Mongabay.co.id

Apa Manfaat Teknologi Rendah Karbon untuk Pariwisata Bahari?

Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

***

Teknologi rendah karbon dan praktik ramah lingkungan dalam pariwisata berbasis ekosistem di laut terus didorong untuk dilaksanakan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Implementasi kedua hal itu, menjadi bagian dari upaya penurunan dampak perubahan iklim yang sekarang ini sedang menyerang seluruh negara di dunia.

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi di Jakarta, pekan lalu mengatakan, implementasi teknologi rendah karbon akan bermanfaat banyak untuk pengelolaan ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan. Manfaat seperti itu, juga akan dirasakan dari praktik ramah lingkungan untuk pariwisata bahari.

“Saya atas nama KKP telah mempromosikan kedua hal ini di Katowice, Polandia, saat berlangsungnya Konferensi Pengendalian Perubahan Iklim (COP24 UNFCC pada Desember 2018),” ujarnya.

baca :  Seluruh Dunia Didorong Segera Terapkan Ekonomi Biru untuk Laut Berkelanjutan

Menurut Brahmantya, penggunaan teknologi rendah karbon beserta praktik ramah lingkungan dalam industri pariwisata bahari menjadi bagian dari prinsip ekonomi biru berkelanjutan. Oleh itu, kedua hal tersebut sangat penting untuk bisa diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya untuk yang berkaitan dengan industri pariwisata bahari.

Dengan menerapkan prinsip ekonomi biru berkelanjutan, Brahmantya mengatakan, manfaat yang didapat akan sangat banyak dan berguna untuk kehidupan alam semesta dan manusia. Termasuk, manfaat sosial, untuk generasi sekarang dan masa mendatang, melindungi dan mempertahankan keberagaman, produktivitas, ketahanan untuk bencana dan dampak perubahan iklim.

“Selain itu, konsep ekonomi biru berkelanjutan juga mengadopsi fungsi inti dan nilai-nilai ekosistem laut, kemudian juga prinsip tersebut didasarkan pada teknologi bersih, teknologi terbarukan,” jelasnya.

baca juga :  Laut adalah Korban sekaligus Jawaban Perubahan Iklim

 

Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi pada acara di Pavilion Indonesia COP24 Ketowice, Polandia, Desember 2018 menjelaskan tentang teknologi rendah karbon dan praktik ramah lingkungan dalam pariwisata berbasis ekosistem laut. Foto : news.kkp.go.id/Mongabay Indonesia

 

Prinsip Dasar

Tentang praktik ekonomi biru berkelanjutan tersebut, Brahmantya menerangkan, ada tiga prinsip dasar yang harus diterapkan dalam praktik tersebut. Prinsip pertama adalah efisiensi alam, yaitu pengelolaan ekosistem berdasarkan pada ketersediaan sumber daya alam dengan menyulap persediaan dari langka menjadi berlimpah.

Kemudian, yang kedua adalah prinsip tanpa limbah. Prinsip tersebut adalah bagaimana memanfaatkan limbah yang ada di bumi untuk kepentingan lain. Sampah yang ada di manapun pada dasarnya bisa diolah kembali untuk dijadikan sumber ekonomi yang baru. Oleh itu, dia meminta kepada semua orang untuk tidak menyia-nyiakan sampah sebagai limbah kehidupan.

Prinsip ketiga adalah kemandirian untuk semua. Prinsip tersebut akan dirasakan oleh semua masyarakat jika praktik ekonomi biru berkelanjutan diterapkan. Praktik tersebut akan meningkatkan ketersediaan lapangan pekerjaan menjadi lebih banyak.

”Jadi, pengelolaan ekonomi biru yang dikelola dengan baik dan berkelanjutan, akan melahirkan manfaat yang banyak dan tanpa henti,” jelasnya.

menarik dibaca :  Mengapa Pemanfaatan Vegetasi Pesisir untuk Perubahan Iklim Masih Rendah?

 

Padang lamun di pesisir pantai Auki, Biak, Papua. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Bentuk praktik dari implementasi ekonomi biru berkelanjutan, menurut Brahmantya, sudah dicontohkan oleh KKP melalui pengembangan ekowisata kelautan berbasis ekosistem pesisir dan restorasi hutan bakau untuk ekowisata masyarakat. Kedua contoh itu dilaksanakan KKP dengan mengambil lokasi di Kabupaten Malang, Jawa Timur.

“Kita menyebutnya sebagai best practice, karena memang ini adalah praktik terbaik,” ungkapnya.

Contoh yang sudah diterapkan di Malang tersebut, kata Brahmantya, menegaskan bahwa konsep ekonomi biru bisa memastikan segala sumber daya ekosistem bisa tetap berkelanjutan dan lestari. Tetapi, di saat yang sama, konsep tersebut tetap memperhatikan potensi ekonomi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat ataupun pelaksana.

“Secara signifikan meningkatkan ekonomi lokal dan mendorong keterlibatan dan tanggung jawab lokal yang aktif dalam mengelola sumber daya pesisir dan perikanan,” terangnya.

baca juga :  Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?

 

Masyarakat pesisir Kubu Raya mengandalkan hutan mangrove sebagai areal penangkapan ikan. Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia

 

Dengan menerapkan konsep ekonomi biru berkelanjutan melalui teknologi rendah karbon dan praktik ramah lingkungan pada industri pariwisata bahari, Brahmantya menyebutkan bahwa Indonesia ataupun semua negara di dunia sudah membantu bumi untuk bisa menurunkan dampak perubahan iklim. Jika itu bisa konsisten diterapkan, manfaatnya akan dirasakan warga dunia dalam jangka waktu yang panjang.

Kampanye seperti itu, menurut Brahmantya, sangat baik untuk kebaikan dunia. Untuk itu, semua negara, termasuk Indonesia harus bisa menerapkan komitmen untuk adaptasi perubahan iklim. Cara seperti itu, juga dilakukan pada gelaran Our Ocean Conference 2018 yang digelar di Bali, akhir Oktober 2018 lalu.

“Seluruh stakeholder perlu menyebarluaskan dan berbagi komitmen global yang dibuat baik oleh negara, LSM dan sektor swasta, perusahaan global, perorangan, filantropis, dan pemimpin lokal dalam mengatasi tantangan global terkait dengan dampak perubahan di lingkungan laut,” tandasnya.

baca juga :  Akankah Komitmen OOC 2018 Bisa Selamatkan Lautan Dunia?

baca juga :  Bagaimana Ancaman Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil?

 

Nelayan pulang dari melaut di pesisir pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Komitmen Bersama

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga melakukan kampanye kepada dunia untuk bersama-sama menghadapi tantangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan. Dalam kampanyenya di COP24 Katowice, Susi meminta semua negara membuat komitmen untuk penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap sektor kelautan dan perikanan.

Menurut Susi, komitmen yang dibuat harus bisa bersinergi dengan semua elemen global untuk menghasilkan manfaat positif bagi laut. Dia menyebut, sebagai negeri tropis, Indonesia siap berkomitmen melalui segala sumber daya yang dimiliki di laut. Termasuk, yang ada di kawasan pesisir, melalui tanaman bakau, terumbu karang, dan lamun.

Agar komitmen yang dibangun bisa lebih baik, Susi meminta kepada negara-negara dunia untuk bersama membangun sistem komunikasi berbasis fakta ilmiah tentang kelautan dan perikanan. Fakta ilmiah tersebut bisa dihasilkan melalui riset yang dilakukan oleh para ilmuwan sesuai dengan kompetensi ilmunya masing-masing.

“Negosiasi global dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim tidak akan bisa menjadi aksi nyata di tingkat parties (negara-negara yang meratifikasi Paris Agreement) jika para politisi tidak pernah diberikan angka-angka yang menunjukkan seberapa parahnya kondisi ekosistem pesisir dan laut saat ini,” tegasnya.

baca juga :  Seluruh Dunia Didorong Segera Terapkan Ekonomi Biru untuk Laut Berkelanjutan

 

Seorang nelayan dengan perahunya di Danau Linow, Tomohon, Sulut. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Selain kebutuhan data ilmiah, Susi mengungkapan, dalam memetakan dampak perubahan iklim di laut beserta ekosistemnya, perlu juga dipahami bahwa segala aktivitas yang ada di laut memiliki keterkaitan erat antara satu dengan yang lain. Aktivitas itu, di saat yang sama bisa menentukan apakah akan memperkuat atau justru mengurangi ketahanan lingkungan laut.

“Misalnya, tingginya laju kerusakan pesisir akibat gelombang ekstrim, itu diakibatkan kerusakan ekosistem karang akibat praktik-praktik Illegal Unregulated and Unreported Fishing (IUUF), khususnya dalam hal ini penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan berkontribusi dalam perusakan ekosistem karang yang seharusnya menjadi pelindung pantai terhadap gelombang ekstrim,” tegasnya.

Demi memperbaiki kondisi kawasan pesisir, Susi menyatakan, Pemerintah berkomitmen untuk melaksanakan rehabilitasi ekosistem pesisir dan akan berjalan mulai 2019. Untuk itu, Pemerintah berkomitmen akan menggelontorkan dana sebesar USD2,3 juta dan itu diharapkan bisa mewujudkan pengelolaan ekosistem laut dan pesisir yang berkelanjutan.

“Kita berupaya untuk terus memulihkan hutan mangrove dan ekosistem pantai dengan metode yang lebih bersahabat dengan alam,” pungkasnya.

Selain kampanye di atas, upaya untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim juga mulai diterapkan untuk sektor perikanan budidaya. Menurut Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto, cara yang bisa dilakukan adalah dengan membuat inovasi produksi perikanan budidaya yang berkelanjutan dengan berlandaskan pada adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

“Cara seperti itu, bisa dipertimbangkan, karena di masa mendatang perikanan budidaya diprediksi akan menjadi andalan dunia untuk pemenuhan kebutuhan pangan,” tambahnya.

menarik dibaca :  Produksi Perikanan Budidaya untuk Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

***

Keterangan foto utama : Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Exit mobile version