belakang pada pemberian izin baru pada pihak di luar masyarakat adat, yang lebih cepat.

Pada rapat koordinasi nasional hutan adat awal 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganalisa potensi hutan adat berdasarkan data petaan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) seluas 9,3 juta hektar. Wilayah adat tumpang tindih dengan fungsi kawasan hutan 6,3 juta hektar.

Soal peta wilayah adat, katanya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan kepada pemerintah sekitar 9,65 Juta hektar, terdiri 785 wilayah adat dari 18 provinsi di 33 kabupaten. Dari jumlah itu, ada 7,12 juta hektar (76%) dalam kawasan hutan dan 2,17 juta hektar (23%) di alokasi penggunaan lain serta 44.000 hektar (1%) di perairan.

Baca juga: Kesepakatan Lahan di Balik Jatuhnya Akil Mochtar

Berdasarkan perizinan, dari luasan 9,65 juta hektar wilayah adat yang terpetakan, 5,95 juta hektar (62%) tanpa perizinan (clear and clean), 3,69 juta hektar (38%) terbebani perizinan. Perizinan pun tumpang tindih satu sama lain dan bersifat sektoral.

Menurut Hariadi, usulan dari masyarakat adat ini bisa jadi peta indikatif nasional karena sudah lewat konsultasi KLHK. KLHK baru verifikasi dan jadi peta definitif seiring proses administrasi. ”Bisa jadi yang indikatif ini berkurang.”

Wiratno, Direktur Jenderal Sumber Daya Alam dan Ekosistem sangat setuju dengan peta indikatif hutan adat. ”Saya sangat setuju agar tidak diganggu-ganggu, dan tidak ada perebutan ruang,” katanya.

 

Berhasil dapatkan hutan adat. Masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di area hutan adat mereka yang dikuasi PT. TPL. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Dodi Slamet Riyadi, Asisten Deputi Penataan Ruang dan Kawasan Strategis Kemenko Perekonomian menyebutkan, sangat memungkinkan bila peta indikatif masyarakat adat masuk dalam kebijakan satu peta yang baru rilis. ”Yang perlu dipastikan wali data. Ini sangat memungkinkan tinggal dikasih keterangan status masih indikatif,” katanya.

Berdasarkan riset pra dan pasca penetapan hutan adat di Indonesia oleh peneliti dari Koalisi Hutan Adat, sejak 2016, penetapan hutan adat oleh KLHK hingga kini 17.243,61 hektar meliputi 33 masyarakat adat. Rata-rata, ada 11-12 hutan adat yang ditetapkan setiap tahun.

”Melihat proses ini, jadi kita butuh waktu 196 tahun untuk menetapkan hutan adat untuk 2.332 masyarakat adat di Indonesia,” kata Nia Ramdhaniaty, koordinator tim peneliti hutan adat.

Dari luasan itu, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35, seluas 6.324 hektar telah keluar dari status hutan negara jadi hutan adat, atau 37% dari luasan hutan adat. Sisanya, dari APL. Menariknya, 37% hutan adat, 70% dari hutan konservasi dan dilakukan pada 2016.

Nia mengatakan, riset pra dan pasca penetapan hutan adat ini dilakukan pada Februari-Juni 2018. Ia tersebar pada tujuh lokasi hutan adat, yakni masyarakat Wana Posangke, (Sulawesi Tengah), Kulawi di Marena (Sulawesi Tengah), masyarakat adat Kajang (Sulawesi Selatan). Lalu, Kasepuhan Karang (Banten), masyarakat adat Dayak De’sa (Kalimantan Barat), masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih (Banten), dan masyarakat adat Malalo Tigo Jurai (Sumatera Barat).

 

Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Administrasi pengakuan hutan adat

Muhammad Said, Direktur Penanganan Konflik dan Hutan Adat, Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK mengatakan, pengakuan hutan adat masih terganjal aturan. ”Setidaknya, 98% hutan adat belum ada pengakuan dalam bentuk peraturan daerah,” katanya.

Paradigma pengakuan masyarakat adat masih bersyarat, katanya, putusan MK-35 telah mengakui keberadaan mereka, tetapi memerlukan komitmen bupati untuk mengeluarkan perda. Untuk percepatan hutan adat, katanya, harus kembali ke konstitusi ynag memberikan pengakuan dan perwujudan hak yang telah melekat.

”Mengesahkan UU Masyarakat Adat perlu agar tak terjadi kegamangan produk hukum daerah atas pengakuan masyarakat adat.”

Begitu juga pendefinisan hutan adat yang masih berbeda antara masyarakat dengan regulasi pemerintah.

Menurut Nia, masyarakat adat menilai hutan adat sebagai ruang hidup yang dikelola berdasarkan aturan sekaligus sebagai penunjang kehidupan warga. Menurut kebijakan pemerintah, hutan adat sebagai hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dan sumber alam lain.

Secara psikologis, pasca penetapan hutan adat, masyarakat adat merasakan rasa aman atas hak tenurial. Pasca penetapan, katanya, perlu dampingan lanjutan oleh pemerintah pusat dan daerah.

Melalui penetapan hutan adat, katanya, terjadi peningkatan kewenangan dan kesempatan dalam mengelola wilayah, termasuk pengembangan ekonomi dan penghidupan budaya berbasis hutan adat.

”Salah satu rekomendasi yang kita, masyarakat dalam konteks pengembangan ekonomi harus memandang peningkatan ekonomi harus berbasis lokal, bukan ekonomi kapitalis,” katanya, seraya bilang ini jadi tanggung jawab Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Program ekonomi berkelanjutan pun tak hanya berbicara perspektif ekonomi pasar, juga menyasar perempuan dan pemuda.

”Hampir di seluruh lokasi penelitian pelibatan perempuan dan anak muda masih minim,” katanya, kecuali di Wana Posangke, dimana indo (perempuan) memiliki peranan kuat dalam kelembagaan adat atau tetua kampong.

Rekomendasi lain, perlu ada kesempatan perubahan peta kawasan hutan yang mencantumkan hutan adat (Ditjen Planologi dan Tata Lingkungan) dan perubahan rencana tata ruang wilayah kabupaen dan provinsi oleh pemerintah daerah.

”Kita juga merekomendasikan pasca penetapan hutan adat perlu menentukan indikator keberhasilan partisipatif dan tak berfokus pada ekonomi tetapi biodiversiti, ketersediaan air, tutupan vegetasi dan lain-lain,” katanya.

Dari tujuh lokasi penelitian, pra penetapan hutan adat terlihat motivasi kuat dari para komunitas adat dalam memperjuangkan dan mempertahankan wilayah mereka.

 

 

Keterangan foto utama:    Kala hutan adat belum mendapat pengakuan. Hutan rimba Laman Kinipan, kini…Foto: dokumen Laman Kinipan

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version