Mongabay.co.id

Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa: Tegaskan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia

 

 

Minggu sore, 13 Januari 2019. Pinisi Bakti Nusa melempar sauh. Puluhan orang tak sabar menunggu meski langit tampak mendung di Pelabuhan Kota Gorontalo. Kapal tradisional legendaris dari Bugis dan Makassar itu bersandar tepat hari ke-26 sejak pertama kali berlayar meninggalkan Pantai Losari. Pelabuhan Kota Gorontalo yang berada di muara sungai dan merupakan pelabuhan sibuk era kolonial Belanda menjadi titik persinggahan ke-11.

Sebelumnya, Pinisi Bakti Nusa singgah di Torosiaje, perkampungan terapung Suku Bajo di Kabupaten Pohuwato, sebelah barat Gorontalo. Kapal ini akan mengarungi lautan Indonesia sebanyak 74 titik. Ekspedisi ini diprakarsai Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) dan Yayasan Makassar Skalia.

“Rencananya, tepat di titik terakhir, kami akan bersandar di Jakarta pada 17 Agustus 2019, sekaligus merayakan kemerdekaan Indonesia ke-74,” ungkap Ade Suratmadja, penanggung jawab tim ekspedisi kapal Pinisi Bakti Nusa.

Baca: Basri Madung, Generasi Terakhir Pembuat Perahu Pinisi di Tana Beru Bulukumba

 

Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa yang akan mengarungi laut Indonesia sebanyak 74 titik. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Ketika di Torosiaje, Pinisi disambut meriah masyarakat dengan berbagai kegiatan. Ada tarian adat Suku Bajo, penanaman mangrove, lomba dayung, edukasi bahari, serta pemutaran film dokumenter tentang suku Bajo dan proses pembuatan kapal pinisi. “Kapal ini terkahir masuk Bajo tahun 1967. Kami sangat senang,” ungkap Umar Pasandre, tokoh masyarakat Bajo di Torosiaje.

Di Kota Gorontalo, Pinisi disambut pemerintah provinsi dengan gelaran diskusi publik bertema perizinan kapal ikan nelayan. Kegiatan lainnya, tim ekspedisi Pinisi menyelam di spot bangkai kapal Jepang (Japanese Cargo Wreck) yang tenggelam di perairan Olele, Kecamatan Kabila Bone, Kabupaten Bone Bolango.

“Ekspedisi ini mempromosikan potensi dan keindahan bawah laut setiap tempat yang kami singgahi. Juga, kampanye lingkungan wilayah pesisir, mulai plastik, kerusakan terumbu karang, perburuan satwa laut dilindungi, hingga air bersih dan infrastruktur,” ungkap Ade.

Baca: Transformasi Pinisi, dari Kapal Dagang Legendaris Menjadi Kapal Wisata Unggulan

 

Kapal Pinisi Bakti Nusa memberi kesempatan pengunjung di Kota Gorontalo untuk ikut joy sailing bersama kru kapal sekaligus melihat bagaimana cara membuat kapal layar legenda ini. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Reborn of Pinisi

Pinisi merupakan kapal tradisional dari Sulawesi Selatan, terutama Suku Bugis dan Makassar, yang digunakan untuk menjelajah pulau-pulau Indonesia, bahkan mancanegara. Pada 7 Desember 2017, UNESCO [United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization], badan PBB yang menangani kerja sama dunia bidang pendidikan, keilmuwan, dan kebudayaan, telah menetapkan pinisi sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia.

Menurut Ade, banyak hal yang akan disampaikan dalam setiap tempat yang disinggahi, misalkan selain mengangkat kearifan lokal, misi yang tak luput diperkenalkan adalah reborn of pinisi atau terlahir kembalinya kapal pinisi. Tujuannya, agar generasi muda dan masyarakat umum tahu bangsa ini mempunyai kapal tradisional melegenda.

Lelaki 54 tahun yang sebelumnya merupakan koordinator ekspedisi Nusantara Jaya I itu, menjelaskan ide awal ekspedisi pinisi. Menurutnya, ide tersebut semula hanya ada di benak beberapa orang, hingga diteruskan ke Iskindo dan Direktur Yayasan Makassar Skalia. Lahirlah Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa. “Diharapkan, menjadi manifestasi kejayaan Nusantara sekaligus mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.”

Kapal Pinisi Bakti Nusa dibuat pada 2016. Panjangnya 25 meter dan lebar 5 meter. Memiliki 2 tiang dan 7 layar. Dengan kapasitas 25 sampai 30 orang serta kecepatan 6 hingga 8 Knot. Kapal ini juga digunakan untuk edukasi dengan membawa anak-anak sekolah berlayar jarak pendek, seperti ke pulau terdekat di Kota Makassar.

“Sebelum ekspedisi, Pinisi diuji coba berlayar dari Makassar ke Pare-Pare. Praktis, ini pertama kalinya mengarungi Indonesia,” ungkap Ade.

Baca: Perahu Phinisi, Antara Sejarah dan Hutan Kajang yang Terancam

 

Basri Madung, pembuat perahu di Tanahberu, Bulukumba, Sulawesi Selatan, adalah generasi terakhir pembuat perahu Pinisi. Anak-anak mereka tak ada lagi yang mau mewarisi pengetahuan dan pekerjaan ini. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Abdi Latief, jurnalis dari Kabupaten Mandar Sulawesi Barat, yang menjadi kru kapal sekaligus dokumentator mengatakan, perjalanan ini bukan tanpa hambatan. Beberapa kali ada cuaca buruk dan jangkar hilang.

“Di perairan Sulawesi Tenggara, cuaca buruk dan kapal miring. Saya sampai berpikir kapal akan terbalik. Beruntung, semua baik-baik saja. Pelayaran berikutnya mungkin ada banyak kejutan yang sedang menunggu,” paparnya.

Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa ini dibagi dua trip; wilayah timur Indonesia dan barat. Saat ini kapal kayu memakai layar tersebut berada di Kota Bitung, Sulawesi Utara, lalu ke Kota Manado. Selanjutnya ke Maluku, Papua, sebelum kembali ke Makassar untuk melanjutkan pelayaran ke wilayah barat Indonesia.

Baca juga: Adanya Kapal Kuno Buktikan Indonesia Penguasa Lautan Asia. Benarkah?

 

Lambung perahu pinisi dari kayu bitti. Kini, kayu jenis ini sudah menipis, salah satu wilayah yang masih banyak berada di hutan Tana Toa, milik Suku Kajang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Kejayaan Pinisi

Tempat yang terkenal sebagai pusat pembuatan pinisi adalah Tanjung Bira, Ara, dan Tana Beru, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sebagai kapal tradisional, dahulunya pinisi dikenal sebagai kapal yang dipakai pedagang Bugis mengarungi lautan menuju pulau-pulau. Namun kini, pinisi tergantikan kapal-kapal besi. Praktis, penggunaannya untuk pariwisata.

Pemerhati budaya maritim Indonesia Horst Liebner, seperti pernah ditulis Mongabay Indonesia, mengungkapkan, kapal pinisi masa lalu sangat Berjaya. Namun, tidak tercatat resmi di awal kemunculannya. Menurutnya, tidak ada literatur abad ke-18 dan 19 yang mengungkap hal tersebut.

Horst menuturkan, bukti tidak adanya data akurat di masa lalu, bisa dilihat dari naskah kuno Suku Bugis: I La Galigo. Dalam naskah setebal 6.000 halaman dengan 300 ribu baris teks itu, tak satu pun teks menyebut kata pinisi sebagai padanan kapal dagang masa tersebut.

“Begitu juga di catatan administrasi kesyahbandaran Hindia Belanda abad ke-19, tidak ada penjelasan. Yang ada, hanya sejumlah kapal ‘phenis’ yang ditemukan di berbagai daerah saat itu,” tandas Horst.

 

 

Exit mobile version